A.
Awal Lahirnya Mazhab Sejarah
Abad
kesembilan belas merupakan masa keemasan bagi lahirnya ide-ide baru dan gerakan
intelaktual dimana manusia mulai menyadari kemampuannya untuk merubah keadaan
dalam semua lapangan kehidupan. Kesadaran tersebut telah membawa perubahan cara
pandang dalam melihat eksistensi manusia. Pada masa ini manusia dipandang
sebagai wujud dinamis yang senantiasa berkembang dalam lintasan sejarah.
Dibidang
hukum, abad kesembilan belas dapat dikatakan sebagai tonggak lahirnya berbagai
macam aliran atau mazhab hukum yang pengaruhnya bisa dirasakan sampai saat ini.
Aliran atau mazhab hukum yang lahir pada masa ini secara sederhana dapat
diklasifikasi menjadi tiga aliran yaitu : mazhab positivisme, mazhab utilitarianisme
dan mazhab historis atau sejarah.
Dalam
rentang sejarah, perkembangan aliran pemikiran hukum sangat tergantung dari
aliran pemikiran hukum sebelumnya, sebagai sandaran kritik dalam rangka
membangun kerangka teoritik berikutnya. Disamping itu kelahiran satu aliran
sangat terkait dengan kondisi lingkungan tempat suatu aliran itu pertama kali
muncul. Dengan kata lain lahirnya satu aliran atau mazhab hukum dapat dikatakan
sebagai jawaban fundamental terhadap kondisi kekinian pada zamannya. Sebagai contoh
dapat dikemukakan kritik positivisme dan aliran sejarah terhadap aliran hukum
alam atau kritik kaum realis terhadap positivistik. Demikian juga halnya dengan
kritik yang ditujukan oleh postmodernisme terhadap kemapanan modernisme.
Kelahiran
mazhab sejarah dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny (1779-1861) melalui
tulisannya yang berjudul Von Beruf unserer Zeit fur Gesetzgebung und
Rechtwissenschaft (Tentang Pekerjaan pada Zaman Kita di Bidang
Perundang-undangan dan Ilmu Hukum), di pengaruhi oleh dua faktor yaitu pertama
ajaran Montesqueu dalam bukunya “L’ esprit des Lois” dan pengaruh faham
nasionalisme yang mulai timbul pada awal abad ke 19. Disamping itu, munculnya
aliran ini juga merupakan reaksi langsung dari pendapat Thibaut yang menghendaki
adanya kodifikasi hukum perdata Jerman yang didasarkan pada hukum Prancis (Code
Napoleon). Kedua pengaruh tersebut bisa digambarkan sebagai berikut:
Menurut
Friedmann Aliran ini juga memberikan aksi tertentu terhadap dua kekuatan besar
yang berkuasa pada zamannya. Kedua hal tersebut menurut Friedmann adalah :
1. Rasionalisme dari abad 18 dengan kepercayaan terhadap
hukum alam, kekuasaan akal dan prinsip-prinsip pertama yang semuanya
dikombinasikan untuk meletakkan suatu teori hukum dengan cara deduksi dan tanpa
memandang fakta historis, cirri khas nasional, dan kondisi sosial;
2. Kepercayaan dan semangat revolusi Prancis dengan
pemberontakannya terhadap tradisi, kepercayaan pada akal dan kekuasaan kehendak
manusia atas keadaan-keadaan zamannya.
Sedangkan
Lili Rasjidi mengatakan kelahiran alairan/mazhab sejarah merupakan reaksi tidak
lansung dari terhadap aliran hukum alam dan aliran hukum positif.
Hal
pertama yang mempengaruhi lahirnya mazhab sejarah adalah pemikran Montesqueu
dalam bukunya “L’ esprit des Lois” yang mengatakan tentang adanya keterkaitan
antara jiwa suatu bangsa dengan hukumnya.
Menurut
W. Friedman gagasan yang benar-benar penting dari L’esprit des Lois adalah
tesis bahwa hukum walaupun secara samar didasarkan atas beberapa prinsip hukum
alam mesti dipengaruhi oleh lingkungan dan keadaan seperti: iklim, tanah,
agama, adat-kebiasaan, perdagangan dan lain sebagainya. Berangkat dari ide
tersebut Montesqueu kemudian melakukan studi perbandingan mengenai
undang-undang dan pemerintahan.
Seperti
yang telah diuraikan diatas, selain dipengaruhi oleh pemikiran Montesque
lahirnya mazhab sejarah juga banyak dipengaruhi oleh semangat nasionalisme
Jerman yang mulai muncul pada awal abad 19. Dengan memanfaatkan moment
(semangat nasionalisme), Savigny menyarankan penolakan terhadap gagasan Tibhaut
tentang kodifikasi hukum yang tersebar dalam pamfletnya “Uber Die Notwetdigkeit
Eines Allgemeinen Burgerlichen Rechts Fur Deutschland” (Keperluan akan adanya
kodefikasi hukum perdata negara Jerman).
Dalam
suasana demikian, Savigny mendapatkan “Lahan subur” untuk membumikan ajarannya
yang mengatakan bahwa ‘hukum itu tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Dan
oleh karenanya setiap bangsa memiliki “volgeist” (jiwa rakyat) yang berbeda,
maka hukum suatu negara tidak dapat diterapkan bagi negara lain, meskipun
negara lain itu adalah bekas penjajahnya. Dalam kaitan inilah kemudian Savigny
mengatakan, adalah tidak masuk akal jika terdapat hukum yang berlaku universal
pada semua waktu. Hukum yang sangat tergantung atau bersumber kepada jiwa
rakyat tersebut dan yang menjadi isi dari hukum itu ditentukan oleh pergaulan
hidup manusia dari masa ke masa (sejarah).
B.
Inti Ajaran Mazhab Historis
Inti
ajaran Madzab Sejarah yang didirikan oleh Savigny ini terdapat dalam bukunya
‘von Beruf Ungerer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtswissenschaft (Tentang Tugas
Zaman Kita Bagi Pembentuk Undang-undang dan Ilmu Hukum). antara lain dikatakan:
‘Das
Recht wird nicht gemacht. est ist und wird mit dem volke (Hukum itu tidak
dibuat. tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat)
Ajaran
Savigny tersebut dilatarbelakangi oleh suatu pandangannya yang mengatakan bahwa
didunia ini terdapat banyak bangsa dan pada tiap bangsa mempunyai Volkgeist
/jiwa rakyat. Perbedaan ini juga sudah barang tentu berdampak pada perbedaan
hukum yang disesuaikan dengan tempat dan waktu. Hukum sangat bergantung atau
bersumber pada jiwa rakyat dan isi hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup
manusia dari masa ke masa.
Hukum
menurut pendapat Savigny berkembang dari suatu masyarakat yang sederhana yang
pencerminannya tampak dalam tingkah laku semua individu kepada masyarakat yang
modern dan kompleks dimana kesadaran hukum rakyat itu tampak pada apa yang
diucapkan oleh para ahli hukumnya.
Pokok-pokok
ajaran madzab historis yang diuraikan Savigny dan beberapa pengikutnya dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1.
Hukum ditemukan tidak dibuat. Pertumbuhan hukum pada dasarnya adalah proses
yang tidak disadari dan organis;oleh karena itu perundang-undangan adalah
kurang penting dibandingkan dengan adat kebiasaan.
2.
Karena hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang mudah dipahami dalam
masyarakat primitif ke hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern
kesadaran umum tidak dapat lebih lama lagi menonjolkan dirinya secara langsung,
tetapi disajikan oleh para ahli hukum yang merumuskan prinsip-prinsip hukum
secara teknis. Tetapi ahli hukum tetap merupakan suatu organ dari kesadaran
umum terikat pada tugas untuk memberi bentuk pada apa yang ia temukan sebagai
bahan mentah (Kesadaran umum ini tampaknya oleh Scholten disebut sebagai
kesadaran hukum). Perundang-undangan menyusul pada tingkat akhir; oleh karena
ahli hukum sebagai pembuat undang-undang relatif lebih penting daripada pembuat
undang-undang.
3.
Undang-undang tidak dapat berlaku atau diterapkan secara universal. Setiap
masyarakat mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa
adat-istiadat dan konstitusi yang khas. Savigny menekankan bahwa bahasa dan
hukum adalah sejajar juga tidak dapat diterapkan pada masyarakat lain dan
daerah-daerah lain. Volkgeist dapat dilihat dalam hukumnya oleh karena itu
sangat penting untuk mengikuti evolusi volkgeist melalui penelitian hukum
sepanjang sejarah.
Dalam
perkembangannya, mazhab sejarah ini mengalami modifikasi oleh pengikutnya Maine
mengetengahkan teorinya yang mengatakan bahwa hukum berkembang dari bentuk
status ke kontrak, sejalan dengan perkembangan masyarakat dari sederhana ke masyarakat
kompleks dan modern. Pada masyarakat modern hubungan antara para anggota
masyarakat dilakukan atas dasar sistem hak dan kewajiban yang tertuang dalam
bentuk suatu kontrak yang dibuat secara sadar dan sukarela oleh pihak-pihak
yang berkenaan.
Dengan
demikian, Maine sebenarnya tidak menerima konsep Volkgeist Savigny yang dianggapnya
sebagai suatu konsep yang diselibungi mistik. Maine justru mengembangkan suatu
tesis yang mengatakan bahwa perjalanan masyarakat menjadi progresif disitu
terlihat adanya perkembangan situasi yang ditentukan oleh status kepada
pengguna kontrak
Selanjutnya
Maine mengatakan tentang adanya masyarakat yang statis dan progresif.
Masyarakat yang statis adalah masyarakat yang mampu mengembangkan hukum sendiri
melalui melalui 3 cara, yaitu: fiksi, equity, dan perundang-undangan. Pandangan
terakhir inilah yang oleh beberapa penulis hukum digunakan untuk membedakan
Maine dengan Savigny. Tampaknya Maine tidak mengesampingkan peranan perundangan
dan kodefikasi dalam pengembangan hukum pada masyarakat yang telah maju.
C.
Pengaruh Aliran Historis Dalam Konteks Indonesia
Banyak
teori yang dimunculkan oleh ahli hukum untuk mencoba menemukan dan menggagas
ide tentang pengembanan hukum termasuk didalamnya pembentukan atau pembaharuan
hukum. Masing-masing teori berupaya mengajukan argumentasi atas pendapatnya
dengan menonjolkan keunggulan dari teori yang telah mereka bangun. Biasanya
suatu teori lahir sebagai akibat atau reaksi terhadap teori yang mendahuluinya.
Reaksi tersebut bisa berupa penolakan dan bisa juga justru memberikan dasar
pijakan yang lebih kuat terhadap teori sebelumnya.
Kelebihan
pemikiran hukum dari madzab sejarah adalah sikap tegas yang mengatakan bahwa
hukum itu merupakan derivasi nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat.
Dalam kaitan itu dapat diasumsikan bahwa hukum yang demikian akan mempunyai
daya berlaku sosiologis. Oleh karena hukum pasti sesuai dengan kesadaran hukum
masyarakat. Tegasnya, satu-satunya sumber hukum menurut madzab ini adalah kesadaran
hukum suatu bangsa. Selanjutnya, kebaikan madzab ini adalah ditempatkannya
kedudukan hukum kebiasaan sejajar dengan undang-undang tertulis. Sikap semacam
ini dapat mencegah kepicikan orang akan wujud hukum yang utuh.
Di
Indonesia pengaruh ajaran madzab sejarah sangat dirasakan, yakni dengan
lahirnya cabang ilmu hukum baru yang dikenal sebagai hukum adat, yang
dipelopori oleh Van Vollenhoven, Ter Haar serta tokoh-tokoh hukum adat lainnya.
Demikian juga bagi para ahli sosiologi, saran Savigny memperteguh keyakinan
mereka bahwa antara sistem hukum dan sistem sosial lainnya terdapat hubungan
timbal balik yang saling mempengaruhi. Keyakinan semacam itu akan menghasilkan
suatu produk hukum yang akan memiliki daya berlaku sosiologis.
Mochtar
Kusumaatmadja mengatakan bahwa bagi Indonesia, pemikiran dan sikap madzab ini
terhadap hukum telah memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan (”
preservation”) hukum adat sebagai pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan
(asli) penduduk pribumi dan mencegah terjadinya “pembaratan” (westernisasi)
yang terlalu cepat, kalau tidak hendak dikatakan berhasil mencegahnya
samasekali, kecuali bagi sebagian kecil golongan pribumi.
Dalam konteks
kekinian, lahirnya gerakan pemikiran hukum yang mengarah pada
pengoptimalisasian fungsi lembaga mediasi yang ada dilevel masyarakat grass
root secara tidak langsung dapat dikatakan sebagai pengaruh tidak langsung
mazhab sejarah bagi pemikiran hukum di Indonesia. Di Nusa Tenggara Barat gerakan ini mulai diawali di desa
Lebah Sempaga dan Desa Bagu yang telah membuat Balai Mediasi Desa yang sudah
mengarah kepada penggalian budaya dan kebiasaan masyarakat.
Akan
tetapi pemikiran hukum madzab ini juga mengandung beberapa kelemahan yakni:
-
tidak diberikannya tempat bagi ketentuan yang sifatnya
tertulis (peraturan perundang-undangan);
-
konsepsinya tentang kesadaran hukum sifatnya sangat abstrak
serta konsepsinya tentang jiwa rakyat tidak memuaskan banyak pihak;
-
inkonsistensi sikap mengenai hukum yang terbaik bagi suatu
bangsa.
Masing-masing
kelemahan tersebut akan diuraiakan sebagai berikut
1.
Tidak diberikannya tempat bagi ketentuan yang sifatnya tertulis (peraturan
perundang-undangan);
Hukum
dalam konsepsi mazhab sejarah adalah kebiasaan tidak tertulis yang hidup
ditengah masyarakat sebagai pengejawantahan nilai yang ada pada komunitas
mereka. Dengan demikian, satu-satunya sumber hukum menurut madzab ini adalah
kesadaran hukum masyarakat. Konkretisasi dari kesadaran hukum tersebut sebagai
norma yang mengikat masyarakatnya tampak pada aturan-aturan tidak tertulis.
Bagi
masyarakat modern dengan kompleksitas permasalahannya, sangat tidak mungkin
pengaturan tertib sosial dengan aturan tidak tertulis, apalagi dalam jumlah
yang banyak. Jika masyarakat modern (yang jumlahnya tidak sedikit) menggunakan
aturan tidak tertulis dalam mengatur kebutuhan dan kepentingan dalam tata
pergaulannya pada masyarakat, maka dapat dibayangkan akan tercipta suatu
ketidakpastian hukum. 0leh karena, sebagaimana pandangan madzab ini, proses
konkretisasi kesadaran umum kesadaran hukum sebagai pedoman dalam melakukan
tindakan hukum membutuhkan ahli hukum yang setia sebagai abdi kesadaran
umum/kesadaran hukum. Ahli hukum itulah kemudian memformulasikan kesadaran
umum/kesadaran hukum yang diamatinya menjadi aturan-aturan tidak tertulis itu.
Oleh karena itu, apa yang menjadi ucapan ahli hukum dianggap terjemahan dari
jiwa masyarakat.
2.
Konsepsinya tentang kesadaran hukum sifatnya sangat abstrak serta konsepsinya
tentang jiwa rakyat tidak memuaskan banyak pihak;
Menurut
pandangan madzab sejarah kesadaran hukum masyarakat bukanlah merupakan
pertimbangan rasional. tetapi berkembang dan dipengaruhi oleh pelbagai faktor,
yaitu agama, ekonomi, politik, dan sebagainya. Pandangan ini selalu berubah. oleh karena itu hukum pun
selalu tidak sama (namun, bukan karena mengalami perubahan). Konsekuensinya.
tidak ada ukuran tentang isi hukum yang berlaku obyektif yang dapat diterima
setiap orang secara ilmiah.
Selanjutnya
ajaran savigny mengenai fungsi dan perkembangan hukum terkait dengan konsep
jiwa masyarakat dalam madzab ini tidak dapat menunjukkan secara jelas bagaimana
isi dan ruang lingkupnya. sehingga amat sulit melihat fungsi dan
perkembangannya sebagai sumber utama hukum menurut madzab ini.
3.
Inkonsistensi sikap mengenai hukum yang terbaik bagi suatu bangsa.
Savigny
menyebutkan bahwa hukum yang baik adalah yang bersumber dari jiwa rakyat tetapi
dalam sebuah tulisannya yang lain, yang membahas tentang Hukum Romawi, dia
mengatakan bahwa Hukum Romawi merupakan hukum terbaik Studi Savigny yang mendalam atas Hukum Romawi
menjelaskan pada dirinya bahwa perkembangan Hukum Romawi merupakan contoh
penuntun hukum yang bijaksana yang membentuk hukum melalui adaptasi bertahap
bagi zaman-zaman sebelum “corpus yuris” membentuk kodefikasi yang final
Ada
dua hal yang tersirat dari uraian di atas, yakni:
a.
ketidakjelasan makna dan fungsi jiwa rakyat;
b. kodefikasi
merupakan “tindakan final” dari suatu upaya memformulasikan hukum, yang berarti
akhirnya, sikap anti anti Savigny terhadap kodefikasi tampaknya sudah
diperluwes.
terima kasih untuk tulisannya
BalasHapusthanks
BalasHapusmau tanya ini sumbernya dari mana?
BalasHapus