Assalamu'Alaikum Wr.Wb.

Pada sang bayu kutitipkan salam cinta penuh kerinduan, tuk ayah ibu kuhaturkan ♥
Terucap dari hati dengan kecintaan, padamu ridho kuharapkan ♥
Salam kasih sahabatku, lewat dunia maya kumenyapamu ♥
Meski tak pernah bertemu, dekat di hati kuharap selalu ♥
Salam hangat kuberikan, padamu wahai Sahabat ♥
Jarak dan waktu telah memisahkan, kurindu kebersamaan ♥
Salam indah duniaku, indahkanlah hari-hariku, berikan senyuman untukku ♥
Tuk menyapa orang terdekatku, berikan mereka bahagia selalu ♥

Senin, 29 April 2013

Manusia Moral dan Hukum


A.  PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Penulisan Makalah
Untuk memenuhi tugas, penulis menyajikan makalah yang berjudul “Manusia, Moralitas dan Hukum”. Makalah ini membahas mengenai konsep-konsep moral dalam hukum dan penerapan dalam kehidupan manusia bermasyarakat dan bernegara untuk menciptakan sepremasi hukum. Melihat penerapan penegakan hukum Indonesia masih belum sesuai dengan undang-undang maka diperlukan suatu perbaikan mengarah pada moralitas masyarakat, serta dibutuhkan suatu kontrol nurani bagi semua warga negara khususnya bagi penegak hukum yang semakin leluasa menguasai keadilan negara ini. Melihat hal itu maka kami sebagai penulis menyusun sepatah dan beberapa pendapat mengenai Manusia, Moralitas dan Hukum.
2.      Perumusan Makalah
  1. Apa perbedaan, penciptaan serta hubungan hukum dan moralitas ?
  2. Bagaimana mensinergikan hukum dan moral dalam menegakkan keadilan ?
  3. Bagaimana Potret Hukum dan Moralitas Bangsa Kita, jelaskan ?
  4. Bagaimana cara memperbaiki kontrol nurani bagi penegak hukum ?
3.      Tujuan Penulisan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka di peroleh tujuan Penulisan Makalah ini sebagai berikut :
  1. Menjelaskan perbedaan hukum dan moralitas serta tujuan penciptaannya serta hubungannya.
  2. Mendiskripsikan sinergi hukum dan moral dalam menegakkan undang-undang berdasarkan moralitas masyarakat.
  3. Memberi gambaran mengenai Problem Moral Penegak Hukum.
  4. Menyebutkan cara kontrol nurani bagi penegak hukum menurut Aristoteles.
B.  PEMBAHASAN1.     
 Hukum dan Moralitas
Achmad Ali menyatakan hukum adalah seperangkat norma tentang apa yang benar dan apa yang salah, yang dibuat dan diakui eksistensinya oleh pemerintah yang dituangkan baik dalam aturan tertulis (peraturan) maupun yang tidak tertulis yang mengikat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya secara keseluruhan dan dengan ancaman sanksi bagi pelanggar aturan tersebut. Hukum harus mencakup tiga unsur, yaitu kewajiban, moral dan aturan. Istilah moralitas kita kenal secara umum sebagai suatu sistem peraturan-peraturan perilaku sosial, etika hubungan antar-orang.
Hukum diciptakan dengan tujuan yang berbeda-beda, ada yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah keadilan, ada juga yang menyatakan kebinaan, ada yang menyatakan kepastian hukum.
Diturunkan ayat, aturan hukum dan moral adalah untuk menciptakan kemaslahatan umat manusia pada umumnya. Muhammad Abied al-Jabiri membagi kemaslahatan dalam tiga bentuk yaitu
  1. Kemaslahatan yang sangat mendasar (dharuriyat)
Adalah kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat.
Kemaslahatan ini dibagi menjadi 5 yaitu :
  1. Kemaslahatan jiwa
  2. Kemaslahatan akal
  3. Kemaslahatan keturunan
  4. Kemaslahatan harta
Adalah kemaslahatan yang memperhatikan kebutuhan materi dalam kehidupan sehari-hari
  1. Kemaslahatan agama
Adalah kemaslahatn yang memperhatikan tujuan agama dan menjadi pondasi kemaslahatan diatasnya.
2.  Kemaslahatan untuk kelangsungan hidup (hajiyat)
Adalah kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk  keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia. Misalnya, dalam bidang ibadah diberi keringanan meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir.
3.  Kemaslahatan untuk mencapai kesempurnaan ( tahsinat).
Adalah kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan yang bergizi.

2.      Sinergi Hukum dan Moral
Setelah mengalami amandemen ke-1 sampai ke-4, tampak bahwa Bab I Pasal 1 UUD 1945 (tentang bentuk dan kedaulatan) telah mengalami perubahan berbunyi: Negara Indonesia Adalah Negara Hukum. Makna negara hukum adalah negara yang mengutamakan hukum sebagai landasan berpijak dan berbuat dalam konteks hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan kata lain, hukum merupakan hal yang supreme : bukan uang dan kekuasaan. Agar hukum dapat menjadi supreme, maka hukum/undang-undang tersebut harus bersinergi dengan moralitas masyarakat. Keharusan hukum bersinergi dengan moralitas masyarakat, telah diungkapkan oleh teori/ajaran ilmu hukum yang mengajarkan bahwa suatu undang-undang akan dapat berlaku efektif di masyarakat apabila undang-undang tersebut memiliki 3 macam kekuatan, yaitu juristische geltung, soziologische geltung dan filosofische geltung.
Soziologische geltung dan filosofische geltung mengajarkan kepada kita bahwa undang-undang yang mengakomodasi/merespon secara benar moralitas masyarakat, yang akan mempermudah terwujudnya supremasi hukum. Karena penegakan undang-undang tersebut secara mutatis mutandis berarti menegakkan moralitas masyarakat. Sebaliknya, apabila suatu undang-undang gagal mengakomodasi/merespon moralitas masyarakat, maka perwujudan supremasi hukum akan mengalami kesulitan. Dalam konteks ini, undang-undang/hukum akan dijadikan perisai untuk melawan moralitas masyarakat. Dalam konteks ini pula, penegakan hukum tidak akan memberikan kenyamanan dan keadilan bagi masyarakat.
Dari sudut hukum ilustrasi di atas dapat dipergunakan sebagai bahan untuk menjelaskan penyebab adanya permintaan nonaktif sementara sebagai Ketua DPR-RI yang ditujukan kepada Ir Akbar Tandjung, setelah yang bersangkutan “dihadiahi” hukuman penjara 3 tahun oleh pengadilan, tidak segera dipenuhi oleh sang Ketua DPR, dan bahkan permintaan tersebut juga ditentang oleh Partai Golkar, sebagaimana tertuang dalam bab III, Pasal 11 s/d 17 UU No. 04/1999 (UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD), dan yang tertuang dalam Peraturan Tata Tertib DPR-RI, secara tersurat tidak mengatur persoalan nonaktif sementara dalam kaitannya dengan cacat moral anggota DPR. Dan kaitannya dengan terpilihnya kembali Tersangka Kasus 27 Juli sebagai Gubernur Ibu Kota Negara, terpaksa harus diakui dan diterima sebagai kenyataan bahwa memang belum mengatur persoalan cacat moral (misalnya sebagai tersangka pelaku tindak pidana di masa lalu) dalam kaitannya dengan persyaratan menjadi gubernur. Dalam pasal 33 UU No. 22 Tahun 1999 (tentang Pemerintahan Daerah), persoalan moralitas calon gubernur, dengan kalimat tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana dan tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan negeri. Khususnya pasal 16 (yang mengatur tentang gubernur dan wakil gubernur), juga tidak diatur persoalan moralitas (calon) gubernur. Seharusnya dirumuskan setiap anggota MPR/DPR/ DPRD yang patut disangka telah melakukan tindak pidana, wajib menyatakan diri nonaktif sementara sebagai anggota MPR/DPR/DPRD sampai perkaranya mendapatkan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Hal ini sungguh sangat urgen mengingat saat ini sedang dibahas RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR/DPRD. Tanpa diikuti status nonaktif sementara, putusan pengadilan negeri yang sudah dengan susah payah dihasilkan, menjadi tidak bermakna/berefek sama sekali, Semoga pesan moral dalam bentuk introducing status nonaktif sementara dari jabatan publik selama berstatus hukum sebagai tersangka atau terpidana sementara, dapat ditampung dalam berbagai RUU untuk merevisi UU lama, khususnya UU No. 28/1999 (UU tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN). Apabila hal ini dilakukan, kita pantas optimistis dapat mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN serta perbuatan tercela/pidana lainnya.
3.         Potret Hukum dan Moralitas Bangsa Kita
Hukum tidak dapat dipisahkan dari aspek moral.Apabila hukum belum secara konkrit mengatur, sedangkan moralitas telah menuntut untuk ditranformasikan oleh karena itu moralitas haruslah di utamakan. Hukum bukanlah suatu tujuan. Hukum itu sendiri diciptakan bukanlah semata-mata untuk mengatur, tetapi lebih dari itu untuk mencapai tujuan yang luhur, yakni keadilan, kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat.
Seperti yang dinyatakan H.L.A. Hart dalam bukunya General Theory of Law and State, 1965 sebenarnya harus meliputi tiga unsur nilai, yakni kewajiban, moral dan aturan. Bangsa kita adalah bangsa yang berbudaya ketimuran yang sangat menjunjung tinggi nilai moralitas, berbeda dengan bangsa Barat. Tetapi akhir-akhir ini, tanpa kita sadari ataupun disadari, telah terjadi degradasi moral di negeri ini. Sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dianggap benar, dan bahkan dianggap sebagai suatu kemajuan. Sedangkan sesuatu yang mengandung nilai – nilai agama diabaikan dan mungkin dianggap suatu kemunduran.
Tanpa kita sadari ataupun tidak umat Islam saat ini sedang dihancurkan secara halus melalui perusakan moralitas (akhlak). Padahal akhlak adalah sesuatu yang utama pada manusia. Nabi Muhammad SAW bersabda :
“Sesungguhnya aku diutus tiada lain untuk menyempurnakan moralitas bangsa”. (H.R. Malik bin Anas dan Ahmad bin Hanbal)
Dalam menyelesaikan problem itu, hendaknya dicariakan solusi pemecahannya yang mencerminkan terpenuhinya keadilan terhadap hak-hak asasi manusia, tanpa mengorbankan moral sebagai religious values (nilai-nilai agama). Hal ini tanggung jawab kita bersama terutama para pemimpin, yang tentunya harus responsif terhadap problem yang ada. Dengan segera pemerintah dan para dewan menanggapi problem yang ada. Jika hukum belum ada secara jelas, sedangkan moral telah menuntut ditransformasikan, seharusnya moralitas menjadi perhatian yang paling utama.
Pada saat ini telah terjadi modernisasi dan globalisasi yang tidak dapat kita hindari. Tidak dapat kita pungkiri perkembangan ilmu pengetahuan tidak lepas dari ikut sertanya media elektronika. Tetapi disisi lain, media elektronika juga dapat membawa dampak negative, namun semua itu tergantung penggunaan pribadi masing-masing.
4.        Hukum dan Moral, Sebuah Seruan Etis
Hubungan antara hukum dan moral sangan erat sekali, ada pepatah Roma mengatakan “Apa artinya Undang – undang kalau tida disertai moralitas?”. Dengan demikian hukum tidak akan berarti tanpa dijiwai moralitas, hukum akan kosong tanpa moralitas. Oleh karena itu kualitas hukum harus selalu diukur dengan norma moral, perundang undang-undangan yang immoral harus diganti dengan demikian hukum bisa meningkatkan dampak social dari moralitas. Hukum hanya membatasi diri dengan mengatur hubungan antar manusia yang relevan.
Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat namun hukum dan moral tetap berbeda sebab dalam kenyataannya mungkin ada hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang – undang yang immoral yang berarti terdapat ketidak cocokan antara hukum dan moral. Untuk itu dalam konteks ketatanegaraan Indonesia dalam pengambilan keputusan hukum membutuhkan moral sebagaimana moral membutuhkan hukum. Kualitas hukum terletak pada bobot moral yang dijiwainya. Menurut Dahlan Thaib “Tanpa moralitas hukum tampak kosong dan hampa”.
Menurut K. Bertens menyatakan ada empat perbedaan antara hukum dan moral :
  1. Hukum lebih dikodifikasikan dari pada moralitas
  2. Hukum dan moral mengatur tingkah laku manusia
  3. Sanksi yang berkaitan berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas
  4. Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak Negara.
Yang diperlukan pada saat ini sekaligus menjadi  seruan etis kita adalah perlu adanya political will dan dengan kekuatan-kekuasaan yang ada pada pemerintah saat ini, meski bukit dan gunung akan rubuh dan langit akan runtuh-bendera supsremasi hukum harus benar-benar dipancangkan dan keadilan segera diciptakan tanpa kompromi.
5.        Problem Moral Penegakan Hukum
Menurut Thomas Koten mengemukakan sosok hukum lebih dipakai sebagai alat pemenuhan kepentingan orang-orang kuat secara politik dan ekonomi daripada sebagai jalan terciptanya keadilan yang memberikan ruang bagi kesejahteraan rakyat dan mematrikan keagungan negara sebagai negara hukum.
Berbagai kritik dan saran publik sudah begitu kerap dilontarkan kepada aparat penegak hukum. Tetapi, ironisnya hingga kini belum juga muncul kesadaran yang diikuti perbaikan terhadap cara berpikir dan cara mempraktikkan hukum secara benar. Salah satu indikasinya adalah, penyelesaian kasus hukum korupsi seputar Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah, tetapi seolah hanya menyembulkan bau busuk yang menyengat hidung.
Untuk itulah, sosok negara kita pun hanya dapat dimengerti sebagai negara yang produk hukumnya lebih merupakan kosmetik negara hukum daripada penonjolan esensi hukum dan penegakan eksistensi keadilan publik. Hukum hanya bagus dalam kata-kata dan indah dalam lukisan undang-undang yang ratusan jumlahnya, tetapi praktiknya jauh dari harapan.
Problem mendasar dalam praksis penegakan hukum, sebagaimana yang diuraikan di atas, adalah putusan yang diambil di meja pengadilan tidak memiliki roh keadilan. Oleh karena itu, kerap dikatakan bahwa kalangan penegak hukum kita tidak memiliki nurani dan minus nilai-nilai etik-moral.
6.         Kontrol Nurani
Negara Indonesia sebagai negara hukum dapat dilihat pada Bab I Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara berdasarkan hukum ditandai oleh beberapa asas, antara lain asas bahwa semua perbuatan atau tindakan pemerintahan atau negara harus didasarkan pada ketentuan hukum tertentu yang sudah ada sebelum perbuatan atau tindakan yang dilakukan. Campur tangan atas hak dan kebebasan seseorang atau kelompok masyarakat hanya dapat dilakukan berdasarkan aturan-aturan hukum tertentu.
Pemikir Aaron T Beck dari University of Pennsylvania memberikan solusi dengan peningkatan pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab moral.Ia menyebutkan the caring orientation yang artinya kewajiban untuk peka terhadap kepentingan orang banyak, rasa tanggung jawab terhadap kesejahteraan bersama,  kesediaan mengorbankan kepentingan pribadi dan kelompok jika itu berbeda dengan kepentingan seluruh rakyat.
Menurut Aristoteles untuk mendapatkan keputusan yang adil dalam penegakan hukum diperlukan :
  1. Penajaman moral dan norma-norma etika dalam penegakan hukum dengan perumusan nilai-nilai etis
  2. Perlunya tindakan untuk kembali ke diri sendiri sebagai sebuah bentuk kontrol nurani.
C.  KESIMPULAN
Diturunkan ayat, aturan hukum dan moral adalah untuk menciptakan kemaslahatan umat manusia pada umumnya. Muhammad Abied al-Jabiri membagi kemaslahatan dalam tiga bentuk yaitu Kemaslahatan yang sangat mendasar (dharuriyat), Kemslahatan untuk kelangsungan hidup (hajiyat), dan Kemaslahatan untuk mencapai kesempurnaan ( tahsinat).
Undang-undang akan dapat berlaku efektif di masyarakat apabila undang-undang tersebut memiliki 3 macam kekuatan, yaitu juristische geltung, soziologische geltung dan filosofische geltung. Soziologische geltung dan filosofische geltung mengajarkan kepada kita bahwa undang-undang yang mengakomodasi/merespons secara benar moralitas masyarakat, akan mempermudah terwujudnya supremasi hokum.
Hukum bukanlah suatu tujuan. Hukum itu sendiri diciptakan bukanlah semata-mata untuk mengatur, tetapi lebih dari itu untuk mencapai tujuan yang luhur, yakni keadilan, kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat. Bangsa kita adalah bangsa yang berbudaya ketimuran yang sangat menjunjung tinggi nilai moralitas tapi tanpa kita sadari ataupun disadari, telah terjadi degradasi moral di negeri ini. Sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dianggap benar, dan bahkan dianggap sebagai suatu kemajuan. Sedangkan sesuatu yang mengandung nilai – nilai agama diabaikan dan mungkin dianggap suatu kemunduran.
Hubungan antara hukum dan moral sangan erat sekali, meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat namun hukum dan moral tetap berbeda sebab dalam kenyataannya mungkin ada hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang – undang yang immoral yang berarti terdapat ketidak cocokan antara hukum dan moral.
Menurut Thomas Koten mengemukakan sosok hukum lebih dipakai sebagai alat pemenuhan kepentingan orang-orang kuat-secara politik dan ekonomi – daripada sebagai jalan terciptanya keadilan yang memberikan ruang bagi kesejahteraan rakyat dan mematrikan keagungan negara sebagai negara hukum. Problem mendasar dalam praksis penegakan hukum, sebagaimana yang diuraikan di atas, adalah putusan yang diambil di meja pengadilan tidak memiliki roh keadilan. Oleh karena itu, kerap dikatakan bahwa kalangan penegak hukum kita tidak memiliki nurani dan minus nilai-nilai etik-moral.
Negara Indonesia sebagai negara hukum dapat dilihat pada Bab I Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Negara Indonesia adalah negara hukum. Menurut Aristoteles untuk mendapatkan keputusan yang adil dalam penegakan hukum diperlukan Penajaman moral dan norma-norma etika dalam penegakan hukum dengan perumusan nilai-nilai etis, dan perlunya tindakan untuk kembali ke diri sendiri sebagai sebuah bentuk kontrol nurani.
DAFTAR PUSTAKA
  1. Anonim.http://muchad.info/muchad/dalil-syar%E2%80%99i-bag-2-al-maslahah-al-mursalah.html diakses tanggal 20 november 2010.
  2. Wibowo Anton PS. http://famm2007.multiply.com/reviews/item/19 diakses tanggal 20 november 2010.
  3. Direktur Social Development Center. http://koranindonesia.com/2008/03/31/urgensi-etik-moral-penegakan-hukum/ diakses tanggal 20 november 2010.
  4. http://islamlib.com/id/artikel/potret-hukum-dan-moralitas-bangsa-kita/ diakses tanggal  29 oktober 2010.
  5. http://matahatifh.wordpress.com/2009/12/07/penegakan-hukum-berdasarkan-prinsip-prinsip-%E2%80%9Cthe-rule-of-law%E2%80%9D-konsep-penegakan-hukum-humanis-menuju-keadilan-substantif-oleh-dr-nurul-akhmad/ diakses tanggal 15 november 2010.
  6. Suwarno, dkk. 2008. ISBD. Surakarta : BP-FKIP UMS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar