Sebelum
aliran ini lahir, telah berkembang suatu pemikiran dalam ilmu hukum yang
disebut dengan Legisme yang memandang tidak ada hukum di luar undang-undang,
dalam hal ini satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang.
1) Analitis
Pemikiran ini berkembang di Inggris namun
sedikit ada perbedaan dari tempat asal kelahiran Legisme di Jerman. Di Inggris,
berkembang bentuk yang agak lain, yang dikenal dengan ajaran Positivisme Hukum
dari John Austin, yaitu Analytical
Jurisprudence. Austin membagi hukum atas 2 hal, yaitu:
a)
Hukum yang diciptakan oleh Tuhan
untuk manusia.
b)
Hukum yang disusun dan dibuat oleh
manusia, yang terdiri dari:
- Hukum dalam arti yang sebenarnya.
Jenis ini disebut sebagai hukum positif yang terdiri dari hukum yang dibuat
penguasa, seperti: undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya, hukum
yang dibuat atau disusun rakyat secara individuil yang dipergunakan untuk
melaksanakan hak-haknya, contoh hak wali terhadap perwaliannya.
- Hukum dalam arti yang tidak
sebenarnya, dalam arti hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum,
contoh: ketentuan-ketentuan dalam organisasi atau perkumpulan-perkumpulan.
Menurut
Austin, dalam hukum yang nyata pada point pertama, di dalamnya terkandung
perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan. Sehingga ketentuan yang tidak
memenuhi keempat unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hukum.
2) Hukum Murni
Ajaran hukum murni dikatagorikan ke dalam
aliran positivisme, karena pandangan-pandangannya tidak jauh berbeda dengan
ajaran Austin. Hans Kelsen seorang Neo Kantian, namun pemikirannya sedikit
berbeda apabila dibandingkan dengan Rudolf Stammler. Perbedaannya terletak pada
penggunaan hukum alam. Stanmmler masih menerima dan menganut berlakunya suatu
hukum alam walaupun ajaran hukum alamnya dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedang
Hans Kelsen secara tegas mengatakan tidak menganut berlakunya suatu hukum alam,
walaupun Kelsen mengemukakan adanya asas-asas hukum umum sebagaimana tercermin
dalam Grundnorm/Ursprungnormnya.
Ajaran Kelsen juga dapat dikatakan
mewakili aliran positivisme kritis (aliran
Wina). Ajaran tersebut dikenal dengan nama Reine Rechtslehre atau
ajaran hukum murni. Menurut ajaran tersebut, hukum harus dibersihkan dari
dan/atau tidak boleh dicampuri oleh politik, etika, sosiologi, sejarah, dan
sebagainya. Ilmu (hukum) adalah susunan formal tata urutan/hirarki norma-norma.
Idealisme hukum ditolak sama sekali, karena hal-hal ini oleh Kelsen dianggap
tidak ilmiah. Adapun pokok-pokok ajaran
Kelsen adalah sebagai berikut:
a) Tujuan teori ilmu hukum sama halnya
dengan ilmu-ulmu yang lain adalah meringkas dan merumuskan bahan-bahan yang
serba kacau dan keserbanekaragaman menjadi sesuatu yang serasi.
b) Teori filsafat hukum adalah ilmu,
bukan masalah apa yang dikehendaki, masalah cipta, bukan karsa dan rasa.
c) Hukum adalah ilmu normatif, bukan
ilmu ke-alaman (natuurwetenschap)
yang dikuasai oleh hukum kausalitas.
d) Teori/filsafat hukum adalah teori
yang tidak bersangkut paut dengan kegunaaan atau efektivitas norma-norma hukum.
e) Teori hukum adalah formal, teori
tentang ara atau jalannya mengatur perubahan-perubahan dalam hukum secara
khusus.
f)
Hubungan
kedudukan antara tori hukum dengan sistem hukum positif tertentu adalah
hubungan antara hukum yang serba mungkin dan hukum yang senyatanya.
Fungsi
teori hukum ialah menjelaskan hubungan antara norma-norma dasar dan norma-norma
lebih rendah dari hukum, tetapi tidak menentukan apakah norma dasar itu baik
atau tidak. Yang disebut belakangan adalah tugas ilmum politik, etiika atau
agama.
Teori konkretisasi hukum
menganggap suatu sistem hukum sebagai atau susunan yang piramidal. Stufentheorie diciptakan pertama kali
oleh Adolf Merkl (1836-1896), seorang murid dari Rudolf von Jhering, yang
kemudian diambil alih oleh Hans Kelsen. Kekuatan berlakunya hukum tertentu
tergantung pada norma hukum yang lebih tinggi, demikian seterusnya hingga
sampai pada suatu Grundnorm, yang
berfungsi sebagai dasar terakhir/tertinggi bagi berlakunya keseluruhan hukum
positif yang bersangkutan. Fungsi hukum tersebut bukan dalam arti hukum kodrat,
tetapi sebagai suatu Transcendental
Logische Voraussetzung, yaitu dalil yang secara transendental menentukan
bahwa norma dasar terakhir/tertinggi secara logis harus ada lebih dahulu, yang
sekaligus berfungsi sebagai penjelasan atau pembenaran ilmiah bahwa keseluruhan
norma-norma peraturan-peraturan dalam hukum positif yang bersangkutan itu pada
hakekatnya merupakan satu kesatuan yang serasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar