Assalamu'Alaikum Wr.Wb.

Pada sang bayu kutitipkan salam cinta penuh kerinduan, tuk ayah ibu kuhaturkan ♥
Terucap dari hati dengan kecintaan, padamu ridho kuharapkan ♥
Salam kasih sahabatku, lewat dunia maya kumenyapamu ♥
Meski tak pernah bertemu, dekat di hati kuharap selalu ♥
Salam hangat kuberikan, padamu wahai Sahabat ♥
Jarak dan waktu telah memisahkan, kurindu kebersamaan ♥
Salam indah duniaku, indahkanlah hari-hariku, berikan senyuman untukku ♥
Tuk menyapa orang terdekatku, berikan mereka bahagia selalu ♥

Selasa, 16 Oktober 2012

BERFIKIR FILSAFAT

PENDAHULUAN


Berfikir merupakan hal yang lazim dilakukan oleh semua orang, tidak hanya dari kalangan tertentu saja, tapi semua kalangan masyarakat. Tapi tidak semua dari mereka yang berfikir filsafat dalam kehidupan sehari-harinya. Berfikir filsafat sangatlah penting untuk semua orang dalam rangka menjalani aktivitas sehari-hari, atau untuk mencari solusi bagi sebuah permasalahan. Jika ditelaah secara mendalam, begitu banyak manfaat, serta pertanyaan-pertanyaan yang mungkin orang lain tidak pernah memikirkan jawabannya. Karena filsafat merupakan induk dari semua ilmu. Beberapa manfaat mahasiswa berfikir filsafat, yaitu mengajarkan cara berpikir kritis, sebagai dasar dalam mengambil keputusan, menggunakan akal secara proporsional, membuka wawasan berpikir menuju kearah penghayatan, dan masih banyak lagi. Itulah sebabnya mengapa setiap mahasiswa diharapkan untuk selalu berfikir filsafat kapanpun, dimanapun, dan dalam situasi apapun ia berada. Apalagi seorang Hakim yang harus selalu berfikir filsafat radikal, universal, konseptual, koheren/konsisten, dan sistematis dalam memutuskan suatu perkara.
Berfilsafat itu berarti berpikir, tapi berpikir itu tidak berarti berfilsafat. Hal ini disebabkan oleh berfilsafat berarti berpikir artinya dengan bermakna dalam arti berpikir itu ada manfaat, makna, dan tujuannya, sehingga mudah untuk direalisasikan dari berpikir itu karena sudah ada acuan dan tujuan yang pasti/sudah ada planning dan contohnya, dan yang paling utama hasil dari berpikir itu bermanfaat bagi orang banyak, tapi berpikir tidak berarti berfilsafat, karena isi dari berpikir itu belum tentu bermakna atau mempunyai tujuan yang jelas atau mungkin hanya khayalan saja.
Filsafat membawa kita berpikir secara mendalam, maksudnya untuk mencari kebenaran substansial atau kebenaran yang sebenarnya dan mempertimbangkan semua aspek, serta menuntun kita untuk mendapatkan pemahaman yang lengkap.


A. Ciri-ciri Berpikir Filsafat 


Orang yang berpikir filsafat paling tidak harus mengindahkan ciri-ciri berpikir sebagai berikut:
1. Berpikir filsafat Radikal. Yaitu berpikir sampai keakar-akarnya, sampai pada hakekat atau sustansi, esensi yang dipikirkan. Sifat filsafat adalah radikal atau mendasar, bukan sekedar mengetahui mengapa sesuatu menjadi demikian, melainkan apa sebenarnya sesuatu itu, apa maknanya.

2. Berpikir filsafat Universal. Yaitu berpikir kefilsafatan sebagaimana pengalaman umumnya.
Misalnya melakukan penalaran dengan menggunakan rasio atau empirisnya, bukan menggunakan intuisinya. Sebab, orang yang dapat memperoleh kebenaran dengan menggunakan intuisinya tidaklah umum di dunia ini. Hanya orang tertentu saja.

3. Berpikir filsafat Konseptual. Yaitu dapat berpikir melampaui batas pengalaman sehari-hari manusia, sehingga menghasilkan pemikiran baru yang terkonsep.

4. Berpikir filsafat Koheren dan Konsisten. Yaitu berpikir kefilsafatan harus sesuai dengan kaedah berpikir (logis) pada umumnya dan adanya saling kait-mait antara satu konsep dengan konsep lainnya.
5. Berpikir filsafat Sistematis. Yaitu dalam berpikir kefilsafatan antara satu konsep dengan konsep yang lain memiliki keterkaitan berdasarkan azas keteraturan untuk mengarah suatu tujuan tertentu.
6. Berpikir filsafat Komprehensif. Yaitu dalam berpikir filsafat, hal, bagian, atau detail-detail yang dibicarakan harus mencakup secara menyeluruh sehingga tidak ada lagi bagian-bagian yang tersisa ataupun yang berada diluarnya.

7. Berpikir filsafat Bebas. Yaitu dalam berpikir kefilsafatan tidak ditentukan, dipengaruhi, atau intervensi oleh pengalaman sejarah ataupun pemikiran-pemikiran yang sebelumnya, nilai-nilai kehidupan social budaya, adat istiadat, maupun religious.

8. Berpikir filsafat Bertanggungjawab. Yaitu dalam berpikir kefilsafatan harus bertanggungjawab terutama terhadap hati nurani dan kehidupan sosial.

B. Penalaran
1. Hakikat Penalaran
Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran. Penalaran merupakan proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan.
2. Ciri-ciri Penalaran
  1. Adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika (penalaran merupakan suatu proses berpikir logis).
  2. Sifat analitik dari proses berpikir. Analisis pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu. Perasaan intuisi merupakan cara berpikir secara analitik.
Cara berpikir masyarakat dapat dibagi menjadi 2, yaitu : Analitik dan Non analitik. Sedangkan jika ditinjau dari hakekat usahanya, dapat dibedakan menjadi : Usaha aktif manusia dan apa yang diberikan.
Penalaran Ilmiah sendiri dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
  1. Deduktif yang berujung pada rasionalisme
  2. Induktif yang berujung pada empirisme
C. Logika
Logika berasal dari bahasa Yunani yaitu LOGOS yang berarti ilmu. Logika pada dasarnya filsafat berpikir. Berpikir berarti melakukan suatu tindakan yang memiliki suatu tujuan. Jadi pengertian Logika adalah ilmu berpikir / cara berpikir dengan berbagai tindakan yang memiliki tujuan tertentu.
  • Logika induksi : Cara berfikir dimana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual.
  • Logika deduktif : Cara berfikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
D. Teori Kebenaran
  1. Teori kebenaran Korespondensi. Yaitu pengetahuan mempunyai nilai benar apabila pengetahuan itu mempunyai saling kesesuaian dengan obyek atau kenyataan yang diketahui. Contoh: Gigi berada didalam mulut, tidak dikaki.
  2. Teori kebenaran Koherensi. Yaitu pengetahuan mempunyai nilai benar apabila pengetahuan itu mempunyai hubungan dengan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya dan dinyatakan pula bernilai benar.
  3. Teori kebenaran Pragmatis. Yaitu pengetahuan bernilai benar apabila pengetahuan itu dinyatakan dapat dipergunakan dalam kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam hal ini kebenaran pragmatis tidak mempermasalahkan pentingnya hakikat kebenaran, tetapi yang lebih diutamakan adalah tentang berguna atau tidaknya suatu pengetahuan itu. Contoh: Pena dianggap benar bila dapat digunakan untuk menulis. 
  4. Teori kebenaran Sintaksis. Yaitu pengetahuan atau pernyataan dapat bernilai benar apabila pengetahuan atau pernyataan itu tersusun sedemikian rupa sesuai dengan aturan tata bahasa yang berlaku. Contoh: adanya perbedaan makna antara kalimat ‘seorang dokter mengoperasi pasien di ruang operasi’ dan ‘seorang dokter mengoperasi, pasien di ruang operasi’. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan susunan kalimat. 
  5. Teori kebenaran Semantis. Yaitu suatu pengetahuan atau pernyataan bernilai benar apabila pengetahuan atau pernyataan itu memiliki arti dengan menunjukkan makna yang sesungguhnya berdasarkan kenyataan atau hal yang diacu. Contoh: meja tulis, meja makan, meja computer, dsb. 
  6. Teori kebenaran Non-Deskripsi. Yaitu suatu pengetahuan atau pernyataan bernilai benar apabila pengetahuan atau pernyataan itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan kesepakatan bersama untuk menggunakannya. Contoh: Petani menanam jagung (tapi sebenarnya yang ditanam adalah bibit jagung, untuk diharapkan menjadi jagung nantinya). 
  7. Teori kebenaran Logis yang berlebihan. Yaitu suatu pengetahuan atau pernyataan sudah bernilai benar dengan sendirinya. Contoh: Lingkaran adalah bulat, maju ke depan, mundur ke belakang, dan sebagainya.
E. Sumber Pengetahuan
Sumber pengetahuan dalam dunia ini berawal dari sikap manusia yang meragukan setiap gejala yang ada di alam semesta ini. Manusia tidak mau menerima saja hal-hal yang ada termasuk nasib dirinya sendiri. Rene Descarte pernah berkata “DE OMNIBUS DUBITANDUM” yang mempunyai arti bahwa segala sesuatu harus diragukan. Persoalan mengenai criteria untuk menetapkan kebenaran itu sulit dipercaya. Dari berbagai aliran maka muncullah pula berbagai kriteria kebenaran.4
Pengetahuan bukanlah sekedar pertemuan antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui, tetapi pengetahuan adalah persatuan antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui. Namun dalam pertemuan ini subyek tidak melebur jadi obyek, atau sebaliknya obyek tidak melebur jadi subyek.
Dalam kehidupan sehari-hari, pengertian tentang pengetahuan dibedakan orang menjadi pengetahuan biasa atau pengetahuan sehari-hari dan pengetahuan yang disebut ilmu atau ilmu pengetahuan. Pengetahuan biasa tidak memiliki syarat-syarat tertentu. Sedangkan ilmu pengetahuan memiliki persyaratan tertentu, yakni : Bersifat obyektif;  Bersifat universal; Memiliki metode; Sistematis


DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1995. 
Huijbers, Theo Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993. 
Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 1990, halaman. 
Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997. 
Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997.