BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perlunya persatuan organisasi
advokat dalam satu wadah organisasi akan lebih memudahkan
Dewan Kehormatan Advokat dalam mengawasi perilaku advokat agar
sesuai dengan Kode Etik Profesi Advokat. Selain itu, tidak akan terjadi konflik
kepentingan antar organisasi profesi advokat. Dengan banyaknya perilaku
menyimpang profesi advokat tersebut, semoga saja kita yang saat ini
sebagai mahasiswa Fakultas Hukum akan memperbaiki kinerja di bidang
hukum agar lebih baik dan jauh dari penyimpangan-penyimpangan. Amin…
B. Tujuan
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
SOSIOLOGI HUKUM. Selain itu agar para LOWYER bias menjalankan profesi nya secara baik.
C. Rumusan masalah
Bagaimanakah realita para
lowyer-lowyer yang nakal yang menjual dengan mudahnya ke adilan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.REALITA LOWYER
Realita yang akan anda baca adalah hasil kutipan
penulis dari pengalaman seseorang. Seorang rekan advokat dengan miris menceritakan pengalamannya pertama
kali menjalankan tugas dari advokat seniornya untuk menyerahkan sejumlah uang kepada hakim dalam
rangka memuluskan permohonan penangguhan penahanan bagi kliennya dalam proses persidangan pidana. Jumlahnya tidak terlalu banyak.
Kalau sebelumnya dengan jaksa penuntut umum kantor hukumnya mengeluarkan anggaran Rp7,5 juta agar klien merekatidak ditahan dalam proses penuntutan maka setelah
tawar menawar yangcukup alot kali ini
mereka hanya mengeluarkan Rp5 juta agar klien mereka tidak ditahan dalam proses pemeriksaan oleh hakim di
persidangan. Setelah itu, biaya lain juga harus disiapkan
paling tidak ketika vonisakan dibuat. Semua biaya semacam itu pada akhirnya
nanti akan dibebankan kepada
klien. Praktek serupa adalah hal yang biasa dalam menjalankan profesihukum.
Demikian kesimpulan cerita. Kalau tidak begitu, jangan harap seorangadvokat
dapat leluasa menjalankan profesinya. Relasi dengan aparat penegak hukum
lainnya akan terganggu dan cenderung dimusuhi. Artinya tidak berguna segala macam pengetahuan dan keterampilan berkaitan dengan penanganan kasus, karena pada
akhirnya yang menentukanadalah uang. Artinya
lagi tidak terlalu banyak berguna keberadaan advokatdalam memberikan jasa hukum kepada kliennya.
Kalau sekedar bayar membayar dan transaksi seperti itu saya yakin
masyarakat awam pun mampumelakukannya tak perlu didampingi advokat, yang
tentunya tidaklah gratis. Apakah advokat
sekaliber Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis dan beberapa nama yang
terkenal idealis lainnya dalam menjalankan profesi mereka tidak menghadapi kondisi serupa? Tidak menyuap,
tidak melobi dan tidak mengandalkan relasi dengan aparat hukum lain
untuk memenangkan perkara yang
ditanganinya? Kalau tidak bagaimana mereka bisa eksis dan semakin berjaya dengan profesinya padahal sudah
menjadi rahasia umum bahwa kalau tak mau bayar jangan harap
perkara menang?
Dalam
hal ini saya tak bisa berspekulasi. Tetapi yang jelas masalah praktek
mafia peradilan memang tampaknya masih menjadi tantangan utama bagi
reformasi penegakan hukum. Kondisi ini merupakan tugas berat bagi Mahkamah Agung, Komisi Judisial,
pejabat penegak hukum lainnya sertaorganisasi profesi advokat tentunya dalam meningkatkan fungsi pengawasan bagi aparat penegak hukum.
Bagi sebagian kalangan advokat ada pemahaman bahwa
seolah-olahmereka berada pada posisi yang diperas oleh aparat penegak hukum
lainya. Asumsinya, advokat lebih mudah
memperoleh penghasilan besar dari kasus yang mereka tangani sementara aparat penegak hukum
lain hanya mengandalkan gaji bulanan dengan
berbagai tunjangan yang tetap sajadipahami
tidak akan lebih besar dari pendapatan seorang advokat yang sukses tentunya.
Maka ketika advokat mulai bekerja menangani kasus sekaligus akan menjadi ladang
bagi-bagi rezeki bagi aparat hukum lainnya. Pada sisi lain bila permintaan biaya-biaya lain tidak dipenuhi
oleh advokat dikuatirkan akan berpengaruh bagi kasus yang mereka tangani.
Intinya nasib kliennya akan berada di ujung tanduk.Klien mana yang mau menderita kerugian terlalu
besar apalagi bilaharus menjadi
pesakitan dengan hukuman yang maksimal. Maka prinsip ekonomi pun bekerja di
sini. Biarlah mengeluarkan sejumlah cost tetapi besarnya tidak sebesar kerugian bila harus menjalani hukuman
maksimal,sekalipun sudah jelas posisi
hukumnya lemah, atau memang berada pada pihak yang bersalah. Pada kondisi
ini seolah-olah advokat berada dalam dilema antara tekanan aparat penegak
hukum dengan posisi klien mereka yang kebanyakan
berpikiran pragmatis. Maka tidak bisa tidak etika profesipun terabaikan dengan justifikasi
nasib klien. Sekalipun dengan demikian entah sadar entah tidak aturan hukumpun telah dilanggar. Tetapi benarkan advokat
dalam kondisi demikian berada dalam kondisi tertindas
hingga terpaksa memenuhi atau menjalankan praktek serupa di atas? Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat menegaskan Profesi Advokat adalah
profesi bebas dan mandiri yang dijaminoleh hukum dan peraturan perundang-undangan.
Sebelum
menjalankan profesinya
seorang advokat telah bersumpah di antaranya akan bertindak jujur berdasarkan hukum dan keadilan dalam
melaksanakan tugas profesinya,menjaga tingkah laku dan menjalankan
kewajiban sesuai dengan kehormatan,martabat, dan tanggung jawab sebagai
advokat.Hemat saya bila sumpah ini saja
diingat dan dijalankan oleh semuaadvokat idealnya mafia peradilan tidak akan
terjadi. Tetapi kalau sebagian besar
advokat tidak memiliki integritas dan lebih berprinsip siap sediamembela
siapa saja yang bayar maka tentunya profesi advokat sebagai profesiyang
terhormat tidak akan bertemu realisasinya. Maka selain membangun mekanisme rekrutment yang tidak hanya mementingkan pengetahuan dan keterampilan teknis
tetapi juga menekankan aspek moral dan integritas
seorang calon advokat, menerapkan sistem pengawasan profesi yang mestiya terhindar dari
semangat buta pembelaan “korp”
profesi, tak bisa tidak memberantas mafia peradilan harus dimulai dariadvokat itu sendiri. Sebab baik sistem rekruitment
dan pengawasan serta penegakan etika profesi tentunya akan diisi oleh para
advokat itu sendiri.Kalau yang merekrut
dan mengawasi etika profesi adalah advokat yang tidak punya
integritas hasilnya akan sama dengan istilah “jeruk makan jeruk”. Maka setiap advokat harus menegakkan etika
profesinya. Jangan biarkan advokat sebagai profesi terhormat harus tertindas dan
terpaksa melanggar hukum dan etika
sekaligus menjadi ladang perasan oleh aparat hukum lainnya. Bersikap kompromi agar hubungan aman dengan aparat
penegak hukum tak juga ada gunanya karena siapapun orangnya tak
akan bisa tentramdari olok-olok dan umpatan masyarakat
sekalipun bergelimang harta hasil menggadaikan kehormatan profesi. Maka ada
baiknya kita meminjam bait sajak Wiji
Thukul ;” Hanya ada satu kata : Lawan
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dengan apa yang sudah diterangkan diatas, maka saya sebagai
penulisakan menyimpulkan beberapa kesimpulan, yaitu :
1. Standar etika profesi advokat
saat ini sudah mulai seragam meskipun dalam enforcementnya tetap kembali pada
organisasi advokat masing-masing, padahal tujuan semula KKAI membentuk kode etik tunggal adalah agar pengawasan perilaku para advokat diawasi
oleh suatu Dewan Kehormatan yang dibentuk bersama, agar
pengawasan advokat menjadi efektif mengingat kesemerawutan pengawasan selama ini karena adanya delapan organisasi profesi advokat.
2. Sejalan dengan pemikiran yang
disampaikan oleh Prof. Liev, bahwa keberhasilan pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia akan sangat tergantung keberhasilannya bila
seluruh kekuatan tokoh-tokoh hukum bersatu,
sebagai pressure group
3. Etika dirupakan dalam bentuk
aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan
prinsip-prinsip moral yang ada; dan pada saatyang
dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum
(commonense) dinilai menyimpang dari kode etik. Kode etik profesi ini akan
dipakaisebagai rujukan (referensi) normatif dari pelaksanaan pemberian jasa profesi kepada mereka yang memerlukannya.
Seberapa jauh norma-norma etika profesi tersebut telah
dipatuhi dan seberapa besar penyimpangan penerapan
keahlian sudah tidak bisa ditenggang-rasa lagi, semuanya akanmerujuk pada kode etik profesi yang telah
diikrarkan oleh mereka yangsecara sadar mau berhimpun kedalam masyarakat
(society) sesama profesiitu.
4. Selama ini Dewan Kehormatan Advokat
tak banyak berperan. Hanya ada sedikit kasus yang sampai ke meja Dewan Kehormatan Advokat. Bukan karena tak ada pelanggaran kode
etik advokat, tetapi karena semangat saling melindungi sesama anggota profesi telah membuat pengaduan ke Dewan Kehormatan Advokat seperti tabu.
B.Saran
1.
Pasal 5 Undang-Undang tentang Advokat, jika dibaca bersamaan dengan Pasal 4 UU Advokat tentang Sumpah
Advokat, akan terlihat, profesi advokat yang dikenal sebagai officium nobelium adalah profesi luhur,mulia, dan
bermartabat. Sumpah itu antara lain berbunyi,"Bahwa sayadalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar
pengadilan tidak akan memberikan atau
menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau
pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara yang sedang atau akan saya tangani" . Bila Sumpah Advokat ini dibaca dengan teliti, kita
seharusnya tak melihatadvokat berkolusi
dengan polisi, jaksa, hakim, atau sesama advokat. Seharusnya tak ada korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN) yang merongrong wajah penegakan hukum
kita sehingga organisasi seperti Transparency International menggaris bawahi betapa maraknya judicial corruption (mafia
peradilan) di Indonesia.
2. Disinilah sebenarnya peran Dewan Kehormatan Advokat dibutuhkan yang telah ditunjang oleh Undang-Undang No. 18 Tahun 2003
tentang Advokat.Kita pun sebagai bagian
dari masyarakat tidak boleh membiarkan penyimpangan
perilaku advokat yang semakin ‘menggila’ ini. Dengan adanya Dewan Kehormatan Advokat, kita bisa melaporkan
penyimpangantersebut sekaligus mengawasi
kerja Dewan Kehormatan Advokat dalam menangani laporan yang telah kita berikan.
DAFTAR PUSTAKA
Berterns, Etika,
Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2001
Muhammad,
Abdulkadir, Etika Profesi Hukum, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,2001
Bintatar Sinaga
S.H.,M.H, Iwan Darmawan S.H.,M.H, Sapto Handoyo DP.,S.H, Etika Dan
Tanggung Jawab Profesi Hukum, Suatu Kontemplasi Menuju Fajar Budi, FKH : FH-UNPAK, 2009
Tubagus Ronny Rahman
Nitibaskara, Ketika Kejahatan Berdaulat ,
Ganesha Ex :Bandung, 2005
Gede A.B. Wiranata, Dasar Dasar Etika dan Moralitas, Bandung : Citra AdityaBakti, 2001
Darmawan iwan, Untaian Mutiara Kehidupan, Wedatama Widya Sastra, Jakarta,2004
Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar