Assalamu'Alaikum Wr.Wb.

Pada sang bayu kutitipkan salam cinta penuh kerinduan, tuk ayah ibu kuhaturkan ♥
Terucap dari hati dengan kecintaan, padamu ridho kuharapkan ♥
Salam kasih sahabatku, lewat dunia maya kumenyapamu ♥
Meski tak pernah bertemu, dekat di hati kuharap selalu ♥
Salam hangat kuberikan, padamu wahai Sahabat ♥
Jarak dan waktu telah memisahkan, kurindu kebersamaan ♥
Salam indah duniaku, indahkanlah hari-hariku, berikan senyuman untukku ♥
Tuk menyapa orang terdekatku, berikan mereka bahagia selalu ♥

Senin, 12 November 2012

REALITA LOWYER



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Perlunya persatuan organisasi advokat dalam satu wadah organisasi akan lebih memudahkan Dewan Kehormatan Advokat dalam mengawasi perilaku advokat agar sesuai dengan Kode Etik Profesi Advokat. Selain itu, tidak akan terjadi konflik kepentingan antar organisasi profesi advokat. Dengan banyaknya perilaku menyimpang profesi advokat tersebut, semoga saja kita yang saat ini sebagai mahasiswa Fakultas Hukum akan memperbaiki kinerja di bidang hukum agar lebih baik dan jauh dari penyimpangan-penyimpangan. Amin…
B.  Tujuan
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah SOSIOLOGI HUKUM. Selain itu agar para LOWYER bias menjalankan profesi nya secara baik.
C.  Rumusan masalah
Bagaimanakah realita para lowyer-lowyer yang nakal yang menjual dengan mudahnya ke adilan?




BAB II
 
PEMBAHASAN


A.REALITA LOWYER

Realita yang akan anda baca adalah hasil kutipan penulis dari pengalaman seseorang. Seorang rekan advokat dengan miris menceritakan pengalamannya pertama kali menjalankan tugas dari advokat seniornya untuk menyerahkan sejumlah uang kepada hakim dalam rangka memuluskan permohonan penangguhan penahanan bagi kliennya dalam proses persidangan pidana. Jumlahnya tidak terlalu banyak. Kalau sebelumnya dengan jaksa penuntut umum kantor hukumnya mengeluarkan anggaran Rp7,5 juta agar klien merekatidak ditahan dalam proses penuntutan maka setelah tawar menawar yangcukup alot kali ini mereka hanya mengeluarkan Rp5 juta agar klien mereka tidak ditahan dalam proses pemeriksaan oleh hakim di persidangan. Setelah itu, biaya lain juga harus disiapkan paling tidak ketika vonisakan dibuat. Semua biaya semacam itu pada akhirnya nanti akan dibebankan kepada klien. Praktek serupa adalah hal yang biasa dalam menjalankan profesihukum. Demikian kesimpulan cerita. Kalau tidak begitu, jangan harap seorangadvokat dapat leluasa menjalankan profesinya. Relasi dengan aparat penegak hukum lainnya akan terganggu dan cenderung dimusuhi. Artinya tidak berguna segala macam pengetahuan dan keterampilan berkaitan dengan penanganan kasus, karena pada akhirnya yang menentukanadalah uang. Artinya lagi tidak terlalu banyak berguna keberadaan advokatdalam memberikan jasa hukum kepada kliennya. Kalau sekedar bayar membayar dan transaksi seperti itu saya yakin masyarakat awam pun mampumelakukannya tak perlu didampingi advokat, yang tentunya tidaklah gratis. Apakah advokat sekaliber Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis dan beberapa nama yang terkenal idealis lainnya dalam menjalankan profesi mereka tidak menghadapi kondisi serupa? Tidak menyuap, tidak melobi dan tidak mengandalkan relasi dengan aparat hukum lain untuk memenangkan perkara yang ditanganinya? Kalau tidak bagaimana mereka bisa eksis dan semakin berjaya dengan profesinya padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa kalau tak mau bayar jangan harap perkara menang?
Dalam hal ini saya tak bisa berspekulasi. Tetapi yang jelas masalah praktek mafia peradilan memang tampaknya masih menjadi tantangan utama bagi reformasi penegakan hukum. Kondisi ini merupakan tugas berat bagi Mahkamah Agung, Komisi Judisial, pejabat penegak hukum lainnya sertaorganisasi profesi advokat tentunya dalam meningkatkan fungsi pengawasan bagi aparat penegak hukum. 

Bagi sebagian kalangan advokat ada pemahaman bahwa seolah-olahmereka berada pada posisi yang diperas oleh aparat penegak hukum lainya. Asumsinya, advokat lebih mudah memperoleh penghasilan besar dari kasus yang mereka tangani sementara aparat penegak hukum lain hanya mengandalkan gaji bulanan dengan berbagai tunjangan yang tetap sajadipahami tidak akan lebih besar dari pendapatan seorang advokat yang sukses tentunya. Maka ketika advokat mulai bekerja menangani kasus sekaligus akan menjadi ladang bagi-bagi rezeki bagi aparat hukum lainnya. Pada sisi lain bila permintaan biaya-biaya lain tidak dipenuhi oleh advokat dikuatirkan akan berpengaruh bagi kasus yang mereka tangani. Intinya nasib kliennya akan berada di ujung tanduk.Klien mana yang mau menderita kerugian terlalu besar apalagi bilaharus menjadi pesakitan dengan hukuman yang maksimal. Maka prinsip ekonomi pun bekerja di sini. Biarlah mengeluarkan sejumlah cost tetapi besarnya tidak sebesar kerugian bila harus menjalani hukuman maksimal,sekalipun sudah jelas posisi hukumnya lemah, atau memang berada pada pihak yang bersalah. Pada kondisi ini seolah-olah advokat berada dalam dilema antara tekanan aparat penegak hukum dengan posisi klien mereka yang kebanyakan berpikiran pragmatis. Maka tidak bisa tidak etika profesipun terabaikan dengan justifikasi nasib klien. Sekalipun dengan demikian entah sadar entah tidak aturan hukumpun telah dilanggar. Tetapi benarkan advokat dalam kondisi demikian berada dalam kondisi tertindas hingga terpaksa memenuhi atau menjalankan praktek serupa di atas? Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menegaskan Profesi Advokat adalah profesi bebas dan mandiri yang dijaminoleh hukum dan peraturan perundang-undangan. 

Sebelum menjalankan profesinya seorang advokat telah bersumpah di antaranya akan bertindak jujur  berdasarkan hukum dan keadilan dalam melaksanakan tugas profesinya,menjaga tingkah laku dan menjalankan kewajiban sesuai dengan kehormatan,martabat, dan tanggung jawab sebagai advokat.Hemat saya bila sumpah ini saja diingat dan dijalankan oleh semuaadvokat idealnya mafia peradilan tidak akan terjadi. Tetapi kalau sebagian besar advokat tidak memiliki integritas dan lebih berprinsip siap sediamembela siapa saja yang bayar maka tentunya profesi advokat sebagai profesiyang terhormat tidak akan bertemu realisasinya. Maka selain membangun mekanisme rekrutment yang tidak hanya mementingkan pengetahuan dan keterampilan teknis tetapi juga menekankan aspek moral dan integritas seorang calon advokat, menerapkan sistem pengawasan profesi yang mestiya terhindar dari semangat buta pembelaan “korp” profesi, tak bisa tidak memberantas mafia peradilan harus dimulai dariadvokat itu sendiri. Sebab baik sistem rekruitment dan pengawasan serta penegakan etika profesi tentunya akan diisi oleh para advokat itu sendiri.Kalau yang merekrut dan mengawasi etika profesi adalah advokat yang tidak  punya integritas hasilnya akan sama dengan istilah “jeruk makan jeruk”. Maka setiap advokat harus menegakkan etika profesinya. Jangan biarkan advokat sebagai profesi terhormat harus tertindas dan terpaksa melanggar hukum dan etika sekaligus menjadi ladang perasan oleh aparat hukum lainnya. Bersikap kompromi agar hubungan aman dengan aparat penegak hukum tak juga ada gunanya karena siapapun orangnya tak akan bisa tentramdari olok-olok dan umpatan masyarakat sekalipun bergelimang harta hasil menggadaikan kehormatan profesi. Maka ada baiknya kita meminjam bait sajak Wiji Thukul ;” Hanya ada satu kata : Lawan



BAB III

PENUTUP
 
A.Kesimpulan

Dengan apa yang sudah diterangkan diatas, maka saya sebagai penulisakan menyimpulkan beberapa kesimpulan, yaitu :
1.   Standar etika profesi advokat saat ini sudah mulai seragam meskipun dalam enforcementnya tetap kembali pada organisasi advokat masing-masing, padahal tujuan semula KKAI membentuk kode etik tunggal adalah agar pengawasan perilaku para advokat diawasi oleh suatu Dewan Kehormatan yang dibentuk bersama, agar pengawasan advokat menjadi efektif mengingat kesemerawutan pengawasan selama ini karena adanya delapan organisasi profesi advokat.
2.    Sejalan dengan pemikiran yang disampaikan oleh Prof. Liev, bahwa keberhasilan pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia akan sangat tergantung keberhasilannya bila seluruh kekuatan tokoh-tokoh hukum bersatu, sebagai pressure group
3.  Etika dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada; dan pada saatyang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (commonense) dinilai menyimpang dari kode etik. Kode etik profesi ini akan dipakaisebagai rujukan (referensi) normatif dari pelaksanaan pemberian jasa profesi kepada mereka yang memerlukannya. Seberapa jauh norma-norma etika profesi tersebut telah dipatuhi dan seberapa besar penyimpangan penerapan keahlian sudah tidak bisa ditenggang-rasa lagi, semuanya akanmerujuk pada kode etik profesi yang telah diikrarkan oleh mereka yangsecara sadar mau berhimpun kedalam masyarakat (society) sesama profesiitu.
4.       Selama ini Dewan Kehormatan Advokat tak banyak berperan. Hanya ada sedikit kasus yang sampai ke meja Dewan Kehormatan Advokat. Bukan karena tak ada pelanggaran kode etik advokat, tetapi karena semangat saling melindungi sesama anggota profesi telah membuat pengaduan ke Dewan Kehormatan Advokat seperti tabu.
 

B.Saran

1.   Pasal 5 Undang-Undang tentang Advokat, jika dibaca bersamaan dengan Pasal 4 UU Advokat tentang Sumpah Advokat, akan terlihat, profesi advokat yang dikenal sebagai officium nobelium adalah profesi luhur,mulia, dan bermartabat. Sumpah itu antara lain berbunyi,"Bahwa sayadalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat  pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara yang sedang atau akan saya tangani" . Bila Sumpah Advokat ini dibaca dengan teliti, kita seharusnya tak melihatadvokat berkolusi dengan polisi, jaksa, hakim, atau sesama advokat. Seharusnya tak ada korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang merongrong wajah penegakan hukum kita sehingga organisasi seperti Transparency International menggaris bawahi betapa maraknya judicial corruption  (mafia peradilan) di Indonesia.
2.  Disinilah sebenarnya peran Dewan Kehormatan Advokat dibutuhkan yang telah ditunjang oleh Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.Kita pun sebagai bagian dari masyarakat tidak boleh membiarkan penyimpangan perilaku advokat yang semakin ‘menggila’ ini. Dengan adanya Dewan Kehormatan Advokat, kita bisa melaporkan penyimpangantersebut sekaligus mengawasi kerja Dewan Kehormatan Advokat dalam menangani laporan yang telah kita berikan. 


DAFTAR PUSTAKA

Berterns, Etika, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2001
Muhammad, Abdulkadir, Etika Profesi Hukum, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,2001
Bintatar Sinaga S.H.,M.H, Iwan Darmawan S.H.,M.H, Sapto Handoyo DP.,S.H, Etika Dan Tanggung Jawab Profesi Hukum, Suatu Kontemplasi Menuju Fajar Budi, FKH : FH-UNPAK, 2009
Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, Ketika Kejahatan Berdaulat , Ganesha Ex :Bandung, 2005
Gede A.B. Wiranata, Dasar Dasar Etika dan Moralitas, Bandung : Citra AdityaBakti, 2001
Darmawan iwan, Untaian Mutiara Kehidupan, Wedatama Widya Sastra, Jakarta,2004
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar