Pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam, diakui banyak kalangan telah mendorong perkembangan filsafat Islam menjadi makin pesat. Namun demikian, seperti dikatakan Oliver Leaman adalah suatu kesalahan besar jika menganggap bahwa filsafat Islam
bermula dari penerjemahan teks-teks Yunani tersebut atau hanya
nukilan dari filsafat Aristoteles (384-322
SM) seperti dituduhkan Renan, atau dari Neo-Platonisme seperti dituduhkan
Duhem.
Pertama
Bahwa
belajar atau berguru tidak berarti meniru atau membebek semata.
Mesti difahami bahwa kebudayaan Islam menembus berbagai macam gelombang dimana ia bergumul dan berinteraksi. Pergumulan
dan intereksi ini melahirkan pemikiran-pemikiran baru. Jika kebudayaan Islam
tersebut terpengaruh oleh kebudayaan
Yunani, mengapa tidak terpengaruh oleh peradaban India
dan Persia, misalnya? Artinya, transformasi dan peminjaman beberapa pemikiran tidak harusmengkonsekuensikan
perbudakan dan penjiplakan
Kedua
Kenyataan
yang ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah dahulu mapan
dalam masyarakat muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani. Meski karya-karya Yunani
mulai diterjemahkan pada masa
kekuasaan Bani Umaiyah, tetapi buku-buku
filsafatnya yang kemudian melahirkan filosof pertama muslim, yakni al-Kindi (801-873 M), baru mulai digarap
padamasa
dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa al-Makmun (811-833 M), oleh orang-orang seperti Yahya al-Balmaki (w. 857
M), Yuhana ibn Musyawaih dan Hunain ibn Ishaq.
Pada
masa-masa ini, sistem berfikir rasional telah berkembang pesat
dalam masyarakat
intelektual Arab-Islam,
yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan kalâm (teologi). Dalam teologi, doktrin Muktazilah
yang rasional, yang dibangun Wasil ibn
Ata’ (699-748M) telah mendominasi pemikiran
masyarakat, bahkan menjadi doktrin
resmi negara dan berkembang dalam berbagai cabang, dengan
tokohnya masing-masing, seperti Amr ibn Ubaid (w. 760M), Jahiz Amr ibn Bahr (w. 808 M), Abu Hudzail ibn al-Allaf (752-849
M), Ibrahim ibn Sayyar an-Nadzam (801-835 M), Mu`ammaribn Abbad (w. 835 M) dan Bisyr ibn al-Mu`tamir (w. 840 M).
Begitu
pula dalam bidang fiqh. Penggunaan nalar rasional dalam penggalian
hukum (istinbâth) dengan istilah-istilah seperti istihsân,
istishlâh, qiyâs dan lainnya telah lazim
digunakan. Tokoh-tokoh mazhab
fiqh yang menelorkan metode istinbâth dengan menggunakan rasio seperti
itu, seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik
(716-796 M), Syafi’i (767-820 M) dan Ibn Hanbal(780-855 M), hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani. Semua itu menunjukkan bahwa sebelum dikenal adanya logika dan filsafat Yunani, telah ada model pemikiran
filosofis yang berjalan baik dalam masyarakat
Islam, yakni dalam soal-soal teologis dan kajian hukum. Bahkan, pemikiran rasional
dari teologi dan hukum inilah yang telah berjasa menyiapkan landasan bagi diterima dan berkembangnya logika dan
filsafat Yunani dalam
Islam
A. Sumber Pemikiran
Rasional Islam.
Jika demikian, dari mana pemikiran rasional
filosofis Islam itu sendiri berawal?
Sebagaimana dinyatakan para peneliti yang kritis,
muslim maupun non-muslim, pemikian rasional-filosofis Islam lahir bukan dari fihak
luar melainkan dari kitab suci merekasendiri,
dari al-Qur`an, khususnya dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk mensesuaikan
antara ajaran teks dengan realitas
kehidupan sehari-hari. Pada awal perkembangan Islam, ketika
Rasul saw masih hidup, semua persoalan bisa diselesaikan dengan
cara ditanyakan langsung kepada beliau, atau diatasi lewat
jalan kesepakatakan diantara para cerdik. Akan tetapi, hal itu
tidak bisa lagi dilakukan setelah Rasul wafat dan persoalan-persoalan
semakin banyak dan rumit seiring dengan perkembangan
Islam yang demikian cepat. Jalan satu-satunya adalah kembali kepada ajaran teks suci, al-Qur`an, lewat berbagai
pemahaman. Dalam hal ini, ada beberapa model kajian resmi yang nyatanya
mempunyai relevansi filosofis. Antara lain, (1)
penggunaan takwîl. Makna takwil diperlukan untuk mengungkap atau menjelaskan masalah-masalah yang sedang dibahas.
Meski model ini diawasi secara ketat dan terbatas, tapi pelaksanaannya jelas
membutuhkan pemikiran dan perenungan mendalam,
karena ia berusaha ‘keluar’ dari makna lahiriyah( zhahir) teks. (2) Pembedaan antara istilah-istilah ataupengertian
yang mengandung lebih dari satu makna (musytarak) dengan
istilah-istilah yang hanya mengandung satu arti. Disini justru
lebih mendekati model pemecahan filosofis dibandingyang
pertama. (3) Penggunaan qiyâs
(analogi) atas persoalan-persoalan yang tidak ada penyelesaiannya secara
langsungdalam teks.
Misalnya, apakah larangan menimbun emas dan perak (QS. Al-Taubah, 34) itu hanya berlaku
pada emas dan perak atau
juga meliputi batu permata dan batu berharga? Apakah kata‘mukmin’ dan ‘muslim’ dalam al-Qur`an juga
mencakup wanita dan budak? Bersamaan dengan itu, dalam teologi, masyarakat Islam juga
dituntut untuk menyelaraskan pandangan-pandangan yang tampaknya kontradiktif dan rumit, untuk selanjutnya mensistematisasikannya dalam suatu gagasan
metafisika yang utuh. Misalnya,
bagaimana menyelaraskan antara sifat kemahakuasaan
dan kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya dengan
maha tahu-Nya atas segala tindak manusia untuk taat atau kufur untuk kemudian dibalas sesuai
perbuatannya. Bagaimana menafsirkan
secara tepat bahasa antropomorfis (menyerupai
sifat-sifat manusia) al-Qur`an, padahal ditegaskan pula bahwa Tuhan
tidak sama dengan manusia, tidak bertangan, tidak
berkaki dan seterusnya.
Semua itu menggiring para intelektual muslim periode awal, khususnya para teolog
untuk berfikir
rasional dan filosofis, dan kenyatannya metode-metode pemecahan yang diberikan atas masalah teologis tidak
berbeda dengan
model filsafat Yunani. Perbedaan diantara keduanya, menurut Leaman, hanyalah
terletak pada premis-premis yang digunakan,
bukan pada valid tidaknya tata cara penyusunanargumen. Yakni, bahwa
pemikiran teologi Islam didasarkan atas teks
suci sedang filsafat Yunani didasarkan atas premis-premis logis, pasti dan baku. Setelah itu, masuklah pemikiran
dan filsafat Yunani, lewat program
penterjemahan.
B. Filsafat Yunani
dalam Pemikiran Islam.
Peradaban dan pemikiran Yunani,
termasuk filsafat, menurut catatan para sejarawan, telah mulai di kenal dan dipelajari oleh kaum sarjana di kota Antioch, Haran, Edessa dan Qinnesrin (wilayah Syiria utara), juga di Nisibis dan
Ras`aina(wilayah dataran tinggi Iraq) sejak
abad ke IV M. Kegiatan akademik ini tetap berjalan baik
dan tidak terganggu oleh penaklukan tentara muslim ke wilayah tersebut yang
terjadi padamasa kekhalifahan Umar ibn Khattab (634-644 M). Setidaknya ini bisa dibuktikan dengan masih semaraknya
kajian-kajian teologi di biara
Qinissirin di Syiria dan munculnya tokoh yang menghasilkan karya-karya filsafat, seperti Severas Sebokht (w.667 M) yang mengomentari Hermeneutica dan
Rhetorica Aristoteles, juga Jacob (w. 708 M)
yang menulis Enchiridion dan menterjemahkan Categories karya Aristoteles kedalam bahasa Arab.
Buku-buku dan ilmu-ilmu Yunani yang
lain yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dalam periode ini, yakni masa
kekhalifahan Bani Ummayah (661-750 M), khususnya padamasa kekhalifahan Abd al-Malik (685-705 M) adalah terutama yang berkaitan dengan persoalan administrasi,
laporan-laporan dan
dokumentasi-dokumentasi pemerintahan, demi untuk mengimbangi dan melepaskan diri dari pengaruh model administrasi Bizantium-Persia. Selanjutnya,
buku-buku yang berkaitan dengan ilmu-ilmu
pragmatis seperti kedokteran, kimiadan
antropologi.
Hanya saja, karena pemerintahan
lebih disibukan oleh persoalan politik dan
ekonomi, usaha-usaha keilmuan ini tidak berlangsung baik. Pemikiran filsafat Yunani benar-benar mulai
bertemu dan dikenal dalam pemikiran Arab-Islam setelah masa pemerintahan
Bani Abas, khususnya sejak dilakukan program
penterjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa
kekuasaan al-Makmun (811-833 M); suatu
program yang oleh al-Jabiri dianggap sebagai tonggak sejarah pertemuan
pemikiran rasional Yunani dengan
pemikiran keagamaan Arab-Islam, pertemuan epistemologi burhani Yunani dengan epistemologi bayani
Arab.
Program penterjemahan dan kebutuhan
akan penggunaan metode filsafat ini sendiri, di
dasarkan atas tuntutan kebutuhan yang ada, bahwa saat itu muncul banyak doktrin
yang kurang lebih hiterodok yang datang dari Iran, India, Persia atau
daerah lain dari pinggiran Islam, seperti
Mazdiah, Manikian, materialisme, atau
bahkan dari pusat Islam sendiri sebagai akibat dari pencarian bebas yang
berubah bentuk menjadi pemikiran bebas seperti penolakan terhadap wahyu
dan lainnya yang dikategorikan dalam
istilah ‘zindiq’.
Untuk menjawab serangan doktrin-doktrin ini, para sarjana muslim (ulama)
merasa perlu untuk mencari sistem berfikir
rasional dan argumen-argumen yang
masuk akal, karena metode sebelumnya,
bayani sudah tidak memadai lagi untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang sangat beragam yang tidak dikenal sebelumnya. Karena
itu, Ira M. Lapidus menyatakan bahwa filsafat bukan
sekedar bentuk analisis secara murni tetapi telah menjadi bagian dari
agama.
Selanjutnya, metode dan pemikiran filsafat Yunani ini,dalam
pemikiran Islam, pertama kali dikenalkan dan digunakan oleh al-Kindi (806-875). Dalam kata pengantar buku
‘FilsafatPertama’ (al-Falsafat al-Ûla),
yang dipersembahkan untuk khalifah
al-Mu`tashim (833-842), al-Kindi menulis tentang objek bahasan
dan kedudukan filsafat, serta ketidak senangannya pada orang-orang
yang anti filsafat, yakni para pendukung bayani. Namun, karena begitu dominannya
kaum bayani (fuqaha) ditambah masih
minimnya referensi filsafat yang telah diterjemahkan,
apa yang disampaikan al-Kindi tidak begitu bergema. Meski demikian, al-Kindi telah memperkenalkan persoalan
baru dalam pemikiran Islam; kesejajaran antara pengetahuan manusia dan Tuhan, dan mewariskan persoalan filsafat yang terus hidup sampai sekarang; (1)
penciptaan alam semesta, bagaimana terjadinya, (2) keabadian jiwa, apa artinya dan
bagaimana pembuktiannya, (3) pengetahuan Tuhan yang partikuar, apa ada hubungannya dengan astrologi
dan bagaimana terjadinya.
Metode rasional filsafat Yunani semakin masuk sebagai salah satu sistem pemikiran Arab-Islam adalah setelah
masa al-Razi (865-925). Ia di kenal sebagai orang yang ekstrim
dalam teologi dan dikenal sebagai
seorang rasionalis murni yang hanya mempercayai
akal. Menurut al-Razi, semua
pengetahuan pada
prinsipnya dapat diperoleh manusia selama ia menjadi manusia.
Akal atau rasiolah yang menjadi hakekat kemanusiaan, dan
akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang konsep baik
dan buruk;
setiap sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong kosong, dugaan
belaka dan kebohongan. Meski
demikian, perkembangan yang pesat pada ilmu-ilmu Yunani dalam Islam berkat dukungan yang besar dari Khalifah sebagaimana
diatas bukan tidak menimbulkan persoalan. Imam Ibn
Hanbal (780-855 M), salah seorang imam mazhab fiqh dan orang-orang yang sepikiran dengannya dari kalangan
ortodoks menunjukkan sikap yang tidak kenal kompromi terhadap ilmu-ilmu Yunani. Menurut George
N. Atiyeh, penentangan kalangan ortodoks
tersebut disebabkan, pertama,
adanya ketakutan dikalangan ortodoks (fiqh) bahwa ilmu-ilmu Yunani akanmenyebabkan
berkurangnya rasa hormat umat Islam terhadap Tuhan.
Kedua, adanya kenyataan bahwa mayoritas dari mereka yang mempelajari filsafat
dan ilmu pengetahuan Yunani adalah orang-orang non-muslim, penganut
Machianisme, orang-orang Sabia dan muslim penganut mazhab
Batiniyah yang esoteris, yang itu semua mendorong munculnya
kecurigaan atas segala kegiatan intelektual dan perenungan
yang mereka lakukan.
Ketiga, adanya usaha untuk melindungi umat Islam dari pengaruh
Machieanisme Persia khususnya maupun faham-faham
lain yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam yangditimbulkan dari
pikiran-pikiran filsafat Yunani. Kecurigaan dan penentangan kaum ortodoks terhadap ilmu-ilmu Yunani memang bukan tanpa dasar. Kenyataannya, tidak sedikit tokoh muslim yang belajar filsafat akhirnya
justru meragukan
dan bahkan menyerang ajaran Islam sendiri. Salah satunya adalah Ibn Rawandi (lahir 825 M).
Ia menolak adanya kenabian, setelah belajar filsafat. Menurutnya, prinsip
kenabian bertentangan
dengan akal sehat, begitu pula tentang syareat-syareat
yang dibawanya, karena semua itu telah bisa dicapai oleh akal; akal telah mampu mengapai apa yang benar dan salah, yang baik dan jahat dan seterusnya.
Contoh
lain adalahal-Razi (865-925 M).
Al-Razi
juga menolak kenabian dengan tiga alasan; (1) bahwa akal telah memadai untuk membedakan
baik dan
buruk, berguna dan tidak berguna. Dengan rasio manusia telah mampu mengenal Tuhan dan mengatur kehidupannya sendiri dengan baik, sehingga tidak ada gunanya seorang
nabi. (2) Tidak ada pembenaran untuk
pengistemewaan beberapa orang untuk membimbing yang lain,
karena semua orang lahir dengan tingkat kecerdasan yang sama, hanya
pengembangan dan pendidikan yang membedakan
mereka, (3) bahwa ajaran para nabi ternyata berbeda. Jika benar bahwa mereka
berbicar aatas nama Tuhan yang sama,
mestinya tidak ada perbedaan.
Usaha penentangan kaum ortodoks
yang dipelopori IbnHanbal terhadap ilmu-ilmu Yunani diatas
mencapai puncak dan keberhasilannya pada masa khalifah al-Mutawakkil (847-861
M). Tampilnya al-Mutawakkil dengan kebijakannya yang mendukung kaum ortodoks (salaf) menyebabkan kalangan yang tadinya Tertindas ini memperoleh angin dan muncul kepermukaan menggantikan posisi orang-orang Muktazilah
khususnya dan para ahli filsafat umumnya, dan mulailah terjadi
‘revolosi’; orang-orang yang tidak sefaham
dipecat dan diganti dari kalangan salaf. Al-Kindi yang ahli filsafat
adalah salah satu contoh, dipecat dari jabatannya
sebagai guru istana karena tidak sefaham dengan sang khalifah yang salaf.
Terkena tindakan keras dan
resmi pemerintah tersebut, untuk sementara, khususnya di ibu
kota Baghdad, filsafat mengalami kemunduran, setidaknya
tidak mengalami perkembangan berarti, karena tidak bisa diajarkan secara
bebas dan terbuka. Akan tetapi, diluar
Baghdad, di kota-kota propinsi otonom,
khususnya di Aleppo dan Damaskus, kajian-kajian filsafat tetap giat
dilakukan, sehingga melahirkan seorang filosof besar, yakni al-Farabi (870-950).
Tokoh yang dikenal sebaga filosof paripatetik ini tidak
hanya menggunakan metode burhani dalam
filsafatnya tetapi bahkan berhasil meletakkan filsafat Aristoteles
sebagai dasar-dasar filsafat Islam sehingga dianggap sebagai ‘guru kedua’ (al-mu`allim al-tsâni) setelah Aristoteles sebagai ‘guru
pertama’ (al-mu`allim al-awwâl). Selain
itu, al-Farabi juga menempatkan burhani sebagai metode paling baik dan
unggul, sehingga ilmu-ilmu filsafat yang memakai
metode burhani dinilai lebih tinggi kedudukannya dibanding ilmu-ilmu agama; teologi (ilm al-kalâm) danyurisprodensi (fiqh), yang tidak mempergunakan metode burhani.
Dalam hal ini ia membuat tiga
klasifikasi keilmuan; ilmu-ilmu filsafat, ilmu-ilmu
religius dan ilmu-ilmu bahasa. Menurutnya, ilmu-ilmu filsafat berada dalam hierarki
paling tinggi dan unggul disusul kemudian ilmu-ilmu religius dan ilmu
bahasa. Yang
termasuk ilmu-ilmu filsafat adalah metafisika, matematika, ilmu-ilmu
alam dan ilmu politik.
Sampai disini filsafat Yunani telah memperoleh tempat dan posisi yang cukup mapan dalam percaturan pemikiran Arab-Islam. Dukungan dan pembelaan yang
ketat dari al-Farabi telah menyebabkan filsafat memperoleh tempat yang
demikian, bahkan melebihi posisi ilmu-ilmu yang diklaim
sebagai ilmu religius. Dengan posisi seperti itu, maka
tidak mengherankan jika dalam waktu yang tidak lama, pemikiran filsafat Yunani
segeram enduduki posisi puncak dalam
percaturan pemikiran Arab- Khudori/Perjalan Filsafat Islam, yakni pada masa Ibn Sina (980-1037 M). Dalam
filsafat, seperti
halnya al-Farabi, Ibn Sina menegakkan bangunan Neoplatonisme diatas
dasar kosmologi Aristoteles-Plotinus, dimana dalam bangunan tersebut digabungkan konsep pembangunan alam wujud menurut faham emanasi.
Dalam kaitannya
dengan kenabian, Ibn Sina juga berusaha membuktikan adanya kenabian, dengan menyatakan bahwa kenabian merupakan bagian tertinggi dari sukma
yang disebut ‘akal’, berbeda dengan
al-Farabi yang menyatakan bahwa kenabian adalah suatu bentuk imajinasi
tertinggi. Dengan prestasi-prestasi
yang hebat dalam filsafat, Ibn Sina kemudian diberi gelar ‘Guru Utama’ (al-Syaikh al-Rais).
Akan tetapi, segera setelah Ibn
Sina, filsafat Yunani kembali mengalami kemunduran karena serangan al-Ghazali, meski
al-Ghazali sendiri sebenarnya tidak menyerang inti filsafat. Lewat tulisannya
dalam Tahâfut al-Falâsifah yang
diulangi lagi dalam al-Munqid min al-Dlalâl, al-Ghazali, sebenarnya hanya
menyerangpersoalan metafisika, khususnya
pemikiran filsafat al-Farabi (870-950) dan Ibn Sina (980-1037), meski
serangan pada kedua tokoh ini sebenarnya
tidak tepat, juga pada pemikiran para filosof Yunani purba, seperti Thales (545 SM), Anaximandros (547 SM), Anaximenes (528 SM) dan Heraklitos (480
SM) yang dengan mudah bisa dinilai
posisinya dalam aqidah oleh orang awam, bukan ilmu logika atau epistimologinya, karena al-Ghazali sendiri mengakui pentingnya logika dalam
pemahaman dan penjabaran
ajaran-ajaran agama.
Bahkan, dalam al-Mustashfâ fi `ulûm al-fiqh , sebuah kitab tentang
kajian hukum, al-Ghazali menggunakan epistemologi filsafat, yakni burhani.
Akan tetapi, kebesaran al-Ghazali
sebagai ‘Hujjat al-Islâm’ telah
begitu mengungkung kesadaran masyarakat muslim, sehingga tanpa mengkaji
kembali persoalan tersebut dengan teliti mereka telah ikut menyatakan perang dan antipati terhadap filsafat. Bahkan,
sampai sekarang di perguruan tinggi sekalipun, jika ada kajian filsafat umumnya masih lebih banyak dilihat pada sisisejarahnya, bukan metodologi, sistematika atau
substansi pemikirannya.
Filsafat Yunani, khususnya Aristotelian, kemudian muncu llagi dalam arena pemikiran Islam pada masa Ibn Rusyd
(1126-1198). Lewat tulisannya dalam Tahâfut al-Tahâfut , Ibn
Rusyd berusaha
mengangkat kembali filsafat Aristoteles dari serangan al-Ghazali. Namun, usaha ini rupanya kurang berhasil,
karena menurut
Nurcholish, balasan
yang diberikan Ibn Rusyd lebih bersifat Aristotelian
sementara serangan al-Ghazali bersifat Neo-platonis.
Meski demikian, jelas bahwa dalam bandingannya dengan epistemologi
Arab-Islam, Ibn Rusyd lebih mengunggulkan epistemologi
filsafat dibanding epistemologi Arab-Islam.Menurutnya, metode burhani
(demonstratif) yang dipakai dalam filsafat adalah metode yang sangat bagus dan berguna
untuk kalangan
elite terpelajar, sementara metode dialektika ( jadal) yang dipakai dalam teologi dan yurisprodensi
adalah metode biasa
yang sesuai untuk kalangan menengah dan kalangan awam.
Setelah Ibn Rusyd, filsafat yang nota bene dari Yunani
itu tidak
lagi terdengar gemanya dalam pemikiran Islam, kecuali dalam mazhab Syiah. Dikalangan elite terpelajar madzhab
ini, pemikiran
filsafat masih tetap berjalan dan hidup, sehinggamasih
lahir tokoh-tokoh terkemuka seperti Mulla Sadra (1571-1640), Mullah Hadi
(1797-1873) dan lainnya.
C.
Penutup.
Dalam bagian akhir ini, ada tiga hal yang perludisampaikan.
Pertama, bahwa perjalanan
pemikiran filsafat Islam ternyata mengalami pasang surut; pertama-tama disambut dengan
baik karena diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan menghadapi
pemikiran-pemikiran ‘aneh’, tapi kemudian dicurigai karena ternyata tidak
jarang justru digunakan untuk menyerang ajaran
agama yang dianggap baku, khususnya pada masa Ibn Hanbal. Setelah itu, filsafat dibela kembali oleh
al-Farabi dan mencapai
puncak pada masa Ibn Sina, tapi kemudian jatuh lagi oleh
serangan al-Ghazali, bangkit lagi pada masa Ibn Rusyd tapia khirnya tidak terdengar suaranya, sampai sekarang,
kecuali dalam mazhab Syi`ah.
Kedua,
bahwa filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam
tidak hanya logika Aristoteles, tetapi juga pemikian mistik Neo-platonis dan yang lain. Hal ini bisa dilihat dari
beragamnya model filsafat yang ada
dalam Islam. Misalnya, al-Farabi dan Ibn Sina
yang Platonis dalam konsepnya tentang emanasi, dan Ibn Rusyd
yang Aristotelian ketika menjawab serangan al-Ghazali.
Ketiga, kecurigaan dan penentangan yang diberikan oleh sebagian tokoh muslim terhadap logika dan pemikiran
filsafat, bukan semata-mata
disebabkan bahwa ia berasal dari luar Islam tetapi lebih didasarkan
atas kenyataan bahwa –saat itu filsafat mengandung
dampak yang berbahaya bagi aqidah masyarakat. Apa yang dilakukan Ibn Rawandi
(lahir 825 M) dan al-Razi (865-925 M) yang sampai menolak kenabian karena mengikuti
filsafat, juga apa yang dilakukan
oknum tertentu yang mengatas namakan
filsafat pada masa al-Ghazali adalah bukti nyata tentang hal itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Amin, ‘Teologi dan Filsafat dalam
Perspektif Globalisasi”, dalam Mukti Ali, Agama Dalam Pergumulan Masyarakat , Yogya, Tiara Wacana, 1998
Amien, Miska M., Epistemologi Islam, Jakarta, UI Press,
1983
Amin, Ahmad, Dhuhâ al-Islâm, Kairo, Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyah, tt Aqqad, Abbas
Mahmud, Filsafat Pemikiran Ibn Sina, Solo, Pustaka Mantiq, 1988 Arsyad, Natsir, Ilmuan Muslim Sepanjang Sejarah, Jakarta,Srigunting, 1995
Atiyeh, George N.,Al-Kindi
Tokoh Filosof Muslim, Bandung,Pustaka, 1983
Bakar,
Osman, Hierarki
Ilmu, Bandung, Mizan, 1997
Bakar,
Osman, Tauhid dan Sains, terj. Yuliani
L, Bandung, Pustaka Hidayah, 1995
Coulson, Noel J., Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah,
Jakarta,P3M, 1987
Fakhry, Madjid, A History of Islamic Philosophy, ColombiaUniversity Press, 1983
Gardet, Louis & Anawati, Falsafah
al-Fikr al-Dîni, Beirut, Dar al-Ulum,
1978
Ghazali, al-Munqid min al-Dlalâl, Bairut, Al-Maktabah al-Sab’iyah,ttGhazali, Tahâfut
al-Falâsifah, ed. Sulaiman
Dunya, Mesir, Dar al-Maarif,
1966
Ghurabi, Ali Musthafa, Târikh
al-Firâq al-Islami, Kairo, Maktabahwa
Mathba`ah, ttHanafi, Ahmad, Teologi Islam,
Jakarta, Bulan Bintang, 1974
Hasan, Hasyim, Al-Asâs al-Manhajiyah, Kairo, Dar al-Fikr, ttHasymi, Sejarah
Kebudayaan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975
Hitti, Philip K., History of The Arabs, New
York, Martin Press, 1986
Jabiri, M. Abed, Takwîn
al-Aql al-Arabi, Markaz al-Tsaqafi
al-Arabi, 1991
Lapidus,
Ira, A History of Islamic Societies, Cambridge UniversityPress, 1999
Leaman, Oliver Pengantar
Filsafat Islam, Jakarta, Rajawali Pres,1988.
Machasin, Kelahiran
dan Pertumbuhan Ilmu Teologi, makalahpada mata kuliah studi ilmu teologi,
program pascasarjana(S-2), IAIN Yogya, 1997
Madkur, Ibrahim,Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyudi,
Jakarta, Rajawali Press, 1996
Mahdi,
Muhsin, “Al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam”, Jurnal al-Hikma,, 4,
Feb 1992
Nasr, Husain, Tiga Pemikir Islam,
terj. A. Mujahid, Bandung,Risalah,
1986
Nasyar, Ali Sami, Manâhij
al-Bahts ind Mufakkiri al-Islâm, Bairut,Dar
al-Fikr, 1967
Qadir, Filsafat
dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Jakarta, Yayasan
Obor, 1991
Rahmat,
Jalaludin, ‘Hikmah Muta`aliyah”, Jurnal Al-Hikmah, edisi10, September, 1993
Soleh, Ach. Khudori, Kegelisahan
Al-Ghazali, Bandung, Pustaka Hidayah,
1997
Syarif,
MM.,Para Filosof Muslim, Bandung, Mizan, 1996
Watt,
MM., Islamic
Philosophy and Theology , Edinburg, EdinburgUniversity Press, 1992
Tidak ada komentar:
Posting Komentar