Masyarakat memerlukan sebuah aturan
untuk menciptakan suatu suasana yang harmonis didalam kehidupannya. Aturan
tersebut berupa hukum, hukum yang ada dapat merupakan hukum tertulis atau tak
tertulis. Hukum yang ada dalam masyarakat ini hendaknya memiliki sebuah dasar
hukum yang menjiwai dari keadaan seluruh masyarakaat, memiliki fungsi yang
ideal dengan memiliki unsur keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi
masyarakat.
Dibuatnya suatu produk hukum yang
nantinya akan hidup bersama didalam masyarakat, maka hukum yang dibuat itu
memiliki suatu sifat dinamis yang berarti mengikuti perkembangan dari
masyarakat. Sehingga adanya sebuah sosiologi hukum itu merupakan ilmu
pengetahuan tentang interaksi manusia yang berkaitan dengan hukum didalam
kehidupan masyarakat. Nantinya dengan adanya sosiologi hukum ini maka akan
diharapkan sebuah kemanfaatan didalamnya, sehingga kita dapat mengetahui dan
memahami bagaimana perkembangan hukum yang ada didalam masyarakat, mengetahui
efektivitas hukum dalam masyarakat, mampu untuk menganalisa penerapan hukum
yang ada didalam masyarakat, dapat mengkonstruksikan fenomena hukum yang
terjadi di masyarakat, dan mampu memetakan masalah-masalah sosial dalam kaitan
dengan penerapan hukum di dalam masyarakat.
Hukum yang dibuat dan nantinya akan
berlaku di masyarakat hendaknya mampu berlaku secara efektif. Sehingga tidak
terjadi suatu pemborosan atau yang nantinya menimbulkan ketidakpastian hukum
didalam masyarakat. Maka hendaknya ketika hukum didalam suatu masyarakat itu
akan dibuat maka memperhatikan berbagai aspek-aspek yang ada di masyarakat.
Untuk mampu mengetahui bagaimana efektivitas hukum didalam sebuah prespektif
sosiologi hukum mampu diterapkan. Maka dalam tulisan ini akan menjeaskan
berkaitan dengan hal tersebut.
Seringkali kita mengetahui bahwa di
dalam masyarakat, hukum yang telah dibuat ternyata tidak efektif didalamnya.
Menurut Dr. Syamsuddin Pasamai, SH., MH., dalam bukunya Sosiologi dan Sosiologi
Hukum, persoalan efektifitas hukum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakan hukum dalam masyarakat demi
tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-benar berlaku secara filosofis,
yuridis dan sosiologis.[1]
Dalam sosiologi hukum, hukum
memiliki fungsi sebagai sarana social
control yaitu upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat,
yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan
perubahan di dalam masyarakat. Selain itu hukum juga memiliki fungsi lain yaitu
sebagai sarana social engineering
yang maksudnya adalah sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat. Hukum dapat
berperan dalam mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang
tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional atau modern.
Efektivikasi hukum merupakan proses
yang bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif. Keadaan tersebut dapat
ditinjau atas dasar beberapa tolok ukur efektivitas. Menurut Soerjono Soekanto
bahwa faktor tersebut ada lima, yaitu :
1. Hukumnya sendiri.
2. Penegak hukum.
3. Sarana dan fasilitas.
4. Masyarakat.
5. Kebudayaan.
1. Faktor Hukum
Hukum berfungsi untuk keadilan,
kepastian dan kemanfaatan. Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada
kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Kepastian
Hukum sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak
sehingga ketika seseorang hakim memutuskan suatu perkara secara penerapan
undang-undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai. Maka
ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya keadilan menjadi
prioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-mata dilihat dari sudut hukum
tertulis saja, Masih banyak aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat yang
mampu mengatur kehidupan masyarakat. Jika hukum tujuannya hanya sekedar
keadilan, maka kesulitannya karena keadilan itu bersifat subjektif, sangat
tergantung pada nilai-nilai intrinsik subjektif dari masing-masing orang.
Menurut Prof. Dr. Achmad Ali apa yang adil bagi si Baco belum tentu di rasakan
adil bagi si Sangkala.
Mengenai faktor hukum dalam hal ini
dapat diambil contoh pada pasal 363 KUHP yang perumusan tindak pidananya hanya
mencantumkan maksimumnya sajam, yaitu 7 tahun penjara sehingga hakim untuk
menentukan berat ringannya hukuman dimana ia dapat bergerak dalam batas-batas
maksimal hukuman.
Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku kejahatan itu terlalu ringan, atau terlalu mencolok perbedaan antara tuntutan dengan pemidanaan yang dijatuhkan. Hal ini merupakan suatu penghambat dalam penegakan hukum tersebut.
Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku kejahatan itu terlalu ringan, atau terlalu mencolok perbedaan antara tuntutan dengan pemidanaan yang dijatuhkan. Hal ini merupakan suatu penghambat dalam penegakan hukum tersebut.
2. Faktor Penegak Hukum
Dalam berfungsinya hukum, mentalitas
atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau
peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh
karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah
mentalitas atau kepribadian penegak hukum dengan mengutip pendapat J. E.
Sahetapy yang mengatakan :
“Dalam rangka penegakan hukum dan
implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah
suatu kebijakan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan.
Dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum (inklusif
manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat,
harus diaktualisasikan”.[2]
Di dalam konteks di atas yang menyangkut kepribadian dan
mentalitas penegak hukum, bahwa selama ini ada kecenderungan yang kuat di
kalangan masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum,
artinya hukum diidentikkan dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak
hukum. Sayangnya dalam melaksanakan wewenangnya sering timbul persoalan karena
sikap atau perlakuan yang dipandang melampaui wewenang atau perbuatan lainnya
yang dianggap melunturkan citra dan wibawa penegak hukum, hal ini disebabkan
oleh kualitas yang rendah dari aparat penegak hukum tersebut.
Apalagi seperti yang kita ketahui bersama terkait masalah
persetruan dua lembaga penegak hukum KPK dengan Kepolisian telah membuat citra
aparaturnya menjadi buruk dihadapan masyarakat. Ditambah pula dengan banyaknya
kasus-kasus yang seharusnya dihukum berat namun dapat diperingan karena dibantu
oleh mafia hukum, yaitu muali tingkat penyidikan di kepolisian hingga saat
penuntutan di kejaksaan dan putusan di kehakiman. Mental Para aparatur penegak
hukum inilah menjadi salah satu faktor dimana efektivitas hukum itu dapat
terwujud, selama kemapuan dan kewenangan mereka dapat dibeli, yang benar
disalahkan dan yang salah dibenarkan akan terjadi inefektivitas hukum dan mampu
mengakibatkan masyarakat tidak percaya lagi dengan penegak hukum bahkan
hukumnya sendiri.
Kemudian meurut Prof. Dr. Achmad Ali, SH., MH., dalam
bukunya menjelajahi kajian empiris terhadap hukum, disebutkan Polisilah yang
berada pada garda terdepan. Karena polisi yang paling banyak berhubungan
langsung dengan warga masyarakat, dibandingkan dengan penegak hukum lainnya.
Oleh karena itu sikap dan keteladanan personal kepolisian menjadi salah satu
faktor dihargai atau tidaknya mereka oleh warga masyarakat terhadap penegak hukum,
yang cukup berpengaruh terhadap ketaatan mereka. Olehnya itu, kualitas dan
keberdayaan Polisi menurut Prof. Dr. Achmad Ali, SH., MH., merupakan salah satu
faktor yang sangat menentukan efektif atau tidaknya ketentuan hukum yang
berlaku.
3. Faktor Sarana
dan Fasilitas
Sarana
yang ada di Indonesia sekarang ini memang diakui masing cukup tertinggal jika
dibandingkan dengan negara-negara maju yang memiliki sarana lengkap dan
teknologi canggih di dalam membantu menegakkan hukum. Menurut Soerjono Soekanto
dan Mustafa Abdullah pernah mengemukakan bahwa bagaimana polisi dapat bekerja
dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi
yang proporsional. Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan
yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau
fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang
seharusnya dengan peranan yang aktual. Namun penulis berpendapat bahwa faktor
ini tidaklah menjadi fakor yang dominan untuk segera diperbaiki ketika ingin
terwujudnya suatu efektivitas hukum.
4. Faktor Masyarakat
Masyarakat
dalam hal ini menjadi suatu faktor yang cukup mempengaruhi juga didalam
efektivitas hukum. Apabila masyarakat tidak sadar hukum dan atau tidak patuh
hukum maka tidak ada keefektifan. Kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak
didalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang
dikehendaki atau sepantasnya. Kesadaran hukum sering dikaitkan dengan pentaatan
hukum, pembentukan hukum, dan efektivitas hukum. Kesadaran hukum merupakan
kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada
atau tentang hukum yang diharapkan.[3]
Sebagai
contoh. Disuatu daerah Kabupaten L masyarakat tahu bahwa ketika berkendara di
jalan raya itu harus mengunakan helm untuk keselamatan, tapi masyarakat sekitar
tersebut tidak menghiraukan peraturan tersebut justru mereka tidak menggunakan
helm tersebut.
Selain
itu perlu ada pemerataan mengenai peraturan-peraturan keseluruh lapisan
masyarakat, selama ini terkendala faktor komunikasi maupun jarak banyak daerah
yang terpencil kurang mengetahui akan hukum positif negara ini. Sehingga
sosialisasi dan penyuluhan di daerah terpencil sangat dibutuhkan, berbeda
dengan kondisi daerah perkotaan yang mampu selalu up date berkaitan dengan isu-isu strategis yang masih hangat.
5. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan
menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan
masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak,
berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain.
Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang
menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.[4]
Kelima
faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi hal pokok dalam
penegakan hukum, serta sebagai tolok ukur dari efektifitas penegakan hukum.
Kelima faktor yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut, tidak ada faktor
mana yang sangat dominan berpengaruh, semua faktor tersebut harus saling
mendukung untuk membentuk efektifitas hukum. Lebih baik lagi jika ada
sistematika dari kelima faktor ini, sehingga hukum dinilai dapat efektif.
Sistematika tersebut artinya untuk membangun efektifitas hukum harus diawali untuk mempertanyakan bagaimana hukumnya, kemudian disusul bagaimana penegak hukumnya, lalu bagaimana sarana dan fasilitas yang menunjang, kemudian bagaimana masyarakat merespon serta kebudayaan yang terbangun.
Sistematika tersebut artinya untuk membangun efektifitas hukum harus diawali untuk mempertanyakan bagaimana hukumnya, kemudian disusul bagaimana penegak hukumnya, lalu bagaimana sarana dan fasilitas yang menunjang, kemudian bagaimana masyarakat merespon serta kebudayaan yang terbangun.
[1] Dikutip
dari http://ilhamidrus.blogspot.com/2009/06/artikel-efektivitas-hukum.html diakses pada tanggal 31
Desember 2009.
[3]
Berkaitan dengan kesadaran hukum dikutip dari http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/sosiologi-hukum-2/sosiologi-hukum/
yang diakses pada tanggal 31 Desember 2009
[4] Dikutip
dari http://ilhamidrus.blogspot.com/2009/06/artikel-efektivitas-hukum.html
diakses pada tanggal 31 Desember 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar