Assalamu'Alaikum Wr.Wb.

Pada sang bayu kutitipkan salam cinta penuh kerinduan, tuk ayah ibu kuhaturkan ♥
Terucap dari hati dengan kecintaan, padamu ridho kuharapkan ♥
Salam kasih sahabatku, lewat dunia maya kumenyapamu ♥
Meski tak pernah bertemu, dekat di hati kuharap selalu ♥
Salam hangat kuberikan, padamu wahai Sahabat ♥
Jarak dan waktu telah memisahkan, kurindu kebersamaan ♥
Salam indah duniaku, indahkanlah hari-hariku, berikan senyuman untukku ♥
Tuk menyapa orang terdekatku, berikan mereka bahagia selalu ♥

Senin, 02 Desember 2013

ALIRAN LEGAL REALIS



LEGAL REALIS 
  • Sejarah kemunculan
Qodri Azizy mengatakan bahwa aliran realisme muncul bermula dari adanya penolakan terhadap aliran positivisme. Gagasan yang dilontarkan adalah pernyataan bahwa kalau positivisme hukum merupakan teori hukum yang benar maka teori itu akan mencakup semua hukum, termasuk menangani kasus-kasus berat (hard cases). Ternyata kasus-kasus berat ini tidak diatur oleh aturan-aturan yang ada. Atau dengan pertanyaan: “apakah legal positivism menyediakan teori yang benar mengenai putusan peradilan, khususnya dalam menyelesaikan kasus-kasus berat?” ternyata pertanyaan  ini merupakan problem yang sukar dipecahkan bagi pengikut positivism
Sebagaimana diuraikan dimuka, Austin sebagai pelopor positivisme hukum, menyatakan bahwa hukum adalah perintah penguasa yang berdaulat, sedangkan Hans Kelsen menyatakan bahwa hukum adalah kehendak dari negara. Atau dengan kata lain, menyatakan bahwa hukum adalah sesuatu yang positif yakni Undang-Undang (positive law) dan hukum kebiasaan  (positive morality). Tetapi positive morality bisa menjadi hukum apabila telah dikukuhkan menjadi Undang-Undang oleh pejabat yang berwenang (Badan Legislatif).
Menanggapi hal ini, tokoh-tokoh legal realism yang berasal dari kalangan praktisi hukum, yakni Holmes (1841-1935), Jerome Frank (1859- 1957) dan seorang ahli ilmu sosial,  Karl Nickerson Llewellyn (1893-1962),  melihat kenyataan bahwa tidak semua kasus yang ada di pengadilan, khususnya kasus-kasus berat diatur dalam Undang-Undang. Sehingga pada kenyataannya hakim mempunyai peranan yang lebih bebas untuk memilih dan menentukan serta lebih kreatif  didalam penerapan hukum dari pada sekadar mengambil didalam aturan-aturan yang dibuat oleh penguasa (Undang-Undang). Dalam praktiknya ternyata faktor seperti temperamen psikologis hakim, kelas sosial dan nilai-nilai yang ada pada hakim lebih berfungsi dalam pengambilan keputusan hukum dari pada aturan-aturan yang tertulis
Sehubungan dengan hal ini, W. Friedmann menjelaskan bahwa menjelang abad kesembilan belas terjadi sikap skeptisisme yang sehat, yang mengecam rasa puas diri para penganut ilmu hukum analitik.  idealisme hukum baru yang terdiri dari sebagian metafisis  dan sebagian sosiologis, membelok dan mulai menentang positivisme analitis dan berbalik mulai menyelidiki realitas dalam masyarakat modern dalam hubungannya dengan hukum modern. Pragmatisme merupakan rumusan baru dari filsafat yang sangat tua, yang mendorong kearah pendekatan baru pada hukum yang melihat ke arah barang-barang yang terakhir, hasil-hasil dan akibat-akibat.
Gerakan realis mulai melihat apa sebenarnya yang dikehendaki hukum dengan menghubungkan kedua sisinya, seperti fakta-fakta dalam kehidupan sosial. Realisme yang berkembang di Amerika Serikat menjelaskan bagaimana pengadilan membuat putusan. Penemuan mereka mengembangkan formula dalam memprediksi tingkah laku hakim (peradilan) sebagai suatu fakta (kenyataan).
Jadi, hal yang pokok dalam ilmu hukum realis adalah “gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum”. Ciri-ciri dari gerakan ini, Llewellyn menyebut beberapa hal, yang terpeting diantaranya:
1.    Tidak ada mazhab realis, realisme adalah gerakan dalam pemikiran     dan kerja tentang hukum.
2.  Realisme adalah konsepsi hukum yang terus berubah dan alat untuk tujuan-tujuan sosial, sehingga tiap bagian harus diuji tujuan dan akibatnya. Realisme mengandung konsepsi tentang masyarakat yang berubah lebih cepat daripada hukum.
3. Realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan yang seharusnya ada untuk tujuan-tujuan studi. Pendapat-pendapat tentang nilai harus selalu diminta agar tiap penyelidikan ada sasarannya, tetapi selama penyelidikan, gambaran harus tetap sebersih mungkin, karena keinginan-keinginan pengamatan atau tujuan-tuan etis.
4.  Realisme tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi-     konsepsi hukum, sepanjang ketentuan dan konsepsi itu menggambarkan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pengadilan-pengadilan dan orang-orang. Realisme menerima peraturan-peraturan sebagai “ramalan-ramalan umum tentang apa yang akan dilakukan oleh pengadilan-pengadilan.”
5. Realisme menekankan pada evolusi tiap bagian dari hukum dengan mengingat akibatnya.
Llewellyn sebagai salah satu tokoh pragmatic legal realism, mengalisa perkembangan hukum di dalam kerangka hubungan antara pengetahuan-pengetahuan hukum dengan perubahan-perubahan keadaan masyarakat. Hukum merupakan bagian dari kebudayaan yang antara lain mencakup kebiasaan, sikap-sikap maupun cita-cita yang ditransmisikan dari suatu generasi tertentu ke generasi berikutnya. Dengan kata lain, hukum merupakan bagian kebudayaan yang telah melembaga. Lembaga-Lembaga tersebut telah terorganisir dan harapannya terwujud di dalam aturan-aturan eksplisit yang wajib ditaati serta didukung oleh para ahli.
 Jadi yang namanya hukum itu bukan hanya yang tertulis dalam Undang-Undang atau ketentuan dan peraturan tertulis, namun lebih besar ditentukan oleh hakim di pengadilan yang pada umumnya didasarkan pada kenyataan di lapangan. Hakim punya otoritas untuk menentukan hukum ketika menjatuhkan putusan di pengadilan, meskipun putusannya itu dalam beberapa hal tidak selalu sama dengan apa yang tertulis dalam Undang-Undang atau aturan lainnya. Sehubungan dengan itu moralitas hakim sangat menentukan kualitas hukum yang merupakan hasil putusan pengadilan itu. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa suatu kasus tidak dapat diadili karena belum ada hukum tertulis yang mengaturnya,
Pokok-pokok pendekatan kaum realis yang digariskan oleh Llewellyn antara lain:
1.  Hendaknya konsepsi hukum itu menyinggung hukum yang berubah-ubah dan hukum yang diciptakan oleh pengadilan.
2.   Hukum adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial.
3.   Masyarakat berubah lebih cepat dari hukum, karenanya selalu diperlukan penyelidikan untuk mengetahui bagaimana hukum itu menghadapi problem-problem sosial yang ada.
4.   Guna keperluan studi harus ada perbedaan antara “is” dan “ought”
5. Tidak mempunyai anggapan bahwa peraturan-peraturan dan konsep hukum itu sudah mencukupi apa yang harus dilakukan oleh pengadilan. Hal ini selalu merupakan masalah utama dalam pendekatan terhadap hukum.
6.  Sehubungan dengan butir di atas, mereka juga menolak teori tradisional yang mengatakan bahwa peraturan hukum itu merupakan faktor utama dalam mengambil keputusan.
7. Mempelajari hukum hendaknya dalam lingkup yang lebih sempit sehingga lebih nyata. Peraturan-peraturan hukum itu meliputi situasi-situasi yang banyak dan berbeda-beda, karena itu ia bersifat umum, tidak konkret dan tidak nyata.
8. Hendaknya hukum itu dinilai dari efektifitasnya dan kemanfaatannya untuk menemukan efek-efek tersebut
        Akhirnya secara ringkas, Llewellyn sendiri membuat sebuah ungkapan yang paling tepat menurutnya, “realisme bukanlah suatu filosufi, tetapi suatu teknologi, suatu metoda, bukan yang lain”.
Aliran Legal Realisme sebagai suatu gerakan dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu Realisme Amerika, dan Realisme Skandinavia. Pengelompokan berdasarkan zona ini sebenarnya bukan hal yang lazim. Realisme Skandinavia lebih luas cakupannya daripada Realisme Amerika, sebab realisme skandinavia tidak memusatkan perhatiannya kepada para fungsionaris hukum (khususnya hakim), akan tetapi justru orang-orang yang ada di bawah hukum. Realisme Scandinavia ini banyak menggunakan dalil-dalil psikologi dalam menjelaskan pandangannya.

  • AMERICAN LEGAL REALISM
Realisme Amerika Serikat adalah merupakan pendekatan seara pragmatis dan behaviouristis terhadap lembaga-lembaga sosial. Para ahli hukum Amerika mengembangkan cara pendekatan tersebut dengan meletakkan tekanan pada putusan-putusan pengadilan dan tindakan-tindakan hukum.
 Sumber hukum utama aliran ini adalah putusan hakim, hakim lebih sebagai penemu hukum daripada pembuat hukum yang mengandalkan peraturan perundang-undangan, apabila dibandingkan dengan cara berpikir aliran positivisme sangat bertentangan karena memang aliran relisme ini merupakan reaksi dari aliran positivisme yang lebih menekan hukum hanya sebagai segala sesuatu yang tertuang dalam undang-undang dan aliran realisme ini berusaha untuk merubah cara pandang para ahli hukum di Amerika. Kaum realisme Amerika menganggap bahwa hukum itu sebagai praktek (law in action) hukum itu adalah suatu pengalaman dan menganggap hukum itu harus bebas dari nilai-nilai.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Llewellyn, suatu institusi hukum harus memiliki pengalaman yang banyak dan para pekerja hukum dituntut untuk memiliki kemampuan/keahlian untuk mengintepretasi hukum. Tokoh realisme Amerika lain yaitu Oliver Wendell Holmes berpendapat yang dimaksud dengan hukum adalah tindakan dari pengadilan terhadap fakta hukum yang terjadi, pandangan hukum sebagai prediksi apa yang akan diputuskan oleh pengadilan ini yang menekankan realisme di Amerika bersifat pragmatis dan empiris.
Menurut John Dewey Tujuan dari realisme di Amerika ini dimaksudkan untuk menyelidiki bagaimana hukum bekerja dan bagaimana dipergunakan dengan sesungguhnya hukum, yaitu dengan cara mengaitkan hukum dengan fakta kehidupan yang ada dalam masyarakat. Aliran realisme di Amerika ini menuntut pemenuhan kebutuhan hukum terhadap gejolak-gejolak yang terjadi dalam masyarakat jadi apabila hukum itu hanya mengacu pada suatu aturan yang tetap maka seakan-akan merupakan prinsip-prinsip logika, dengan prinsip tersebut hakim menjatuhkan putuskan. Jerome Frank dalam tulisannya “Law and The Modern Mind” hukum itu harus selalu ditemukan, karena apabila hakim dalam memutuskan suatu perkara hanya didasarkan pada undang-undang sesungguhnya hakim itu hanya menipu dirinya dengan menyembunyikan fakta bahwa tiap-tiap perkara berbeda-beda jenis fakta hukumnya dan menuntut suatu putusan yang berbeda-beda pula. Frank juga menyatakan bahwa dalam mengambil keputusan hakim dipengaruhi faktor politik, ekonomi, moral, simpati, dan antipati namun itu semua hanya sekedar dijadikan pertimbangan. 
Aliran realisme di Amerika juga mendapat pengaruh yang sangat besar dari tokoh Llewellyn, dalam bukunya The Common Law Traditional, Llewellyn mengembangkan suatu pemikiran bahwa setiap institusi hukum (hakim, jaksa, pengacara dan pemerinntah) harus memiliki keterampilan dalam menafsirkan hukum dan disini Llewelly menuntut dibutuhkannya logika, dan dalam bukunya tersebut Llewellyn membagi dua konsep pemikiran yang dapat diprektekan di pengadilan Amerika yaitu “Grand style”, tipe ini diterapkan pada saat pengadilan tingkat banding dimana hakim di Amerika dalam membuat suatu keputusan lebih menekankan pada logika dan keadaan disekitarnya, dan hakim pada tingkat banding tidak meniru putusan hakim terdahulu dan mempelajari kembali yang melatarbelakangi hakim terdahulu dalam menjatuhkan putusan. “Formal Style” seebaliknya tipe ini lebih bersifat otoriter, formal dan logika, hakim dalam membuat suatu keputusan diberikan ruang untuk menggunakan logika namun hanya sebatas sebagaimana yang terdapat dalam undang-undang , Formal Style tidak perduli pada fakta-fakta sosial.
Pada selanjutnya pemikiran Grand Style dan Formal Style ini sangat mempengaruh situasi perkembangan hukum di Amerika, pada abad 19 Grand Style sempat diterapkan di pengadilan Amerika dan berkembang kebentuk Formal Style, hal ini memunculkan komentar dari Llewellyn yang mengharapkan pengadilan di Amerika kembali kepada Grand Style karena hakim dalam memutuskan perkara perlu melihat situasi yang ada di dalam suatu masyarakat. Namun sayangnya dari pemikiran Llwellyn ini memunculkan suatu tanggaapan bahwa dengan hakim diberikan kesempatan untuk menggunakan logika dan mempertimbangkan kondisi yg ada dimasyarakat dalam menjatuhkan keputusan menimbulkan keanekaragaman putusan hukum terhadap satu perkara sehingga tidak ada patokan hukum yang baik itu seperti apa sehingga masyarakat dapat menerimanya.  
Menurut K. Llewellyn dalam bukunya Using The New Jurisprudence  apa yang telah dikatakan mungkin dapat disimpulkan bahwa hakim dan para pejabat ini tidak sepenuhnya bebas dan tidak harus sepenuhnya bebas membagi pada analisis dan pemeriksaan lebih dekat menjadi dua fakta. Satu fakta yang berkaitan dengan kontrol menahan diri, menahan hakim dan pejabat, fakta lain yang bersangkutan dengan memungkinkan untuk mereka dari tingkat yang terbatas dan jenis terbatas dari kelonggaran dan meletakkan pada mereka tugas untuk latihan mereka ujung keterampilan dan penilaian dalam kelonggaran dalam menterjemahkan satu kasus. Kedua fakta ini harus dilihat dan keduanya harus diperhitungkan oleh yurisprudensi yang bertujuan untuk menutupi fakta yang jelas dan kebijakan diselesaikan dari sistem hukum kita, karena ada dua jenis kebebasan pejabat pengadilan atau lainnya yang datang dalam pertanyaan dan jenis kedua yang sangat berbeda itu adalah fakta dalam sistem hukum kita bahwa hakim tidak berarti bebas untuk menjadi sewenang-wenang dan kebutuhan vital kita bahwa mereka tidak harus gratis menjadi sewenang-wenang telah tertangkap ke dalam alasan-alasan atau doktrin tentang hukum dan bukan laki-laki dan tentang aturan menentukan kasus tetapi juga kenyataan bahwa sistem hukum kita tidak menyesuaikan dengan kasus individu dan perubahan kondisi kita dan lembaga-lembaga dan fakta itu berarti bahwa hakim dan pejabat lainnya bebas untuk beberapa derajat nyata untuk bersikap adil dan bijaksana dan bahwa kita memiliki kebutuhan vital bahwa para hakim dan pejabat lainnya akan terus menjadi nyata untuk beberapa derajat bebas untuk menjadi bijaksana dan hanya fakta yang terjadi namun tidak telah terjebak ke sebuah alasan yang sama tajam atau sama berharga atau doktrin. Namun  hal yang tidak kalah penting dari sistem hukum kita dan tugas hakim kita, ada hukum yang kita rasakan juga impersonal dan dianggap sebagai hasil pemikiran keras untuk menemukan hukum.
Llwellyn dalam bukunya yg berjudul “My Philosophy of Law” menjelaskan ada waktu ketika hukum menjadi perhatian para filsuf dan dipahami sebagai bagian dari filosofi ada kekhawatiran baru-baru ini antara para ilmuwan sosial dengan hukum sebagai ilmu sosial. Pengacara menganggap hukum sebagai kerajinan dan sebagai profesi. Negarawan telah mengenal hukum sebagai salah satu aspek kunci dari masyarakat sebagai panduan, sebagai alat. Dalam hukum kebenaran masing-masing hal-hal yang telah disebutkan adalah hal yang lebih pada bagian besar dari perselisihan antara jurisprudes kehilangan banyak makna dan jika fase hukum yang secara khusus untuk satu dan lain menjadi hubungan dengan hukum secara keseluruhan.
Hal yang dianggap penting adalah lembaga yang berkembang, dan lembaga yang diperlukan dalam masyarakat. Sebuah lembaga tentu saja tidak pernah terdiri dari aturan sendiri ataupun cita-cita saja, aturan sebagai salah satu bagiannya. Dalam kasus hukum, institusi mengandung salah satu bagian tubuh yang luar biasa dan sangat penting dari aturan, terorganisir (cukup longgar) di sekitar konsep dan ditekankan melalui prinsip-prinsip. Paduan aturan-aturan dan prinsip-prinsip hukum yang tepat, ada aturan lain dan konsep lainnya, teknik dirumuskan preseden konstruksi dan sejenisnya untuk membimbing manipulasi lembaga hukum. Setiap lembaga hukum akan mengandung ideologi dan ide meresap kuat dan tidak secara eksplisit. Sebagian besar implisit, dan yang lulus hampir tidak disebutkan dalam buku.
Llwellyn juga mengatakan apabila masyarakat menginginkan keadilan ditegakkan dan dijunjung tinggi maka setiap “The Law Job” perlu dilakukan pendekatan-pendekatan fungsional hukum. Sebuah institusi adalah suatu aktivitas yang teratur yang dibuat menurut suatu pekerjaan (job) atau sekumpulan pekerjaan suatu institusi mempunyai pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan dan yang paling penting adalah untk melihat bahwa pekerjaan-pekerjaan itu dilakukan dengan baik secara efektif. Ada 5 katagori yang harus diperhatikan ketika “The Law Job” menjalankan fungsi dan tugasnya yaitu :
1.   Penentuan kasus-kasus bermasalah :  kesalahan-kesalahan, keluhan-keluhan, dan sengketa. Hal ini dianggap the law job adalah merupakan tempat/pusat untuk memperbaiki hukum yang dianggap rusak atau tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan yang ada di masyarakat.
2.   Pencegahan, sekaligus memberikan harapan untuk menghindari kesulitan.
3.    Menghimpun peratura-peraturan hukum oleh penguasa dan mengatur prosedur-prosedur yang menandai tindakan-tindakan apa yang tergolong untuk itu, termasuk konstitusi;
4. Bagian positif dari pekerja (law work) melihat bagaimana mestinya (tidak detail) secara keseluruhan organisasi masyarakat, agar dapat melakukan penyantunan-penyantunan, arahan-arahan dan rangsangan-rangsangan;
5. Membuat metode hukum yang dapat dipergunakan sebagai acuan untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum dan dapat dipergunakan setersunya dikemudian hari.
Dalam rangka melakukan tugas dan fungsi law job tersebut masyarakat membentuk suatu institusi yang disebut law and government.

  • SCANDINAVIAN LEGAL REALISM
Aliran Scandinavia condong pada ideologi social welfare, dimana hal ini terlihat jelas dalam tulisan-tulisan Lundstedt, meskipun dia tidak pernah mengakui bahwa pemikirannya dipengaruhi oleh ideologi. Hagerstorm dipandang sebagai Bapak dari aliran ini, meskipun masih terdapat beberapa tokoh lain yang sangat berpengaruh dan terkenal yakni Olivecrona, Lundstet dan Ross.
Menurut Lloyd D. dan Freeman, terdapat beberapa pokok-pokok pikiran penting yang menjadi mainstream dari aliran ini, antara lain:
1)  Law as Fact. Aliran ini berkeyakinan bahwa hukum hanya bisa dijelaskan melalui fakta-fakta yang bisa diobservasi, dan studi tentang fakta ini –yang disebut dengan ilmu pengetahuan hukum- karenanya merupakan sebuah ilmu pengetahuan sebagaimana ilmu pengetahuan lain yang peduli dan memfokuskan diri pada fakta dan kejadian dalam hubungan sebab-akibat.oleh karena itu, keyakinan tentang kekuatan mengikat, kebenaran hukum, eksistensi hak dan kewajiban, keyakinan tentang hak property dipisahkan dari khayalan dan dunia metafisika.
    Bagi Olivecrona, aturan hukum merupakan “perintah yang independen” yang termanifestasikan dalam bentuk perintah, namun tidak seperti perintah yang berasal dari seseorang. Hukum termanifestasikan dalam “rasa” dari rangkaian kaliman dalam undang-undang, dan ditangkap oleh alam pikiran manusia dan selanjutnya mempengaruhi tingkah laku manusia. Lundstedt menambahkan bahwa aturan hukum hanyalah sebuah prosedur untuk mencapai tujuan tertentu (dalam hal ini adalah kesejahteraan sosial). Lundstedt memandang bahwa hak dan kewajiban hanyalah merupakan konklusi hukum. Dia mencontohkan bahwa hak atas property sebenarnya hanyalah tiadanya resiko hukum bagi pemilik property untuk melakukan tindakan-tindakan atas properti tersebut. Dengan demikian, property right tidak muncul dari das sollen, melainkan dari das Sein.  
2)   Theory of Law. Ross membedakan 2 jenis ilmu hukum, pertama hukum dalam arti yang dimuat dalam undang-undang, dan kedua kalimat-kalimat dalam buku dimana hukum dinyatakan. Kategori pertama bersifat menentukan, sedangkan yang kedua lebih mengarah kepada pengetahuan tentang apa hukum yang sebenarnya yang berisi pernyataan dan penjelasan. Bagi Ross, validitas hukum adalah serangkaian abstrak dari ide-ide normatif yang disajikan dalam sebuah skema intepretasi atas fenomena hukum dalam kenyataan, yang dimaksdukan untuk memprediksikan aktifitas para hakim. Dia menyatakan bahwa norma hukum utamanya ditujukan bukan kepada seluruh masyarakat, namun merupakan petunjuk kepada hakim. Aturan hukum adalah aturan tentang penggunaan kekuatan dan ditujukan kepada para pejabat terkait. Contoh, larangan membunuh, merupakan petunjuk bagi hakim dan beberapa instansi pemerintah dalam berurusan dengan kasus-kasus pembunuhan yang diajukan kepada mereka. Dalam pandangan Ross, semakin efektif pemenuhan aturan oleh masyarakat, maka semakin sulit untuk mengukur validitas (hukum) nya, karena pengadilan tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkan reaksinya. Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa hukum adalah valid jika hakim menganggapnya mengikat. Namun, pemikiran Ross ini dianggap banyak menimbulkan persoalan karena dianggap sulit untuk menyelidiki pemikiran hakim.      
3)   Prinsip-prinsip verifiabilitas. Fakta, bagi aliran realis merupakan hal yang tidak bisa ditawar, dan menolak metafisika. Dalam hal ini, terdapat kemiripan antara aliran ini dengan legal positivism. Ross mengatakan bahwa hanya ada satu dunia dan satu kognisi (kesadaran). Seluruh ilmu pengetahuan (termasuk ilmu pengathuan hukum) hanya memustakan perhatian kepada fakta, seluruh dalil ilmu pengetahuan menyangkut realitas, dan seluruh yang tidak sepenuhnya logis -matematis- selalu merujuk kepada uji pengalaman. Studi hukum doktrinal bagi Ross dianggap sebagai ilmu pengetahuan sosial empirik. Dia juga mengatakan bahwa makna diberikan terhadap fakta yang dapat diferivikasi, sehingga dalil-dalil yang tidak dapat diverifikasi maka tidak bermakna. Namun demikian, Lloyd D. Dan Freeman menganggap bahwa pandangan Ross ini bermasalah dengan pemahaman tentang kegunaan bahasa, yang menurutnya bersifat tunggal. Padahal dalam kenyataannya kegunaan bahasa dapat bermacam-macam. Meskipun demikian, dalam perkembangan berikutnya, aliran ini lebih bersikap toleran terhadap keragamaan kegunaan bahasa. MacCormak mengatakan bahwa keragaman fungsi bahasa dan realitas psikologis dari keyakinan dan perasaan adalah elemen utama dari penjelasan Ross dan Olivecrona mengenai aturan hukum dan viliditasnya, dan juga hak-hak hukum. Ross membuat 3 perbedaan atas perkataan yang digunakan dalam aturan hukum: indicative, directive dan emotive. Sedangkan Olivecrona membedakan bahasa hukum ke dalam 2 kategori: technical (yang bersifat pasif), dan performative (yang bersifat kreatif).
4)  Asal mula hukum. Dalam pandangan Olivecrona, asal mula hukum sejatinya adalah pertanyaan tentang asal mula histori dan faktual tentang perkembangan “aturan yang luar biasa, bersifat magis-religius yang ditemukan dalam masyarakat kuno”. 
5)   Reductionism dan legal concept. Menurut Ross, konsep dapat selalu direduksi dengan analisa atas serangkaian dalil yang setara, atau dapat disubtitusikan.
6)   Feature of law. Menurut Olivecrona, kinerja sistem hukum tidaklah mistis, atau didasarkan pada enititas yang fiktif, misalnya negara atau sifat mengikat dari hukum. Dia beranggapan bahwa hukum diproduksi oleh sekumpulan orang yang berada dalam sebuah organisasi negara yang mampu menjalankan hukum melalui kekuatan pemaksa yang dimilikinya, dan sekumpulan orang di lembaga legislatif yang dapat menghadirkan tekanan psikologis terhadap masyarakat.
7)  Hukum dan moralitas. Dalam pemikiran aliran Skandinavia, gagasan-gagasan moral sebenarnya dibentuk oleh hukum. Hukum menjadi faktor utama yang mempangaruhi standard moral, terutama karena kemampuannya untuk menggunakan kekuatan untuk menegakkanya. Teori ini memang sangat rentan untuk diperdebatkan, terutama jika dipertanyakan tentang mana yang lebih dulu hadir, apakah moral ataukah hukum.
8)  Ideologi hukum-method of Justice dan Social Welfare. Kebanyakan kelompok realis mendukung konsep legal ideology atau method of justice dengan menyandarkan diri pada tujuan material hukum, mengutamakan sistem hukum yang aktual, sehingga menolak aspek metafisika, atau penggunaan hukum alam atau nilai keadilan sebagai parameter penilaian objective, karena menurut aliran realis, sebuah penilaian pastilah subjectif. Bagi Lundstedt, jurisprudence haruslah berdasarkan observasi atas fakta, bukannya berdasarkan atas penilaian individual atau metafisika.

D. Perbedaan Realisme Amerika dan Skandinavia
 Meskipun sama-sama dalam satu aliran Realisme, namun terdapat sedikit perbedaan antara aliran Scandinavian Realism dan Amerika. Lloyd D. dan Freeman mencatat perbedaan antara keduanya sebagai berikut:
1.      Realisme Amerika lebih memfokuskan diri pada kerja praktis untuk mengkaji proses hukum, berbeda dengan Realisme Skanidnavia yang lebih berfokus kepada operasi teoritis atas sistem hukum secara keseluruhan.
2.      Skandinavia memang merepresentasikan aliran empiris yang ekstrem, namun Amerika justru yang paling depan dalam menekankan pentingnya sutdi faktual dalam rangka mencari solusi atas problem hukum. Skandinavia tampak lebih mengandalkan pada argumen apriori dalam menemukan solusi atas problem hukum.
3.      Gerakan Realisme Skandinavia dipengaruhi oleh tradisi filsafat Eropa, sedangkan realisme Amerika lebih dipengaruhi oleh karakter empirisme Inggris.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar