LEGAL REALIS
- Sejarah kemunculan
Qodri Azizy mengatakan bahwa aliran realisme muncul
bermula dari adanya penolakan terhadap aliran positivisme. Gagasan yang
dilontarkan adalah pernyataan bahwa kalau positivisme hukum merupakan teori
hukum yang benar maka teori itu akan mencakup semua hukum, termasuk menangani
kasus-kasus berat (hard cases). Ternyata kasus-kasus berat ini tidak diatur
oleh aturan-aturan yang ada. Atau dengan pertanyaan: “apakah legal positivism menyediakan
teori yang benar mengenai putusan peradilan, khususnya dalam menyelesaikan
kasus-kasus berat?” ternyata pertanyaan
ini merupakan problem yang sukar dipecahkan bagi pengikut positivism
Sebagaimana diuraikan dimuka, Austin sebagai pelopor
positivisme hukum, menyatakan bahwa hukum adalah perintah penguasa yang
berdaulat, sedangkan Hans Kelsen menyatakan bahwa hukum adalah kehendak dari
negara. Atau dengan kata lain, menyatakan bahwa hukum adalah sesuatu yang
positif yakni Undang-Undang (positive law) dan hukum kebiasaan (positive morality). Tetapi positive morality
bisa menjadi hukum apabila telah dikukuhkan menjadi Undang-Undang oleh pejabat
yang berwenang (Badan Legislatif).
Menanggapi hal ini, tokoh-tokoh legal realism yang
berasal dari kalangan praktisi hukum, yakni Holmes (1841-1935), Jerome Frank
(1859- 1957) dan seorang ahli ilmu sosial,
Karl Nickerson Llewellyn (1893-1962),
melihat kenyataan bahwa tidak semua kasus yang ada di pengadilan,
khususnya kasus-kasus berat diatur dalam Undang-Undang. Sehingga pada
kenyataannya hakim mempunyai peranan yang lebih bebas untuk memilih dan
menentukan serta lebih kreatif didalam
penerapan hukum dari pada sekadar mengambil didalam aturan-aturan yang dibuat
oleh penguasa (Undang-Undang). Dalam praktiknya ternyata faktor seperti
temperamen psikologis hakim, kelas sosial dan nilai-nilai yang ada pada hakim
lebih berfungsi dalam pengambilan keputusan hukum dari pada aturan-aturan yang
tertulis
Sehubungan dengan hal ini, W. Friedmann menjelaskan bahwa
menjelang abad kesembilan belas terjadi sikap skeptisisme yang sehat, yang
mengecam rasa puas diri para penganut ilmu hukum analitik. idealisme hukum baru yang terdiri dari
sebagian metafisis dan sebagian
sosiologis, membelok dan mulai menentang positivisme analitis dan berbalik
mulai menyelidiki realitas dalam masyarakat modern dalam hubungannya dengan
hukum modern. Pragmatisme merupakan rumusan baru dari filsafat yang sangat tua,
yang mendorong kearah pendekatan baru pada hukum yang melihat ke arah barang-barang
yang terakhir, hasil-hasil dan akibat-akibat.
Gerakan realis mulai melihat apa sebenarnya yang
dikehendaki hukum dengan menghubungkan kedua sisinya, seperti fakta-fakta dalam
kehidupan sosial. Realisme yang berkembang di Amerika Serikat menjelaskan
bagaimana pengadilan membuat putusan. Penemuan mereka mengembangkan formula
dalam memprediksi tingkah laku hakim (peradilan) sebagai suatu fakta
(kenyataan).
Jadi, hal yang pokok dalam ilmu hukum realis adalah
“gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum”. Ciri-ciri dari gerakan ini,
Llewellyn menyebut beberapa hal, yang terpeting diantaranya:
1.
Tidak ada
mazhab realis, realisme adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.
2.
Realisme adalah
konsepsi hukum yang terus berubah dan alat untuk tujuan-tujuan sosial, sehingga
tiap bagian harus diuji tujuan dan akibatnya. Realisme mengandung konsepsi
tentang masyarakat yang berubah lebih cepat daripada hukum.
3. Realisme
menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan yang seharusnya
ada untuk tujuan-tujuan studi. Pendapat-pendapat tentang nilai harus selalu
diminta agar tiap penyelidikan ada sasarannya, tetapi selama penyelidikan,
gambaran harus tetap sebersih mungkin, karena keinginan-keinginan pengamatan
atau tujuan-tuan etis.
4. Realisme tidak
percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi- konsepsi hukum, sepanjang ketentuan dan
konsepsi itu menggambarkan apa yang sebenarnya dilakukan oleh
pengadilan-pengadilan dan orang-orang. Realisme menerima peraturan-peraturan
sebagai “ramalan-ramalan umum tentang apa yang akan dilakukan oleh
pengadilan-pengadilan.”
5. Realisme
menekankan pada evolusi tiap bagian dari hukum dengan mengingat akibatnya.
Llewellyn sebagai salah satu tokoh pragmatic legal
realism, mengalisa perkembangan hukum di dalam kerangka hubungan antara
pengetahuan-pengetahuan hukum dengan perubahan-perubahan keadaan masyarakat.
Hukum merupakan bagian dari kebudayaan yang antara lain mencakup kebiasaan,
sikap-sikap maupun cita-cita yang ditransmisikan dari suatu generasi tertentu
ke generasi berikutnya. Dengan kata lain, hukum merupakan bagian kebudayaan
yang telah melembaga. Lembaga-Lembaga tersebut telah terorganisir dan
harapannya terwujud di dalam aturan-aturan eksplisit yang wajib ditaati serta
didukung oleh para ahli.
Jadi yang namanya
hukum itu bukan hanya yang tertulis dalam Undang-Undang atau ketentuan dan
peraturan tertulis, namun lebih besar ditentukan oleh hakim di pengadilan yang
pada umumnya didasarkan pada kenyataan di lapangan. Hakim punya otoritas untuk
menentukan hukum ketika menjatuhkan putusan di pengadilan, meskipun putusannya
itu dalam beberapa hal tidak selalu sama dengan apa yang tertulis dalam
Undang-Undang atau aturan lainnya. Sehubungan dengan itu moralitas hakim sangat
menentukan kualitas hukum yang merupakan hasil putusan pengadilan itu. Dengan
demikian, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa suatu kasus tidak dapat
diadili karena belum ada hukum tertulis yang mengaturnya,
Pokok-pokok pendekatan kaum realis yang digariskan oleh
Llewellyn antara lain:
1. Hendaknya konsepsi hukum itu
menyinggung hukum yang berubah-ubah dan hukum yang diciptakan oleh pengadilan.
2. Hukum adalah alat untuk mencapai
tujuan-tujuan sosial.
3. Masyarakat berubah lebih cepat dari
hukum, karenanya selalu diperlukan penyelidikan untuk mengetahui bagaimana
hukum itu menghadapi problem-problem sosial yang ada.
4. Guna keperluan studi harus ada
perbedaan antara “is” dan “ought”
5. Tidak mempunyai anggapan bahwa
peraturan-peraturan dan konsep hukum itu sudah mencukupi apa yang harus
dilakukan oleh pengadilan. Hal ini selalu merupakan masalah utama dalam
pendekatan terhadap hukum.
6. Sehubungan dengan butir di atas, mereka
juga menolak teori tradisional yang mengatakan bahwa peraturan hukum itu merupakan
faktor utama dalam mengambil keputusan.
7. Mempelajari hukum hendaknya dalam
lingkup yang lebih sempit sehingga lebih nyata. Peraturan-peraturan hukum itu
meliputi situasi-situasi yang banyak dan berbeda-beda, karena itu ia bersifat
umum, tidak konkret dan tidak nyata.
8. Hendaknya hukum
itu dinilai dari efektifitasnya dan kemanfaatannya untuk menemukan efek-efek
tersebut
Akhirnya
secara ringkas, Llewellyn sendiri membuat sebuah ungkapan yang paling tepat
menurutnya, “realisme bukanlah suatu filosufi, tetapi suatu teknologi, suatu
metoda, bukan yang lain”.
Aliran Legal Realisme sebagai suatu gerakan dapat
dibedakan dalam dua kelompok, yaitu Realisme Amerika, dan Realisme Skandinavia.
Pengelompokan berdasarkan zona ini sebenarnya bukan hal yang lazim. Realisme
Skandinavia lebih luas cakupannya daripada Realisme Amerika, sebab realisme
skandinavia tidak memusatkan perhatiannya kepada para fungsionaris hukum
(khususnya hakim), akan tetapi justru orang-orang yang ada di bawah hukum.
Realisme Scandinavia ini
banyak menggunakan dalil-dalil psikologi dalam menjelaskan pandangannya.
- AMERICAN LEGAL REALISM
Realisme Amerika Serikat adalah
merupakan pendekatan seara pragmatis dan behaviouristis terhadap
lembaga-lembaga sosial. Para ahli hukum Amerika mengembangkan cara pendekatan
tersebut dengan meletakkan tekanan pada putusan-putusan pengadilan dan tindakan-tindakan
hukum.
Sumber
hukum utama aliran ini adalah putusan hakim, hakim lebih sebagai penemu hukum
daripada pembuat hukum yang mengandalkan peraturan perundang-undangan, apabila dibandingkan dengan cara berpikir aliran positivisme
sangat bertentangan karena memang aliran relisme ini merupakan reaksi dari
aliran positivisme yang lebih menekan hukum hanya sebagai segala sesuatu yang
tertuang dalam undang-undang dan aliran realisme ini berusaha untuk merubah
cara pandang para ahli hukum di Amerika. Kaum realisme Amerika menganggap bahwa
hukum itu sebagai praktek (law in action) hukum itu adalah suatu pengalaman dan menganggap hukum itu harus bebas
dari nilai-nilai.
Sebagaimana yang dikatakan oleh
Llewellyn, suatu institusi hukum harus memiliki pengalaman yang banyak dan para
pekerja hukum dituntut untuk memiliki kemampuan/keahlian untuk mengintepretasi
hukum. Tokoh realisme Amerika lain yaitu Oliver Wendell Holmes berpendapat yang
dimaksud dengan hukum adalah tindakan dari pengadilan terhadap fakta hukum yang
terjadi, pandangan hukum sebagai prediksi apa yang akan diputuskan oleh
pengadilan ini yang menekankan realisme di Amerika bersifat pragmatis dan
empiris.
Menurut John Dewey Tujuan dari realisme
di Amerika ini dimaksudkan untuk menyelidiki bagaimana hukum bekerja dan
bagaimana dipergunakan dengan sesungguhnya hukum, yaitu dengan cara mengaitkan
hukum dengan fakta kehidupan yang ada dalam masyarakat. Aliran realisme di
Amerika ini menuntut pemenuhan kebutuhan hukum terhadap gejolak-gejolak yang terjadi
dalam masyarakat jadi apabila hukum itu hanya mengacu pada suatu aturan yang
tetap maka seakan-akan merupakan prinsip-prinsip logika, dengan prinsip
tersebut hakim menjatuhkan putuskan. Jerome Frank dalam tulisannya “Law and The
Modern Mind” hukum itu harus selalu ditemukan, karena apabila hakim dalam
memutuskan suatu perkara hanya didasarkan pada undang-undang sesungguhnya hakim
itu hanya menipu dirinya dengan menyembunyikan fakta bahwa tiap-tiap perkara
berbeda-beda jenis fakta hukumnya dan menuntut suatu putusan yang berbeda-beda
pula. Frank juga menyatakan bahwa dalam mengambil keputusan hakim dipengaruhi
faktor politik, ekonomi, moral, simpati, dan antipati namun itu semua hanya
sekedar dijadikan pertimbangan.
Aliran realisme di Amerika juga mendapat
pengaruh yang sangat besar dari tokoh Llewellyn, dalam bukunya The Common Law
Traditional, Llewellyn mengembangkan suatu pemikiran bahwa setiap institusi
hukum (hakim, jaksa, pengacara dan pemerinntah) harus memiliki keterampilan
dalam menafsirkan hukum dan disini Llewelly menuntut dibutuhkannya logika, dan
dalam bukunya tersebut Llewellyn membagi dua konsep pemikiran yang dapat
diprektekan di pengadilan Amerika yaitu “Grand style”, tipe ini diterapkan pada
saat pengadilan tingkat banding dimana hakim di Amerika dalam membuat suatu
keputusan lebih menekankan pada logika dan keadaan disekitarnya, dan hakim pada
tingkat banding tidak meniru putusan hakim terdahulu dan mempelajari kembali
yang melatarbelakangi hakim terdahulu dalam menjatuhkan putusan. “Formal Style”
seebaliknya tipe ini lebih bersifat otoriter, formal dan logika, hakim dalam
membuat suatu keputusan diberikan ruang untuk menggunakan logika namun hanya
sebatas sebagaimana yang terdapat dalam undang-undang , Formal Style tidak
perduli pada fakta-fakta sosial.
Pada selanjutnya pemikiran Grand Style
dan Formal Style ini sangat mempengaruh situasi perkembangan hukum di Amerika,
pada abad 19 Grand Style sempat diterapkan di pengadilan Amerika dan berkembang
kebentuk Formal Style, hal ini memunculkan komentar dari Llewellyn yang
mengharapkan pengadilan di Amerika kembali kepada Grand Style karena hakim
dalam memutuskan perkara perlu melihat situasi yang ada di dalam suatu
masyarakat. Namun sayangnya dari pemikiran Llwellyn ini memunculkan suatu tanggaapan
bahwa dengan hakim diberikan kesempatan untuk menggunakan logika dan
mempertimbangkan kondisi yg ada dimasyarakat dalam menjatuhkan keputusan
menimbulkan keanekaragaman putusan hukum terhadap satu perkara sehingga tidak
ada patokan hukum yang baik itu seperti apa sehingga masyarakat dapat
menerimanya.
Menurut K. Llewellyn dalam bukunya Using The New
Jurisprudence apa yang telah dikatakan
mungkin dapat disimpulkan bahwa hakim dan para pejabat ini tidak sepenuhnya
bebas dan tidak harus sepenuhnya bebas membagi pada analisis dan pemeriksaan
lebih dekat menjadi dua fakta. Satu fakta yang berkaitan dengan kontrol menahan
diri, menahan hakim dan pejabat, fakta lain yang bersangkutan dengan
memungkinkan untuk mereka dari tingkat yang terbatas dan jenis terbatas dari
kelonggaran dan meletakkan pada mereka tugas untuk latihan mereka ujung
keterampilan dan penilaian dalam kelonggaran dalam menterjemahkan satu kasus.
Kedua fakta ini harus dilihat dan keduanya harus diperhitungkan oleh
yurisprudensi yang bertujuan untuk menutupi fakta yang jelas dan kebijakan
diselesaikan dari sistem hukum kita, karena ada dua jenis kebebasan pejabat
pengadilan atau lainnya yang datang dalam pertanyaan dan jenis kedua yang
sangat berbeda itu adalah fakta dalam sistem hukum kita bahwa hakim tidak
berarti bebas untuk menjadi sewenang-wenang dan kebutuhan vital kita bahwa
mereka tidak harus gratis menjadi sewenang-wenang telah tertangkap ke dalam
alasan-alasan atau doktrin tentang hukum dan bukan laki-laki dan tentang aturan
menentukan kasus tetapi juga kenyataan bahwa sistem hukum kita tidak
menyesuaikan dengan kasus individu dan perubahan kondisi kita dan
lembaga-lembaga dan fakta itu berarti bahwa hakim dan pejabat lainnya bebas
untuk beberapa derajat nyata untuk bersikap adil dan bijaksana dan bahwa kita
memiliki kebutuhan vital bahwa para hakim dan pejabat lainnya akan terus
menjadi nyata untuk beberapa derajat bebas untuk menjadi bijaksana dan hanya
fakta yang terjadi namun tidak telah terjebak ke sebuah alasan yang sama tajam
atau sama berharga atau doktrin. Namun
hal yang tidak kalah penting dari sistem hukum kita dan tugas hakim
kita, ada hukum yang kita rasakan juga impersonal dan dianggap sebagai hasil
pemikiran keras untuk menemukan hukum.
Llwellyn dalam bukunya yg berjudul “My Philosophy of Law”
menjelaskan ada waktu ketika hukum menjadi perhatian para filsuf dan dipahami
sebagai bagian dari filosofi ada kekhawatiran baru-baru ini antara para ilmuwan
sosial dengan hukum sebagai ilmu sosial. Pengacara menganggap hukum sebagai
kerajinan dan sebagai profesi. Negarawan telah mengenal hukum sebagai salah
satu aspek kunci dari masyarakat sebagai panduan, sebagai alat. Dalam hukum kebenaran masing-masing
hal-hal yang telah disebutkan adalah hal yang lebih pada bagian besar dari perselisihan antara jurisprudes kehilangan
banyak makna dan jika fase hukum yang secara khusus untuk satu dan lain menjadi
hubungan dengan hukum secara keseluruhan.
Hal yang dianggap penting adalah lembaga yang berkembang, dan
lembaga yang diperlukan dalam masyarakat. Sebuah
lembaga tentu saja tidak pernah terdiri dari aturan sendiri ataupun cita-cita
saja, aturan sebagai salah satu
bagiannya. Dalam kasus hukum, institusi
mengandung salah satu bagian tubuh yang luar biasa dan sangat penting dari
aturan, terorganisir (cukup longgar) di sekitar konsep dan ditekankan melalui prinsip-prinsip. Paduan
aturan-aturan dan prinsip-prinsip hukum yang tepat, ada aturan lain dan konsep
lainnya, teknik dirumuskan preseden konstruksi dan sejenisnya untuk membimbing
manipulasi lembaga hukum. Setiap
lembaga hukum akan mengandung ideologi dan ide
meresap kuat dan tidak
secara eksplisit. Sebagian
besar implisit, dan yang lulus hampir tidak disebutkan dalam buku.
Llwellyn juga mengatakan apabila masyarakat menginginkan
keadilan ditegakkan dan dijunjung tinggi maka setiap “The Law Job” perlu
dilakukan pendekatan-pendekatan fungsional hukum. Sebuah institusi adalah suatu
aktivitas yang teratur yang dibuat menurut suatu pekerjaan (job) atau
sekumpulan pekerjaan suatu institusi mempunyai pekerjaan-pekerjaan yang harus
dilakukan dan yang paling penting adalah untk melihat bahwa pekerjaan-pekerjaan
itu dilakukan dengan baik secara efektif. Ada 5 katagori yang harus
diperhatikan ketika “The Law Job” menjalankan fungsi dan tugasnya yaitu :
1. Penentuan kasus-kasus bermasalah : kesalahan-kesalahan, keluhan-keluhan, dan
sengketa. Hal ini dianggap the law job adalah merupakan tempat/pusat untuk
memperbaiki hukum yang dianggap rusak atau tidak sesuai lagi dengan tuntutan
perkembangan yang ada di masyarakat.
2. Pencegahan, sekaligus memberikan harapan untuk
menghindari kesulitan.
3. Menghimpun peratura-peraturan hukum oleh penguasa dan
mengatur prosedur-prosedur yang menandai tindakan-tindakan apa yang tergolong
untuk itu, termasuk konstitusi;
4. Bagian positif dari pekerja (law work) melihat bagaimana
mestinya (tidak detail) secara keseluruhan organisasi masyarakat, agar dapat
melakukan penyantunan-penyantunan, arahan-arahan dan rangsangan-rangsangan;
5. Membuat metode hukum yang dapat dipergunakan sebagai
acuan untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum dan dapat dipergunakan
setersunya dikemudian hari.
Dalam rangka melakukan tugas dan fungsi law job tersebut
masyarakat membentuk suatu institusi yang disebut law and government.
- SCANDINAVIAN LEGAL REALISM
Aliran Scandinavia condong pada
ideologi social welfare, dimana hal ini terlihat jelas dalam tulisan-tulisan Lundstedt, meskipun dia tidak pernah mengakui bahwa
pemikirannya dipengaruhi oleh ideologi. Hagerstorm dipandang sebagai Bapak dari
aliran ini, meskipun
masih terdapat beberapa tokoh lain yang sangat berpengaruh dan terkenal yakni
Olivecrona, Lundstet dan Ross.
Menurut Lloyd D. dan Freeman, terdapat beberapa pokok-pokok pikiran
penting yang menjadi mainstream dari aliran ini, antara lain:
1) Law as Fact. Aliran ini berkeyakinan bahwa hukum hanya
bisa dijelaskan melalui fakta-fakta yang bisa diobservasi, dan studi tentang
fakta ini –yang disebut dengan ilmu pengetahuan hukum- karenanya merupakan
sebuah ilmu pengetahuan sebagaimana ilmu pengetahuan lain yang peduli dan
memfokuskan diri pada fakta dan kejadian dalam hubungan sebab-akibat.oleh
karena itu, keyakinan tentang kekuatan mengikat, kebenaran hukum, eksistensi
hak dan kewajiban, keyakinan tentang hak property dipisahkan dari khayalan dan
dunia metafisika.
Bagi Olivecrona, aturan hukum merupakan “perintah yang independen” yang
termanifestasikan dalam bentuk perintah, namun tidak seperti perintah yang
berasal dari seseorang. Hukum termanifestasikan dalam “rasa” dari rangkaian
kaliman dalam undang-undang, dan ditangkap oleh alam pikiran manusia dan
selanjutnya mempengaruhi tingkah laku manusia. Lundstedt menambahkan bahwa
aturan hukum hanyalah sebuah prosedur untuk mencapai tujuan tertentu (dalam hal
ini adalah kesejahteraan sosial). Lundstedt memandang bahwa hak dan kewajiban
hanyalah merupakan konklusi hukum. Dia mencontohkan bahwa hak atas property
sebenarnya hanyalah tiadanya resiko hukum bagi pemilik property untuk melakukan
tindakan-tindakan atas properti tersebut. Dengan demikian, property right tidak
muncul dari das sollen, melainkan dari das Sein.
2) Theory of Law. Ross membedakan 2 jenis ilmu hukum,
pertama hukum dalam arti yang dimuat dalam undang-undang, dan kedua
kalimat-kalimat dalam buku dimana hukum dinyatakan. Kategori pertama bersifat
menentukan, sedangkan yang kedua lebih mengarah kepada pengetahuan tentang apa
hukum yang sebenarnya yang berisi pernyataan dan penjelasan. Bagi Ross,
validitas hukum adalah serangkaian abstrak dari ide-ide normatif yang disajikan
dalam sebuah skema intepretasi atas fenomena hukum dalam kenyataan, yang
dimaksdukan untuk memprediksikan aktifitas para hakim. Dia menyatakan bahwa
norma hukum utamanya ditujukan bukan kepada seluruh masyarakat, namun merupakan
petunjuk kepada hakim. Aturan hukum adalah aturan tentang penggunaan kekuatan
dan ditujukan kepada para pejabat terkait. Contoh, larangan membunuh, merupakan
petunjuk bagi hakim dan beberapa instansi pemerintah dalam berurusan dengan
kasus-kasus pembunuhan yang diajukan kepada mereka. Dalam pandangan Ross,
semakin efektif pemenuhan aturan oleh masyarakat, maka semakin sulit untuk
mengukur validitas (hukum) nya, karena pengadilan tidak memiliki kesempatan
untuk menunjukkan reaksinya. Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa hukum adalah
valid jika hakim menganggapnya mengikat. Namun, pemikiran Ross ini dianggap
banyak menimbulkan persoalan karena dianggap sulit untuk menyelidiki pemikiran
hakim.
3) Prinsip-prinsip verifiabilitas. Fakta, bagi aliran realis
merupakan hal yang tidak bisa ditawar, dan menolak metafisika. Dalam hal ini,
terdapat kemiripan antara aliran ini dengan legal positivism. Ross mengatakan
bahwa hanya ada satu dunia dan satu kognisi (kesadaran). Seluruh ilmu
pengetahuan (termasuk ilmu pengathuan hukum) hanya memustakan perhatian kepada
fakta, seluruh dalil ilmu pengetahuan menyangkut realitas, dan seluruh yang
tidak sepenuhnya logis -matematis- selalu merujuk kepada uji pengalaman. Studi
hukum doktrinal bagi Ross dianggap sebagai ilmu pengetahuan sosial empirik. Dia
juga mengatakan bahwa makna diberikan terhadap fakta yang dapat diferivikasi,
sehingga dalil-dalil yang tidak dapat diverifikasi maka tidak bermakna. Namun
demikian, Lloyd D. Dan Freeman menganggap bahwa pandangan Ross ini bermasalah
dengan pemahaman tentang kegunaan bahasa, yang menurutnya bersifat tunggal.
Padahal dalam kenyataannya kegunaan bahasa dapat bermacam-macam. Meskipun
demikian, dalam perkembangan berikutnya, aliran ini lebih bersikap toleran
terhadap keragamaan kegunaan bahasa. MacCormak mengatakan bahwa keragaman
fungsi bahasa dan realitas psikologis dari keyakinan dan perasaan adalah elemen
utama dari penjelasan Ross dan Olivecrona mengenai aturan hukum dan
viliditasnya, dan juga hak-hak hukum. Ross membuat 3 perbedaan atas perkataan
yang digunakan dalam aturan hukum: indicative, directive dan emotive. Sedangkan
Olivecrona membedakan bahasa hukum ke dalam 2 kategori: technical (yang
bersifat pasif), dan performative (yang bersifat kreatif).
4) Asal mula hukum. Dalam pandangan Olivecrona, asal mula
hukum sejatinya adalah pertanyaan tentang asal mula histori dan faktual tentang
perkembangan “aturan yang luar biasa, bersifat magis-religius yang ditemukan
dalam masyarakat kuno”.
5) Reductionism dan legal concept. Menurut Ross, konsep
dapat selalu direduksi dengan analisa atas serangkaian dalil yang setara, atau
dapat disubtitusikan.
6) Feature of law. Menurut Olivecrona, kinerja sistem hukum
tidaklah mistis, atau didasarkan pada enititas yang fiktif, misalnya negara
atau sifat mengikat dari hukum. Dia beranggapan bahwa hukum diproduksi oleh
sekumpulan orang yang berada dalam sebuah organisasi negara yang mampu
menjalankan hukum melalui kekuatan pemaksa yang dimilikinya, dan sekumpulan
orang di lembaga legislatif yang dapat menghadirkan tekanan psikologis terhadap
masyarakat.
7) Hukum dan moralitas. Dalam pemikiran aliran Skandinavia,
gagasan-gagasan moral sebenarnya dibentuk oleh hukum. Hukum menjadi faktor
utama yang mempangaruhi standard moral, terutama karena kemampuannya untuk
menggunakan kekuatan untuk menegakkanya. Teori ini memang sangat rentan untuk
diperdebatkan, terutama jika dipertanyakan tentang mana yang lebih dulu hadir,
apakah moral ataukah hukum.
8) Ideologi hukum-method of Justice dan Social Welfare.
Kebanyakan kelompok realis mendukung konsep legal ideology atau method of
justice dengan menyandarkan diri pada tujuan material hukum, mengutamakan
sistem hukum yang aktual, sehingga menolak aspek metafisika, atau penggunaan
hukum alam atau nilai keadilan sebagai parameter penilaian objective, karena
menurut aliran realis, sebuah penilaian pastilah subjectif. Bagi Lundstedt,
jurisprudence haruslah berdasarkan observasi atas fakta, bukannya berdasarkan
atas penilaian individual atau metafisika.
D. Perbedaan Realisme Amerika dan
Skandinavia
Meskipun sama-sama dalam satu aliran Realisme,
namun terdapat sedikit perbedaan antara aliran Scandinavian Realism dan
Amerika. Lloyd D. dan Freeman mencatat perbedaan antara keduanya sebagai
berikut:
1. Realisme Amerika lebih memfokuskan diri pada kerja praktis
untuk mengkaji proses hukum, berbeda dengan Realisme Skanidnavia yang lebih
berfokus kepada operasi teoritis atas sistem hukum secara keseluruhan.
2. Skandinavia memang merepresentasikan aliran empiris yang
ekstrem, namun Amerika justru yang paling depan dalam menekankan pentingnya
sutdi faktual dalam rangka mencari solusi atas problem hukum. Skandinavia
tampak lebih mengandalkan pada argumen apriori dalam menemukan solusi atas
problem hukum.
3. Gerakan Realisme Skandinavia dipengaruhi oleh tradisi
filsafat Eropa, sedangkan realisme Amerika lebih dipengaruhi oleh karakter
empirisme Inggris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar