Assalamu'Alaikum Wr.Wb.

Pada sang bayu kutitipkan salam cinta penuh kerinduan, tuk ayah ibu kuhaturkan ♥
Terucap dari hati dengan kecintaan, padamu ridho kuharapkan ♥
Salam kasih sahabatku, lewat dunia maya kumenyapamu ♥
Meski tak pernah bertemu, dekat di hati kuharap selalu ♥
Salam hangat kuberikan, padamu wahai Sahabat ♥
Jarak dan waktu telah memisahkan, kurindu kebersamaan ♥
Salam indah duniaku, indahkanlah hari-hariku, berikan senyuman untukku ♥
Tuk menyapa orang terdekatku, berikan mereka bahagia selalu ♥

Jumat, 20 Desember 2013

Mencari Kebenaran dengan Hati



Kita semua diciptakan oleh Tuhan dalam wujud yang sama dengan peralatan yang sama,baik itu peralatan fisik maupun peralatan jiwa. kita sama sama diberi oleh Tuhan hati dan akal, akal merujuk kepada adanya karakter cara berfikir sistematis-mekanistis sehingga melalui akal manusia manusia bisa merumuskan segala suatu secara konseptual,misal bila manusia melihat ketertataan alam semesta maka logika akalnya akan menangkap adanya desainer dibalik ketertataan itu,karena akal akan bisa membuat rumusan bahwa ketertataan adalah suatu yang mustahil bila lahir dari kebetulan.itulah salah satu cara akal dalam menangkap adanya kebenaran yaitu menggunakan prinsip ‘rasionalitas’, dengan menggunakan kacamata sudut pandang akal nya manusia bisa memilah mana yang rasional dan mana yang tidak rasional.
(Lalu bagaimana dengan banyaknya saintis ’super pinter’ yang menolak adanya desainer dibalik ketertataan alam semesta (?) saya jawab : kepinteran bukan jaminan orang pinter menggunakan logika akalnya, sebab godaan besar orang pinter ialah ia sering tergoda masuk ke rimba pemikiran spekulatif  dan pemikiran spekulatif (cara berfikir yang tidak tertata) tentu beda jauh dengan cara berfikir rasional (cara berfikir yang tertata secara sistematis.).sebab itu terkadang logika akal seorang tukang angon kambing jauh lebih cerdas ketimbang ilmuwan kelas dunia, Coba tanya kepada beliau (tukang angon kambing) : apakah ketertataan alam semesta bisa lahir dari kebetulan (?) maka beliau pasti akan menjawab : 100 persen mustahil !
Nah ada alat berfikir lain dalam jiwa manusia yang baik kapasitas memori nya maupun kekuatan dan kecerdasannya melampaui nalar  yaitu : hati. Bila kita mengacu kepada kitab suci dan al hadits maka kita akan mengetahui identitas pasti dari hati yaitu : raja dalam jiwa.dan gelar itu pantas disandang oleh hati sebab seluruh aktivitas berfikir manusia baik itu orang beriman atau orang tidak beriman ujungnya bermuara ke dalam hati.dalam hati seluruh hasil olah fikir itu diabstraksikan menjadi keyakinan-keyakinan atau keraguan-keraguan.sebab itu bila orang menunjuk : dimana adanya keyakinan (?) maka siapapun akan mengatakan : dalam hati, tidak ada yang akan menunjuk ke kepalanya.sebab itu karena hati adalah raja maka akal pun sebenarnya berada dibawah kendali hati,bila hati seseorang berniat dan bertujuan baik maka kecerdasan akal nya akan digunakan untuk hal hal yang baik,sebaliknya bila hati seseorang berniat buruk-jahat maka kecerdasan akalnya akan digunakan untuk hal hal yang buruk dan salah,(pernah melihat maling cerdas ? nah perbuatan buruknya itu dikendalikan oleh hatinya bukan oleh akalnya)
‘Hati’ sebagai alat berfikir ditegaskan dalam ayat suci Al Qur’an : ‘mereka memiliki hati tapi tidak digunakan untuk berfikir’…………….Lalu kenapa hati sering terpinggirkan dalam urusan mencari kebenaran, bahkan mengapa hati sering tidak difahami sebagai alat berfikir, mengapa hasil olah berfikir hati sering dianggap ‘obyektif’ (?) semua itu bisa dan bisa difahami dan dimengerti,sebab di jagat ini ada dua kelompok yang cara berfikirnya terdidik oleh dua institusi yang berbeda,ada yang terdidik oleh agama dan ada yang terdidik oleh filsafat.agama tentu mendidik manusia untuk menggunakan seluruh potensi yang ada dalam jiwanya secara total-menyeluruh terutama hatinya.bahkan agama secara mendasar diawal lebih menekankan kepada mendidik bagaimana hati berfikir sebab hatilah yang kelak mengendalikan arah perjalanan hidup manusia,sehingga dalam agama hati dan akal dididik secara bersamaan karena akal tidak menentukan arah perjalanan hidup manusia sebab ia hanya alat-satelit bagi hati.fenomena demikian tidak terlihat dalam dunia filsafat yang lebih menekankan kepada penggunaan logika akal,sehingga konsep : ‘berfikir dengan hati’ kurang dikenal dalam wacana filsafat. itulah kekuatan ‘barat’ adalah kelebihannya dalam mengekploitasi cara berfikir sistematis ala nalar sehingga melahirkan peradaban ilmu materi (sains) yang berkembang sangat pesat,tapi kekurangannya adalah dalam hal cara berfikir dengan hati dimana hal demikian lah yang menjadi kelebihan ‘timur’.dan itulah makna bahwa ‘barat’ dan ‘timur’ sebenarnya harus berguru satu sama lain.
Mengapa banyak filosof pergi ke alam baka tanpa membawa keyakinan (?) (bisa jadi) mereka otaknya pintar tapi hatinya kurang cerdas dalam mengabstraksi apa yang ada dikepalanya.bisa kita bandingkan dengan para nabi yang bukan saja menangkap kebenaran dengan akalnya tapi terutama dengan hatinya, bukan kebenaran rasional semata tapi kebenaran essensial (hakiki) yang menyatu dengan keyakinan.
Cara berfikir akal adalah dengan berlogika atau cara berfikir sistematis-mekanistik dan cara berfikir seperti ini untuk sampai ke kebenaran yang jadi tujuan (yaitu .kebenaran rasional.) bisa lama bisa berliku liku,bisa harus melalui ribuan argumentasi.sedang cara berfikir hati adalah dengan apa yang disebut ‘pengertian’. kata ‘pengertian’ dan relasi nya dengan hati banyak sekali terdapat dalam amsal nabi Soelaiman dan puisi puisi nabi Daud yang indah menawan itu (keduanya berisi ajaran tentang kebenaran tapi bentuk kebenaran yang harus lebih banyak ditangkap oleh hati bukan oleh logika) dan amsal dan puisi nabi Daud itu pasti lahir dari cara berfikir hati nya bukan dari hasil berlogika semata. Dan cara berfikir hati ini bisa lebih cepat dan lebih tepat dari pada banyak berlogika tapi berujung atau terganjal oleh keragu raguan (Coba kalau Descartes menggunakan metode cara berfikir dengan hati….maaf  joke diluar bahasan…….). Ibarat naik mobil dari Bandung ke surabaya bisa nyampai bisa juga tidak bila jalan yang dilalui terlalu berliku liku malah bisa tersesat ke arah yang tidak dikenal. Begitulah cara berfikir melulu mengandalkan cara berfikir sistematis ala nalar belum tentu selalu membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan, malah bisa berujung dengan keragu raguan.
Bagaimana cara hati berfikir dan melahirkan sebuah keputusan bisa kita pelajari dari kisah nabi Solaeman yang berhadapan dengan dua orang wanita yang berebut anak : Al kisah ke hadapan nabi Solaeman datang dua orang wanita yang masing masing ngotot memperebutkan seorang bayi yang diakuinya sebagai anaknya. Nabi Soelaiman seorang bijak ia tidak terlalu banyak berlogika ala Aristoteles ( bisa terlalu kelamaan) maka nabi Soelaiman memerintahkan untuk membelah anak itu menjadi dua…..lalu (dari hasil keputusannya itu) diketemukanlah sebuah ‘kebenaran’ yaitu : siapa ibu dari bayi itu sebenarnya.
Begitulah dalam hidup anda juga bisa mengalami dan merasakan tidak semua keputusan benar-salah mesti lahir melulu hasil dari mengandalkan keputusan dari bernalar semata, misal : dalam keramaian ada seorang yang mendekati anda dengan gerak gerik mencurigakan secara reflek hati anda yang berfikir dan nalar akan berfikir refleks hanya bila digerakan oleh hati, tapi bila melulu menggunakan bernalar  akan kelamaan anda akan keburu jadi korban kejahatan sebelum nalar anda memberi hasil keputusan yang tepat.dan suatu saat pasti akan ada masalah dengan orang yang anda cintai apakah itu anak atau istri atau suami,apakah anda akan melulu menggunakan cara nalar berlogika tanpa menggunakan hati (?) bila melulu menggunakan nalar maka rasa cinta tidak akan menjadi pertimbangan dalam membuat keputusan.sebab cinta-kasih sayang itu tempatnya di hati bukan di otak……….masih kurang yakin bahwa hati adalah alat berfikir yang hasil keputusannya obyektif (?) coba saja latih dan pelajari sendiri toh kita sama sama memiliki hati.hanya ada hati yang peka ada yang tidak peka ada yang hatinya cerdas ada yang kurang cerdas.
Apa ‘kebenaran’ yang keluar dari nalar (?) yaitu yang kita sebut ‘kebenaran rasional’,lalu apa yang bentuk ‘kebenaran’ yang keluar dari hati (?) banyak : keyakinan,cinta kasih-sayang,rasa cinta kepada kebenaran,cinta kepada Tuhan..dan banyak lagi (semua itu ‘obyektif’ artinya ‘ada’ atau real bila kita tidak mengukurnya dengan parameter yang biasa digunakan dalam sains).apakah ‘kebenaran’ merupakan sesuatu yang selalu harus yang bisa dijelaskan oleh nalar (?) tidak selalu.kita bisa menangkap adanya suatu bentuk ‘kebenaran’ dengan ‘pengertian’ hati kita dan cara demikian terkadang lebih cepat dan lebih tepat ketimbang menelusurinya dengan metodologi Aristoteles yang bisa memakan waktu panjang rumit dan berbelit belit……hasilnya malah…………keragu raguan…..bukankah yang kita cari adalah keyakinan yang akan kita simpan dihati dan kita bawa mati (?)..
‘kebenaran’ yang ditangkap atau yang difahami atau yang keluar dari hati bersifat subyektif (?) …..kita ambil contoh : anda memutuskan untuk menikahi seseorang,dengan apa anda ‘mengukur’ dan memutuskannya apakah dengan (cara berfikir) hati atau cara berfikir nalar dan pernahkah terbersit dalam hati anda bahwa keputusan anda itu bersifat ’subyektif’ karena ia keluar dari hati anda (?)
Para nabi dan Rasul adalah orang orang yang mendeskripsikan kebenaran tidak hanya dengan nalar sebagaimana para filosof tapi juga dengan hati.sebagai contoh : nabi Isa mengajarkan ajaran yang khas yang karakteristiknya berbeda dengan yang lain yang memang harus lebih banyak ditangkap oleh pengertian hati bukan oleh pemahaman nalar.pernahkah manusia berfikir bahwa ajaran yang dikemukakan beliau itu bersifat ’subyektif’  (?)
Apakah parameter ‘obyektif’-’subyektif’ yang biasa digunakan dalam metodologi sains cocok bila digunakan untuk mengukur dan menilai obyek yang abstrak seperti ‘hati’ atau apa yang ditangkap oleh hati-apa yang keluar dari hati serta apa yang difahami oleh hati (?) bukankah itu akan seperti meteran tukang kayu didaratan yang berupaya digunakan untuk mengukur lautan nan dalam (?)
Sesuatu yang ditangkap-difahami serta keluar dari hati seperti : keimanan, cinta kasih sayang, keyakinan,cinta Ilahi,hikmat (ilmu memaknai sesuatu dg menggunakan kacamata sudut pandang Ilahiah),dan banyak lagi untuk disebut satu persatu.semua bagi orang yang memegang-meyakini atau mencari carinya adalah suatu yang ‘obyektif’ dalam artian wujud yang pasti ada nya walau itu bersifat abstrak oleh karena itu banyak orang yang mencari carinya,untuk apa manusia mencari carinya bila itu semua adalah wujud yang ’subyektif’ (maaf bila pengertian ’subyektif’ adalah ‘tidak pasti’).
Bukankah kita mengenal dan (bila memiliki hati ) bisa mengetahui dan menangkap makna kalimat : ‘menghayati’-'merenungi’-'mendalami’, semua itu menunjuk kepada adanya aktivitas cara berfikir hati dalam jiwa manusia,dan sekaligus menunjukan adanya bentuk kebenaran tertentu yang tak bisa digapai dengan cara berfikir nalar dan karena itu manusia harus menggapainya dengan cara berfikir hati.lalu apakah semua hasil perenungan dan penghayatan itu selalu bernilai ‘ subyektif ‘ atau sesuatu yang selalu memiliki derajat ‘tak pasti’  (?) lalu buat apa hati menghayati dan merenungkan hal yang memiliki derajat yang tak pasti (?) …..silahkan direnungkan……..….dan silahkan menilai sendiri karena anda pasti memiliki hati.
Hal hal yang mesti diingat adalah dalam urusan menganalisis atau meng ‘observasi’ ‘hati’.dan apapun yang keluar dari padanya jangan menggunakan metodologi yang biasa digunakan oleh metodologi cara berfikir filsafat dalam merekonstruksi apa itu nalar dan apa (kebenaran) yang keluar dari nalar itu,sebab itu akan seperti meteran tukang kayu didaratan yang berupaya digunakan untuk mengukur lautan nan dalam.
(Tulisan ini ditulis  tiada lain agar kita yakin dan mantap dengan apa yang ada dihati kita dan selalu meyakini bahwa ‘hati’ adalah raja dalam jiwa yang akan menentukan arah perjalanan hidup kita. teringat sebuah kata bijak yang mengatakan: “Akal dapat menyesatkan namun Hati tidak dapat Berhianat, Maka dengarkanlah kata Hatimu”) ^_^

Selasa, 03 Desember 2013

Aliran Sociological Jurisprudence



      Pendasar aliran ini, antara lain: Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benjamin Cardozo, Kontorowics, Gurvitch dan lain-lain. Aliran ini berkembang di Amerika, pada intinya aliran ini hendak mengatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Kata “sesuai” diartikan sebagai hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.
      Aliran Sociological Jurisprudence berbeda dengan Sosiologi Hukum. Dengan rasio demikian, Sosiologi Hukum merupakan cabang sosiologi yang mempelajari hukum sebagai gejala sosial, sedang Sociological Jurisprudence merupakan suatu mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat dan sebaliknya. Sosiologi hukum sebagai cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi hukum di samping juga diselidiki juga pengaruh sebaliknya, yaitu pengaruh hukum terhadap masyarakat. Dari 2 (dua) hal tersebut di atas (sociological jurisprudence dan sosiologi hukum) dapat dibedakan cara pendekatannya. Sociological jurisprudence, cara pendekatannya bertolak dari hukum kepada masyarakat, sedang sosiologi hukum cara pendekatannya bertolak dari masyarakat kepada hukum.
      Roscoe Pound menganggap bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial (Law as a tool of social engineering and social controle) yang bertujuan menciptakan harmoni dan keserasian agar secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat. Keadilan adalah lambang usaha penyerasian yang harmonis dan tidak memihak dalam mengupayakan kepentingan anggota masyarakat yang bersangkutan. Untuk kepentingan yang ideal itu diperlukan kekuatan paksa yang dilakukan oleh penguasa negara.
      Pendapat/pandangan dari Roscoe Pound ini banyak persamaannya dengan aliran Interessen Jurisprudence. Primat logika dalam hukum digantikan dengan primat “pengkajian dan penilaian terhadap kehidupan manusia (Lebens forschung und Lebens bewertung), atau secara konkritnya lebih memikirkan keseimbangan kepentingan-kepentingan (balancing of interest, private as well as public interest).
      Roscoe Pound juga berpendapat bahwa living law merupakan synthese dari these positivisme hukum dan antithese mazhab sejarah. Maksudnya, kedua liran tersebut ada kebenarannya. Hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian akal agar dapat hidup terus. Yang menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum itu hanyalah pernyataan-pernyataan akal yang terdiri dari atas pengalaman dan diuji oleh pengalaman. Pengalaman dikembangkan oleh akal dan akal diuji oleh pengalaman. Tidak ada sesuatu yang dapat bertahan sendiri di dalam sistem hukum. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-undang atau mensahkan undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu.
            Sementara Eugen Ehrlich; Penulis yang pertama kali menyandang judul sosiologi hukum (Grundlegung der Soziologie des Recht, 1912). Menurut Ehrlich pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak terletak pada perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, tetapi di dalam masyarakat sendiri. Ajaran berpokok pada pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup, atau dengan kata lain pembedaan antara kaidah-kaidah hukum dgn kaidah-kaidah sosial lainnya.
Hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

ALIRAN UTILARISME


Mengapa dikatakan “utilitarianisme”? karena utilitarianisme berasal dari kata “utility” bermanfaat, berguna. Maka istilah inipun kemudian ditemukan dalam tujuan hukum yakni “kemanfaatan”. Maka tujuan hukum disamping keadilan dalam pencapaian tujuan filsufisnya, adalah juga harus bermanfaat, sebagaimana yang diharapkan oleh Jeremey Bentham (1748-1832) “The Gretest Happiness of the Greates Number”
Maksud dari Bentham mengemukakan ide tersebut tidak lain memandang bahwa ukuran baik-buruk suatu perbuatan manusia tergantung kepada apakah perbuatan itu mengandung kebahagiaan atau tidak. Sebagai salah ilustrasi yang ditawarkan Bentham (M.P Golding, 1978:75) suatu pemidanaan harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan dan betapa kerasnya pidan itu tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya dapat diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar.
Pendapat yang hampir sama dengan Bentham adalah John Stuart Mill (1806-1873), namun Mill malah memodifikasi maksud “happiness” itu bahwa kebahagiaan sebagai salah satu sumber kesadaran keadilan tidak hanya terletak pada asas ‘kemanfaatan” semata, melainkan rangsangan dalam rangka mempertahankan diri dan perasaan simpati.
Sebagaimana dikemukakan oleh Bodenheimer (1974: 88) menguraikan pandangan Mill, keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita. Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan individual, melainkan lebih luas dari itu, sampai kepada orang lain yang kita samakan dengan diri kita sendiri. Hakikat keadilan mencakup semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan manusia.
Pendapat Bentham dapat diklasifikasikan sebagai utilitarianisme individual, sedangkan Rudolf Von Jhering (1818-1889) kemudian menganut utilitarianisme sosial. Jika diamati rangkain teori Jhering merupakan kombinasi pemikiran tiga pemikir dalam aliran pemikiran ilmu hukum yakni Bentham, Mill dan John Austin sebagaimana ia menolak anggapan aliran sejarah yang berpendapat, hukum adalah hasil kekuatan-kekuatan historis murni yang direncanakan dan tidak disadari. Menurut Jhering, hukum mesti dibuat oleh negara atau dasar sepenuhnya untuk mencapai tujuan tertentu.

Senin, 02 Desember 2013

ALIRAN SEJARAH (MAZHAB HISTORIS)



A. Awal Lahirnya Mazhab Sejarah

Abad kesembilan belas merupakan masa keemasan bagi lahirnya ide-ide baru dan gerakan intelaktual dimana manusia mulai menyadari kemampuannya untuk merubah keadaan dalam semua lapangan kehidupan. Kesadaran tersebut telah membawa perubahan cara pandang dalam melihat eksistensi manusia. Pada masa ini manusia dipandang sebagai wujud dinamis yang senantiasa berkembang dalam lintasan sejarah.

Dibidang hukum, abad kesembilan belas dapat dikatakan sebagai tonggak lahirnya berbagai macam aliran atau mazhab hukum yang pengaruhnya bisa dirasakan sampai saat ini. Aliran atau mazhab hukum yang lahir pada masa ini secara sederhana dapat diklasifikasi menjadi tiga aliran yaitu : mazhab positivisme, mazhab utilitarianisme dan mazhab historis atau sejarah.

Dalam rentang sejarah, perkembangan aliran pemikiran hukum sangat tergantung dari aliran pemikiran hukum sebelumnya, sebagai sandaran kritik dalam rangka membangun kerangka teoritik berikutnya. Disamping itu kelahiran satu aliran sangat terkait dengan kondisi lingkungan tempat suatu aliran itu pertama kali muncul. Dengan kata lain lahirnya satu aliran atau mazhab hukum dapat dikatakan sebagai jawaban fundamental terhadap kondisi kekinian pada zamannya. Sebagai contoh dapat dikemukakan kritik positivisme dan aliran sejarah terhadap aliran hukum alam atau kritik kaum realis terhadap positivistik. Demikian juga halnya dengan kritik yang ditujukan oleh postmodernisme terhadap kemapanan modernisme.

Kelahiran mazhab sejarah dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny (1779-1861) melalui tulisannya yang berjudul Von Beruf unserer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtwissenschaft (Tentang Pekerjaan pada Zaman Kita di Bidang Perundang-undangan dan Ilmu Hukum), di pengaruhi oleh dua faktor yaitu pertama ajaran Montesqueu dalam bukunya “L’ esprit des Lois” dan pengaruh faham nasionalisme yang mulai timbul pada awal abad ke 19. Disamping itu, munculnya aliran ini juga merupakan reaksi langsung dari pendapat Thibaut yang menghendaki adanya kodifikasi hukum perdata Jerman yang didasarkan pada hukum Prancis (Code Napoleon). Kedua pengaruh tersebut bisa digambarkan sebagai berikut:

Menurut Friedmann Aliran ini juga memberikan aksi tertentu terhadap dua kekuatan besar yang berkuasa pada zamannya. Kedua hal tersebut menurut Friedmann adalah :
1.    Rasionalisme dari abad 18 dengan kepercayaan terhadap hukum alam, kekuasaan akal dan prinsip-prinsip pertama yang semuanya dikombinasikan untuk meletakkan suatu teori hukum dengan cara deduksi dan tanpa memandang fakta historis, cirri khas nasional, dan kondisi sosial;
2.   Kepercayaan dan semangat revolusi Prancis dengan pemberontakannya terhadap tradisi, kepercayaan pada akal dan kekuasaan kehendak manusia atas keadaan-keadaan zamannya.

Sedangkan Lili Rasjidi mengatakan kelahiran alairan/mazhab sejarah merupakan reaksi tidak lansung dari terhadap aliran hukum alam dan aliran hukum positif.

Hal pertama yang mempengaruhi lahirnya mazhab sejarah adalah pemikran Montesqueu dalam bukunya “L’ esprit des Lois” yang mengatakan tentang adanya keterkaitan antara jiwa suatu bangsa dengan hukumnya.

Menurut W. Friedman gagasan yang benar-benar penting dari L’esprit des Lois adalah tesis bahwa hukum walaupun secara samar didasarkan atas beberapa prinsip hukum alam mesti dipengaruhi oleh lingkungan dan keadaan seperti: iklim, tanah, agama, adat-kebiasaan, perdagangan dan lain sebagainya. Berangkat dari ide tersebut Montesqueu kemudian melakukan studi perbandingan mengenai undang-undang dan pemerintahan.

Seperti yang telah diuraikan diatas, selain dipengaruhi oleh pemikiran Montesque lahirnya mazhab sejarah juga banyak dipengaruhi oleh semangat nasionalisme Jerman yang mulai muncul pada awal abad 19. Dengan memanfaatkan moment (semangat nasionalisme), Savigny menyarankan penolakan terhadap gagasan Tibhaut tentang kodifikasi hukum yang tersebar dalam pamfletnya “Uber Die Notwetdigkeit Eines Allgemeinen Burgerlichen Rechts Fur Deutschland” (Keperluan akan adanya kodefikasi hukum perdata negara Jerman).

Dalam suasana demikian, Savigny mendapatkan “Lahan subur” untuk membumikan ajarannya yang mengatakan bahwa ‘hukum itu tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Dan oleh karenanya setiap bangsa memiliki “volgeist” (jiwa rakyat) yang berbeda, maka hukum suatu negara tidak dapat diterapkan bagi negara lain, meskipun negara lain itu adalah bekas penjajahnya. Dalam kaitan inilah kemudian Savigny mengatakan, adalah tidak masuk akal jika terdapat hukum yang berlaku universal pada semua waktu. Hukum yang sangat tergantung atau bersumber kepada jiwa rakyat tersebut dan yang menjadi isi dari hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah).

B. Inti Ajaran Mazhab Historis

Inti ajaran Madzab Sejarah yang didirikan oleh Savigny ini terdapat dalam bukunya ‘von Beruf Ungerer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtswissenschaft (Tentang Tugas Zaman Kita Bagi Pembentuk Undang-undang dan Ilmu Hukum). antara lain dikatakan:

‘Das Recht wird nicht gemacht. est ist und wird mit dem volke (Hukum itu tidak dibuat. tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat)

Ajaran Savigny tersebut dilatarbelakangi oleh suatu pandangannya yang mengatakan bahwa didunia ini terdapat banyak bangsa dan pada tiap bangsa mempunyai Volkgeist /jiwa rakyat. Perbedaan ini juga sudah barang tentu berdampak pada perbedaan hukum yang disesuaikan dengan tempat dan waktu. Hukum sangat bergantung atau bersumber pada jiwa rakyat dan isi hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa.

Hukum menurut pendapat Savigny berkembang dari suatu masyarakat yang sederhana yang pencerminannya tampak dalam tingkah laku semua individu kepada masyarakat yang modern dan kompleks dimana kesadaran hukum rakyat itu tampak pada apa yang diucapkan oleh para ahli hukumnya.

Pokok-pokok ajaran madzab historis yang diuraikan Savigny dan beberapa pengikutnya dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Hukum ditemukan tidak dibuat. Pertumbuhan hukum pada dasarnya adalah proses yang tidak disadari dan organis;oleh karena itu perundang-undangan adalah kurang penting dibandingkan dengan adat kebiasaan.

2. Karena hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang mudah dipahami dalam masyarakat primitif ke hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern kesadaran umum tidak dapat lebih lama lagi menonjolkan dirinya secara langsung, tetapi disajikan oleh para ahli hukum yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara teknis. Tetapi ahli hukum tetap merupakan suatu organ dari kesadaran umum terikat pada tugas untuk memberi bentuk pada apa yang ia temukan sebagai bahan mentah (Kesadaran umum ini tampaknya oleh Scholten disebut sebagai kesadaran hukum). Perundang-undangan menyusul pada tingkat akhir; oleh karena ahli hukum sebagai pembuat undang-undang relatif lebih penting daripada pembuat undang-undang.

3. Undang-undang tidak dapat berlaku atau diterapkan secara universal. Setiap masyarakat mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa adat-istiadat dan konstitusi yang khas. Savigny menekankan bahwa bahasa dan hukum adalah sejajar juga tidak dapat diterapkan pada masyarakat lain dan daerah-daerah lain. Volkgeist dapat dilihat dalam hukumnya oleh karena itu sangat penting untuk mengikuti evolusi volkgeist melalui penelitian hukum sepanjang sejarah.
Dalam perkembangannya, mazhab sejarah ini mengalami modifikasi oleh pengikutnya Maine mengetengahkan teorinya yang mengatakan bahwa hukum berkembang dari bentuk status ke kontrak, sejalan dengan perkembangan masyarakat dari sederhana ke masyarakat kompleks dan modern. Pada masyarakat modern hubungan antara para anggota masyarakat dilakukan atas dasar sistem hak dan kewajiban yang tertuang dalam bentuk suatu kontrak yang dibuat secara sadar dan sukarela oleh pihak-pihak yang berkenaan.

Dengan demikian, Maine sebenarnya tidak menerima konsep Volkgeist Savigny yang dianggapnya sebagai suatu konsep yang diselibungi mistik. Maine justru mengembangkan suatu tesis yang mengatakan bahwa perjalanan masyarakat menjadi progresif disitu terlihat adanya perkembangan situasi yang ditentukan oleh status kepada pengguna kontrak

Selanjutnya Maine mengatakan tentang adanya masyarakat yang statis dan progresif. Masyarakat yang statis adalah masyarakat yang mampu mengembangkan hukum sendiri melalui melalui 3 cara, yaitu: fiksi, equity, dan perundang-undangan. Pandangan terakhir inilah yang oleh beberapa penulis hukum digunakan untuk membedakan Maine dengan Savigny. Tampaknya Maine tidak mengesampingkan peranan perundangan dan kodefikasi dalam pengembangan hukum pada masyarakat yang telah maju.

C. Pengaruh Aliran Historis Dalam Konteks Indonesia

Banyak teori yang dimunculkan oleh ahli hukum untuk mencoba menemukan dan menggagas ide tentang pengembanan hukum termasuk didalamnya pembentukan atau pembaharuan hukum. Masing-masing teori berupaya mengajukan argumentasi atas pendapatnya dengan menonjolkan keunggulan dari teori yang telah mereka bangun. Biasanya suatu teori lahir sebagai akibat atau reaksi terhadap teori yang mendahuluinya. Reaksi tersebut bisa berupa penolakan dan bisa juga justru memberikan dasar pijakan yang lebih kuat terhadap teori sebelumnya.

Kelebihan pemikiran hukum dari madzab sejarah adalah sikap tegas yang mengatakan bahwa hukum itu merupakan derivasi nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat. Dalam kaitan itu dapat diasumsikan bahwa hukum yang demikian akan mempunyai daya berlaku sosiologis. Oleh karena hukum pasti sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Tegasnya, satu-satunya sumber hukum menurut madzab ini adalah kesadaran hukum suatu bangsa. Selanjutnya, kebaikan madzab ini adalah ditempatkannya kedudukan hukum kebiasaan sejajar dengan undang-undang tertulis. Sikap semacam ini dapat mencegah kepicikan orang akan wujud hukum yang utuh.

Di Indonesia pengaruh ajaran madzab sejarah sangat dirasakan, yakni dengan lahirnya cabang ilmu hukum baru yang dikenal sebagai hukum adat, yang dipelopori oleh Van Vollenhoven, Ter Haar serta tokoh-tokoh hukum adat lainnya. Demikian juga bagi para ahli sosiologi, saran Savigny memperteguh keyakinan mereka bahwa antara sistem hukum dan sistem sosial lainnya terdapat hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Keyakinan semacam itu akan menghasilkan suatu produk hukum yang akan memiliki daya berlaku sosiologis.

Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa bagi Indonesia, pemikiran dan sikap madzab ini terhadap hukum telah memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan (” preservation”) hukum adat sebagai pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan (asli) penduduk pribumi dan mencegah terjadinya “pembaratan” (westernisasi) yang terlalu cepat, kalau tidak hendak dikatakan berhasil mencegahnya samasekali, kecuali bagi sebagian kecil golongan pribumi.

Dalam konteks kekinian, lahirnya gerakan pemikiran hukum yang mengarah pada pengoptimalisasian fungsi lembaga mediasi yang ada dilevel masyarakat grass root secara tidak langsung dapat dikatakan sebagai pengaruh tidak langsung mazhab sejarah bagi pemikiran hukum di Indonesia. Di Nusa Tenggara Barat gerakan ini mulai diawali di desa Lebah Sempaga dan Desa Bagu yang telah membuat Balai Mediasi Desa yang sudah mengarah kepada penggalian budaya dan kebiasaan masyarakat.

Akan tetapi pemikiran hukum madzab ini juga mengandung beberapa kelemahan yakni:
-          tidak diberikannya tempat bagi ketentuan yang sifatnya tertulis (peraturan perundang-undangan);
-          konsepsinya tentang kesadaran hukum sifatnya sangat abstrak serta konsepsinya tentang jiwa rakyat tidak memuaskan banyak pihak;
-          inkonsistensi sikap mengenai hukum yang terbaik bagi suatu bangsa.

Masing-masing kelemahan tersebut akan diuraiakan sebagai berikut

1. Tidak diberikannya tempat bagi ketentuan yang sifatnya tertulis (peraturan perundang-undangan);

Hukum dalam konsepsi mazhab sejarah adalah kebiasaan tidak tertulis yang hidup ditengah masyarakat sebagai pengejawantahan nilai yang ada pada komunitas mereka. Dengan demikian, satu-satunya sumber hukum menurut madzab ini adalah kesadaran hukum masyarakat. Konkretisasi dari kesadaran hukum tersebut sebagai norma yang mengikat masyarakatnya tampak pada aturan-aturan tidak tertulis.
Bagi masyarakat modern dengan kompleksitas permasalahannya, sangat tidak mungkin pengaturan tertib sosial dengan aturan tidak tertulis, apalagi dalam jumlah yang banyak. Jika masyarakat modern (yang jumlahnya tidak sedikit) menggunakan aturan tidak tertulis dalam mengatur kebutuhan dan kepentingan dalam tata pergaulannya pada masyarakat, maka dapat dibayangkan akan tercipta suatu ketidakpastian hukum. 0leh karena, sebagaimana pandangan madzab ini, proses konkretisasi kesadaran umum kesadaran hukum sebagai pedoman dalam melakukan tindakan hukum membutuhkan ahli hukum yang setia sebagai abdi kesadaran umum/kesadaran hukum. Ahli hukum itulah kemudian memformulasikan kesadaran umum/kesadaran hukum yang diamatinya menjadi aturan-aturan tidak tertulis itu. Oleh karena itu, apa yang menjadi ucapan ahli hukum dianggap terjemahan dari jiwa masyarakat.

2. Konsepsinya tentang kesadaran hukum sifatnya sangat abstrak serta konsepsinya tentang jiwa rakyat tidak memuaskan banyak pihak;
Menurut pandangan madzab sejarah kesadaran hukum masyarakat bukanlah merupakan pertimbangan rasional. tetapi berkembang dan dipengaruhi oleh pelbagai faktor, yaitu agama, ekonomi, politik, dan sebagainya. Pandangan ini selalu berubah. oleh karena itu hukum pun selalu tidak sama (namun, bukan karena mengalami perubahan). Konsekuensinya. tidak ada ukuran tentang isi hukum yang berlaku obyektif yang dapat diterima setiap orang secara ilmiah.
Selanjutnya ajaran savigny mengenai fungsi dan perkembangan hukum terkait dengan konsep jiwa masyarakat dalam madzab ini tidak dapat menunjukkan secara jelas bagaimana isi dan ruang lingkupnya. sehingga amat sulit melihat fungsi dan perkembangannya sebagai sumber utama hukum menurut madzab ini.

3. Inkonsistensi sikap mengenai hukum yang terbaik bagi suatu bangsa.
Savigny menyebutkan bahwa hukum yang baik adalah yang bersumber dari jiwa rakyat tetapi dalam sebuah tulisannya yang lain, yang membahas tentang Hukum Romawi, dia mengatakan bahwa Hukum Romawi merupakan hukum terbaik  Studi Savigny yang mendalam atas Hukum Romawi menjelaskan pada dirinya bahwa perkembangan Hukum Romawi merupakan contoh penuntun hukum yang bijaksana yang membentuk hukum melalui adaptasi bertahap bagi zaman-zaman sebelum “corpus yuris” membentuk kodefikasi yang final
Ada dua hal yang tersirat dari uraian di atas, yakni:
a. ketidakjelasan makna dan fungsi jiwa rakyat;
b. kodefikasi merupakan “tindakan final” dari suatu upaya memformulasikan hukum, yang berarti akhirnya, sikap anti anti Savigny terhadap kodefikasi tampaknya sudah diperluwes.