Kita
semua diciptakan oleh Tuhan dalam wujud yang sama dengan peralatan yang
sama,baik itu peralatan fisik maupun peralatan jiwa. kita sama sama diberi oleh
Tuhan hati dan akal, akal merujuk kepada adanya karakter
cara berfikir sistematis-mekanistis sehingga melalui akal manusia manusia bisa
merumuskan segala suatu secara konseptual,misal bila manusia melihat
ketertataan alam semesta maka logika akalnya akan menangkap adanya desainer
dibalik ketertataan itu,karena akal akan bisa membuat rumusan bahwa ketertataan
adalah suatu yang mustahil bila lahir dari kebetulan.itulah salah satu cara akal
dalam menangkap adanya kebenaran yaitu menggunakan prinsip ‘rasionalitas’, dengan menggunakan kacamata sudut
pandang akal nya manusia bisa memilah mana yang rasional dan mana yang tidak
rasional.
(Lalu bagaimana dengan banyaknya saintis ’super pinter’ yang menolak
adanya desainer dibalik ketertataan alam semesta (?) saya jawab : kepinteran
bukan jaminan orang pinter menggunakan logika akalnya, sebab godaan besar orang pinter ialah ia sering tergoda masuk
ke rimba pemikiran spekulatif dan pemikiran spekulatif (cara berfikir yang tidak tertata)
tentu beda jauh dengan cara berfikir rasional (cara berfikir yang tertata
secara sistematis.).sebab itu terkadang logika akal seorang tukang angon
kambing jauh lebih cerdas ketimbang ilmuwan kelas dunia, Coba tanya kepada beliau (tukang angon kambing) : apakah
ketertataan alam semesta bisa lahir dari kebetulan (?) maka beliau pasti akan menjawab
: 100 persen mustahil !
Nah ada alat berfikir lain dalam jiwa manusia yang baik
kapasitas memori nya maupun kekuatan dan kecerdasannya melampaui nalar yaitu : hati. Bila kita mengacu kepada kitab
suci dan al hadits maka kita akan mengetahui identitas pasti dari hati yaitu :
raja dalam jiwa.dan gelar itu pantas disandang oleh hati sebab seluruh
aktivitas berfikir manusia baik itu orang beriman atau orang tidak beriman
ujungnya bermuara ke dalam hati.dalam hati seluruh hasil olah fikir itu
diabstraksikan menjadi keyakinan-keyakinan atau keraguan-keraguan.sebab itu
bila orang menunjuk : dimana adanya keyakinan (?) maka siapapun akan mengatakan
: dalam hati, tidak ada yang akan menunjuk ke kepalanya.sebab itu karena hati
adalah raja maka akal pun sebenarnya berada dibawah kendali hati,bila hati
seseorang berniat dan bertujuan baik maka kecerdasan akal nya akan digunakan
untuk hal hal yang baik,sebaliknya bila hati seseorang berniat buruk-jahat maka
kecerdasan akalnya akan digunakan untuk hal hal yang buruk dan salah,(pernah
melihat maling cerdas ? nah perbuatan buruknya itu dikendalikan oleh hatinya
bukan oleh akalnya)
‘Hati’ sebagai alat berfikir ditegaskan dalam ayat suci
Al Qur’an : ‘mereka memiliki hati tapi tidak digunakan untuk berfikir’…………….Lalu
kenapa hati sering terpinggirkan dalam urusan mencari kebenaran, bahkan mengapa
hati sering tidak difahami sebagai alat berfikir, mengapa hasil olah berfikir
hati sering dianggap ‘obyektif’ (?) semua itu bisa dan bisa difahami dan
dimengerti,sebab di jagat ini ada dua kelompok yang cara berfikirnya terdidik
oleh dua institusi yang berbeda,ada yang terdidik oleh agama dan ada yang
terdidik oleh filsafat.agama tentu mendidik manusia untuk menggunakan seluruh
potensi yang ada dalam jiwanya secara total-menyeluruh terutama hatinya.bahkan
agama secara mendasar diawal lebih menekankan kepada mendidik bagaimana hati
berfikir sebab hatilah yang kelak mengendalikan arah perjalanan hidup
manusia,sehingga dalam agama hati dan akal dididik secara bersamaan karena akal
tidak menentukan arah perjalanan hidup manusia sebab ia hanya alat-satelit bagi
hati.fenomena demikian tidak terlihat dalam dunia filsafat yang lebih
menekankan kepada penggunaan logika akal,sehingga konsep : ‘berfikir dengan
hati’ kurang dikenal dalam wacana filsafat. itulah kekuatan ‘barat’ adalah
kelebihannya dalam mengekploitasi cara berfikir sistematis ala nalar sehingga
melahirkan peradaban ilmu materi (sains) yang berkembang sangat pesat,tapi
kekurangannya adalah dalam hal cara berfikir dengan hati dimana hal demikian
lah yang menjadi kelebihan ‘timur’.dan itulah makna bahwa ‘barat’ dan ‘timur’
sebenarnya harus berguru satu sama lain.
Mengapa
banyak filosof pergi ke alam baka tanpa membawa keyakinan (?) (bisa jadi)
mereka otaknya pintar tapi hatinya kurang cerdas dalam mengabstraksi apa yang
ada dikepalanya.bisa kita bandingkan dengan para nabi yang bukan saja menangkap
kebenaran dengan akalnya tapi terutama dengan hatinya, bukan kebenaran rasional semata tapi kebenaran essensial
(hakiki) yang menyatu dengan keyakinan.
Cara berfikir akal adalah dengan berlogika atau cara
berfikir sistematis-mekanistik dan cara berfikir seperti ini untuk sampai ke
kebenaran yang jadi tujuan (yaitu .kebenaran rasional.) bisa lama bisa berliku
liku,bisa harus melalui ribuan argumentasi.sedang cara berfikir hati adalah
dengan apa yang disebut ‘pengertian’. kata ‘pengertian’ dan relasi nya dengan
hati banyak sekali terdapat dalam amsal nabi Soelaiman dan puisi puisi nabi
Daud yang indah menawan itu (keduanya berisi ajaran tentang kebenaran tapi
bentuk kebenaran yang harus lebih banyak ditangkap oleh hati bukan oleh logika)
dan amsal dan puisi nabi Daud itu pasti lahir dari cara berfikir hati nya bukan
dari hasil berlogika semata. Dan cara berfikir hati ini bisa lebih cepat dan
lebih tepat dari pada banyak berlogika tapi berujung atau terganjal oleh keragu
raguan (Coba kalau Descartes menggunakan metode cara berfikir dengan
hati….maaf joke diluar bahasan…….). Ibarat naik mobil dari Bandung ke
surabaya bisa nyampai bisa juga tidak bila jalan yang dilalui terlalu berliku
liku malah bisa tersesat ke arah yang tidak dikenal. Begitulah cara berfikir
melulu mengandalkan cara berfikir sistematis ala nalar belum tentu selalu
membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan, malah bisa berujung dengan keragu
raguan.
Bagaimana cara hati berfikir dan melahirkan sebuah
keputusan bisa kita pelajari dari kisah nabi Solaeman yang berhadapan dengan
dua orang wanita yang berebut anak : Al kisah ke hadapan nabi Solaeman
datang dua orang wanita yang masing masing ngotot memperebutkan seorang bayi
yang diakuinya sebagai anaknya. Nabi Soelaiman seorang bijak ia tidak terlalu
banyak berlogika ala Aristoteles ( bisa terlalu kelamaan) maka nabi Soelaiman
memerintahkan untuk membelah anak itu menjadi dua…..lalu (dari hasil
keputusannya itu) diketemukanlah sebuah ‘kebenaran’ yaitu : siapa ibu dari bayi
itu sebenarnya.
Begitulah dalam hidup anda juga bisa mengalami dan
merasakan tidak semua keputusan benar-salah mesti lahir melulu hasil dari
mengandalkan keputusan dari bernalar semata, misal : dalam keramaian ada
seorang yang mendekati anda dengan gerak gerik mencurigakan secara reflek hati
anda yang berfikir dan nalar akan berfikir refleks hanya bila digerakan oleh
hati, tapi bila melulu menggunakan bernalar akan kelamaan anda akan keburu jadi korban
kejahatan sebelum nalar anda memberi hasil keputusan yang tepat.dan suatu saat
pasti akan ada masalah dengan orang yang anda cintai apakah itu anak atau istri
atau suami,apakah anda akan melulu menggunakan cara nalar berlogika tanpa
menggunakan hati (?) bila melulu menggunakan nalar maka rasa cinta tidak akan
menjadi pertimbangan dalam membuat keputusan.sebab cinta-kasih sayang itu
tempatnya di hati bukan di otak……….masih kurang yakin bahwa hati adalah alat
berfikir yang hasil keputusannya obyektif (?) coba saja latih dan pelajari
sendiri toh kita sama sama memiliki hati.hanya ada hati yang peka ada yang
tidak peka ada yang hatinya cerdas ada yang kurang cerdas.
Apa ‘kebenaran’ yang keluar dari nalar (?) yaitu yang kita sebut ‘kebenaran rasional’,lalu apa yang bentuk ‘kebenaran’ yang keluar dari hati (?) banyak : keyakinan,cinta kasih-sayang,rasa cinta kepada kebenaran,cinta kepada Tuhan..dan banyak lagi (semua itu ‘obyektif’ artinya ‘ada’ atau real bila kita tidak mengukurnya dengan parameter yang biasa digunakan dalam sains).apakah ‘kebenaran’ merupakan sesuatu yang selalu harus yang bisa dijelaskan oleh nalar (?) tidak selalu.kita bisa menangkap adanya suatu bentuk ‘kebenaran’ dengan ‘pengertian’ hati kita dan cara demikian terkadang lebih cepat dan lebih tepat ketimbang menelusurinya dengan metodologi Aristoteles yang bisa memakan waktu panjang rumit dan berbelit belit……hasilnya malah…………keragu raguan…..bukankah yang kita cari adalah keyakinan yang akan kita simpan dihati dan kita bawa mati (?)..
Apa ‘kebenaran’ yang keluar dari nalar (?) yaitu yang kita sebut ‘kebenaran rasional’,lalu apa yang bentuk ‘kebenaran’ yang keluar dari hati (?) banyak : keyakinan,cinta kasih-sayang,rasa cinta kepada kebenaran,cinta kepada Tuhan..dan banyak lagi (semua itu ‘obyektif’ artinya ‘ada’ atau real bila kita tidak mengukurnya dengan parameter yang biasa digunakan dalam sains).apakah ‘kebenaran’ merupakan sesuatu yang selalu harus yang bisa dijelaskan oleh nalar (?) tidak selalu.kita bisa menangkap adanya suatu bentuk ‘kebenaran’ dengan ‘pengertian’ hati kita dan cara demikian terkadang lebih cepat dan lebih tepat ketimbang menelusurinya dengan metodologi Aristoteles yang bisa memakan waktu panjang rumit dan berbelit belit……hasilnya malah…………keragu raguan…..bukankah yang kita cari adalah keyakinan yang akan kita simpan dihati dan kita bawa mati (?)..
‘kebenaran’
yang ditangkap atau yang difahami atau yang keluar dari hati bersifat subyektif
(?) …..kita ambil contoh : anda memutuskan untuk menikahi seseorang,dengan apa
anda ‘mengukur’ dan memutuskannya apakah dengan (cara berfikir) hati atau cara
berfikir nalar dan pernahkah terbersit dalam hati anda bahwa keputusan anda itu
bersifat ’subyektif’ karena ia keluar dari hati anda (?)
Para
nabi dan Rasul adalah orang orang yang mendeskripsikan kebenaran tidak hanya
dengan nalar sebagaimana para filosof tapi juga dengan hati.sebagai contoh :
nabi Isa mengajarkan ajaran yang khas yang karakteristiknya berbeda dengan yang
lain yang memang harus lebih banyak ditangkap oleh pengertian hati bukan oleh
pemahaman nalar.pernahkah manusia berfikir bahwa ajaran yang dikemukakan beliau
itu bersifat ’subyektif’ (?)
Apakah
parameter ‘obyektif’-’subyektif’ yang biasa digunakan dalam metodologi sains
cocok bila digunakan untuk mengukur dan menilai obyek yang abstrak seperti
‘hati’ atau apa yang ditangkap oleh hati-apa yang keluar dari hati serta apa
yang difahami oleh hati (?) bukankah itu akan seperti meteran tukang kayu
didaratan yang berupaya digunakan untuk mengukur lautan nan dalam (?)
Sesuatu
yang ditangkap-difahami serta keluar dari hati seperti : keimanan, cinta kasih
sayang, keyakinan,cinta Ilahi,hikmat (ilmu memaknai sesuatu dg menggunakan
kacamata sudut pandang Ilahiah),dan banyak lagi untuk disebut satu
persatu.semua bagi orang yang memegang-meyakini atau mencari carinya adalah
suatu yang ‘obyektif’ dalam artian wujud yang pasti ada nya walau itu bersifat
abstrak oleh karena itu banyak orang yang mencari carinya,untuk apa manusia mencari
carinya bila itu semua adalah wujud yang ’subyektif’ (maaf bila pengertian
’subyektif’ adalah ‘tidak pasti’).
Bukankah
kita mengenal dan (bila memiliki hati ) bisa mengetahui dan menangkap makna
kalimat : ‘menghayati’-'merenungi’-'mendalami’, semua itu menunjuk kepada
adanya aktivitas cara berfikir hati dalam jiwa manusia,dan sekaligus menunjukan
adanya bentuk kebenaran tertentu yang tak bisa digapai dengan cara berfikir
nalar dan karena itu manusia harus menggapainya dengan cara berfikir hati.lalu
apakah semua hasil perenungan dan penghayatan itu selalu bernilai ‘ subyektif ‘
atau sesuatu yang selalu memiliki derajat ‘tak pasti’ (?) lalu buat apa
hati menghayati dan merenungkan hal yang memiliki derajat yang tak pasti (?)
…..silahkan direnungkan……..….dan silahkan menilai sendiri karena anda pasti
memiliki hati.
Hal hal yang mesti diingat adalah dalam urusan menganalisis atau meng ‘observasi’ ‘hati’.dan apapun yang keluar dari padanya jangan menggunakan metodologi yang biasa digunakan oleh metodologi cara berfikir filsafat dalam merekonstruksi apa itu nalar dan apa (kebenaran) yang keluar dari nalar itu,sebab itu akan seperti meteran tukang kayu didaratan yang berupaya digunakan untuk mengukur lautan nan dalam.
Hal hal yang mesti diingat adalah dalam urusan menganalisis atau meng ‘observasi’ ‘hati’.dan apapun yang keluar dari padanya jangan menggunakan metodologi yang biasa digunakan oleh metodologi cara berfikir filsafat dalam merekonstruksi apa itu nalar dan apa (kebenaran) yang keluar dari nalar itu,sebab itu akan seperti meteran tukang kayu didaratan yang berupaya digunakan untuk mengukur lautan nan dalam.
(Tulisan ini ditulis tiada lain agar kita yakin dan mantap dengan
apa yang ada dihati kita dan selalu meyakini bahwa ‘hati’ adalah raja dalam
jiwa yang akan menentukan arah perjalanan hidup kita. teringat sebuah kata
bijak yang mengatakan: “Akal dapat menyesatkan namun Hati tidak dapat
Berhianat, Maka dengarkanlah kata Hatimu”) ^_^