A. PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Penulisan Makalah
Untuk memenuhi tugas, penulis menyajikan makalah yang berjudul “Manusia,
Moralitas dan Hukum”. Makalah ini membahas mengenai konsep-konsep moral dalam
hukum dan penerapan dalam kehidupan manusia bermasyarakat dan bernegara untuk
menciptakan sepremasi hukum. Melihat penerapan penegakan hukum Indonesia masih
belum sesuai dengan undang-undang maka diperlukan suatu perbaikan mengarah pada
moralitas masyarakat, serta dibutuhkan suatu kontrol nurani bagi semua warga
negara khususnya bagi penegak hukum yang semakin leluasa menguasai keadilan
negara ini. Melihat hal itu maka kami sebagai penulis menyusun sepatah dan
beberapa pendapat mengenai Manusia, Moralitas dan Hukum.
2.
Perumusan Makalah
- Apa perbedaan, penciptaan serta hubungan hukum dan
moralitas ?
- Bagaimana mensinergikan hukum dan moral dalam
menegakkan keadilan ?
- Bagaimana Potret Hukum dan Moralitas Bangsa Kita,
jelaskan ?
- Bagaimana cara memperbaiki kontrol nurani bagi penegak
hukum ?
3.
Tujuan Penulisan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas,
maka di peroleh tujuan Penulisan Makalah ini sebagai berikut :
- Menjelaskan perbedaan hukum dan moralitas serta tujuan
penciptaannya serta hubungannya.
- Mendiskripsikan sinergi hukum dan moral dalam
menegakkan undang-undang berdasarkan moralitas masyarakat.
- Memberi gambaran mengenai Problem Moral Penegak Hukum.
- Menyebutkan cara kontrol nurani bagi penegak hukum
menurut Aristoteles.
B.
PEMBAHASAN1.
Hukum dan Moralitas
Achmad Ali menyatakan hukum adalah
seperangkat norma tentang apa yang benar dan apa yang salah, yang dibuat dan
diakui eksistensinya oleh pemerintah yang dituangkan baik dalam aturan tertulis
(peraturan) maupun yang tidak tertulis yang mengikat dan sesuai dengan
kebutuhan masyarakatnya secara keseluruhan dan dengan ancaman sanksi bagi
pelanggar aturan tersebut. Hukum harus mencakup tiga unsur, yaitu kewajiban,
moral dan aturan. Istilah moralitas kita kenal secara umum sebagai suatu sistem
peraturan-peraturan perilaku sosial, etika hubungan antar-orang.
Hukum diciptakan dengan tujuan yang
berbeda-beda, ada yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah keadilan, ada juga
yang menyatakan kebinaan, ada yang menyatakan kepastian hukum.
Diturunkan ayat, aturan hukum dan
moral adalah untuk menciptakan kemaslahatan umat manusia pada umumnya. Muhammad
Abied al-Jabiri membagi kemaslahatan dalam tiga bentuk yaitu
- Kemaslahatan yang sangat mendasar (dharuriyat)
Adalah kemaslahatan yang berhubungan
dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat.
Kemaslahatan ini dibagi menjadi 5
yaitu :
- Kemaslahatan jiwa
- Kemaslahatan akal
- Kemaslahatan keturunan
- Kemaslahatan harta
Adalah kemaslahatan yang
memperhatikan kebutuhan materi dalam kehidupan sehari-hari
- Kemaslahatan agama
Adalah kemaslahatn yang
memperhatikan tujuan agama dan menjadi pondasi kemaslahatan diatasnya.
2. Kemaslahatan untuk
kelangsungan hidup (hajiyat)
Adalah kemaslahatan yang dibutuhkan
dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang
berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan
mendasar manusia. Misalnya, dalam bidang ibadah diberi keringanan meringkas
(qashr) shalat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir.
3. Kemaslahatan untuk mencapai
kesempurnaan ( tahsinat).
Adalah kemaslahatan yang sifatnya
pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya.
Misalnya, dianjurkan untuk memakan yang bergizi.
2.
Sinergi Hukum dan Moral
Setelah mengalami amandemen ke-1
sampai ke-4, tampak bahwa Bab I Pasal 1 UUD 1945 (tentang bentuk dan
kedaulatan) telah mengalami perubahan berbunyi: Negara Indonesia Adalah Negara
Hukum. Makna negara hukum adalah negara yang mengutamakan hukum sebagai
landasan berpijak dan berbuat dalam konteks hidup bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Dengan kata lain, hukum merupakan hal yang supreme : bukan
uang dan kekuasaan. Agar hukum dapat menjadi supreme, maka hukum/undang-undang
tersebut harus bersinergi dengan moralitas masyarakat. Keharusan hukum
bersinergi dengan moralitas masyarakat, telah diungkapkan oleh teori/ajaran
ilmu hukum yang mengajarkan bahwa suatu undang-undang akan dapat berlaku
efektif di masyarakat apabila undang-undang tersebut memiliki 3 macam kekuatan,
yaitu juristische geltung, soziologische geltung dan filosofische geltung.
Soziologische geltung dan
filosofische geltung mengajarkan kepada kita bahwa
undang-undang yang mengakomodasi/merespon secara benar moralitas masyarakat,
yang akan mempermudah terwujudnya supremasi hukum. Karena penegakan
undang-undang tersebut secara mutatis mutandis berarti menegakkan
moralitas masyarakat. Sebaliknya, apabila suatu undang-undang gagal
mengakomodasi/merespon moralitas masyarakat, maka perwujudan supremasi hukum
akan mengalami kesulitan. Dalam konteks ini, undang-undang/hukum akan dijadikan
perisai untuk melawan moralitas masyarakat. Dalam konteks ini pula, penegakan
hukum tidak akan memberikan kenyamanan dan keadilan bagi masyarakat.
Dari sudut hukum ilustrasi di atas
dapat dipergunakan sebagai bahan untuk menjelaskan penyebab adanya permintaan
nonaktif sementara sebagai Ketua DPR-RI yang ditujukan kepada Ir Akbar
Tandjung, setelah yang bersangkutan “dihadiahi” hukuman penjara 3 tahun oleh
pengadilan, tidak segera dipenuhi oleh sang Ketua DPR, dan bahkan permintaan
tersebut juga ditentang oleh Partai Golkar, sebagaimana tertuang dalam bab III,
Pasal 11 s/d 17 UU No. 04/1999 (UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan
DPRD), dan yang tertuang dalam Peraturan Tata Tertib DPR-RI, secara tersurat
tidak mengatur persoalan nonaktif sementara dalam kaitannya dengan cacat moral
anggota DPR. Dan kaitannya dengan terpilihnya kembali Tersangka Kasus 27 Juli
sebagai Gubernur Ibu Kota Negara, terpaksa harus diakui dan diterima sebagai
kenyataan bahwa memang belum mengatur persoalan cacat moral (misalnya sebagai
tersangka pelaku tindak pidana di masa lalu) dalam kaitannya dengan persyaratan
menjadi gubernur. Dalam pasal 33 UU No. 22 Tahun 1999 (tentang Pemerintahan
Daerah), persoalan moralitas calon gubernur, dengan kalimat tidak pernah
dihukum penjara karena melakukan tindak pidana dan tidak sedang dicabut hak
pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan negeri. Khususnya pasal 16 (yang
mengatur tentang gubernur dan wakil gubernur), juga tidak diatur persoalan
moralitas (calon) gubernur. Seharusnya dirumuskan setiap anggota MPR/DPR/
DPRD yang patut disangka telah melakukan tindak pidana, wajib menyatakan diri
nonaktif sementara sebagai anggota MPR/DPR/DPRD sampai perkaranya mendapatkan
putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Hal ini sungguh
sangat urgen mengingat saat ini sedang dibahas RUU tentang Susunan dan
Kedudukan MPR/DPR/DPRD. Tanpa diikuti status nonaktif sementara, putusan
pengadilan negeri yang sudah dengan susah payah dihasilkan, menjadi tidak
bermakna/berefek sama sekali, Semoga pesan moral dalam bentuk introducing
status nonaktif sementara dari jabatan publik selama berstatus hukum sebagai
tersangka atau terpidana sementara, dapat ditampung dalam berbagai RUU untuk
merevisi UU lama, khususnya UU No. 28/1999 (UU tentang Penyelenggara Negara
Yang Bersih dan Bebas dari KKN). Apabila hal ini dilakukan, kita pantas
optimistis dapat mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN
serta perbuatan tercela/pidana lainnya.
3.
Potret Hukum dan Moralitas Bangsa Kita
Hukum tidak dapat dipisahkan dari
aspek moral.Apabila hukum belum secara konkrit mengatur, sedangkan moralitas
telah menuntut untuk ditranformasikan oleh karena itu moralitas haruslah di
utamakan. Hukum bukanlah suatu tujuan. Hukum itu sendiri diciptakan bukanlah
semata-mata untuk mengatur, tetapi lebih dari itu untuk mencapai tujuan yang
luhur, yakni keadilan, kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat.
Seperti yang dinyatakan H.L.A. Hart dalam
bukunya General Theory of Law and State, 1965 sebenarnya harus meliputi tiga
unsur nilai, yakni kewajiban, moral dan aturan. Bangsa kita adalah bangsa yang
berbudaya ketimuran yang sangat menjunjung tinggi nilai moralitas, berbeda
dengan bangsa Barat. Tetapi akhir-akhir ini, tanpa kita sadari ataupun
disadari, telah terjadi degradasi moral di negeri ini. Sesuatu yang
bertentangan dengan nilai-nilai agama dianggap benar, dan bahkan dianggap
sebagai suatu kemajuan. Sedangkan sesuatu yang mengandung nilai – nilai agama
diabaikan dan mungkin dianggap suatu kemunduran.
Tanpa kita sadari ataupun tidak umat
Islam saat ini sedang dihancurkan secara halus melalui perusakan moralitas
(akhlak). Padahal akhlak adalah sesuatu yang utama pada manusia. Nabi Muhammad SAW
bersabda :
“Sesungguhnya aku diutus tiada lain
untuk menyempurnakan moralitas bangsa”.
(H.R. Malik bin Anas dan Ahmad bin Hanbal)
Dalam menyelesaikan problem itu,
hendaknya dicariakan solusi pemecahannya yang mencerminkan terpenuhinya
keadilan terhadap hak-hak asasi manusia, tanpa mengorbankan moral sebagai
religious values (nilai-nilai agama). Hal ini tanggung jawab kita bersama
terutama para pemimpin, yang tentunya harus responsif terhadap problem yang
ada. Dengan segera pemerintah dan para dewan menanggapi problem yang ada. Jika
hukum belum ada secara jelas, sedangkan moral telah menuntut ditransformasikan,
seharusnya moralitas menjadi perhatian yang paling utama.
Pada saat ini telah terjadi
modernisasi dan globalisasi yang tidak dapat kita hindari. Tidak dapat kita
pungkiri perkembangan ilmu pengetahuan tidak lepas dari ikut sertanya media
elektronika. Tetapi disisi lain, media elektronika juga dapat membawa dampak
negative, namun semua itu tergantung penggunaan pribadi masing-masing.
4.
Hukum dan Moral, Sebuah Seruan Etis
Hubungan antara hukum dan moral
sangan erat sekali, ada pepatah Roma mengatakan “Apa artinya Undang – undang
kalau tida disertai moralitas?”. Dengan demikian hukum tidak akan berarti
tanpa dijiwai moralitas, hukum akan kosong tanpa moralitas. Oleh karena itu
kualitas hukum harus selalu diukur dengan norma moral, perundang
undang-undangan yang immoral harus diganti dengan demikian hukum bisa
meningkatkan dampak social dari moralitas. Hukum hanya membatasi diri dengan
mengatur hubungan antar manusia yang relevan.
Meskipun hubungan hukum dan moral
begitu erat namun hukum dan moral tetap berbeda sebab dalam kenyataannya mungkin
ada hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang – undang yang
immoral yang berarti terdapat ketidak cocokan antara hukum dan moral. Untuk itu
dalam konteks ketatanegaraan Indonesia dalam pengambilan keputusan hukum
membutuhkan moral sebagaimana moral membutuhkan hukum. Kualitas hukum terletak
pada bobot moral yang dijiwainya. Menurut Dahlan Thaib “Tanpa
moralitas hukum tampak kosong dan hampa”.
Menurut K. Bertens menyatakan
ada empat perbedaan antara hukum dan moral :
- Hukum lebih dikodifikasikan dari pada moralitas
- Hukum dan moral mengatur tingkah laku manusia
- Sanksi yang berkaitan berkaitan dengan hukum berbeda
dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas
- Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya
atas kehendak Negara.
Yang diperlukan pada saat ini
sekaligus menjadi seruan etis kita adalah perlu adanya political will
dan dengan kekuatan-kekuasaan yang ada pada pemerintah saat ini, meski bukit
dan gunung akan rubuh dan langit akan runtuh-bendera supsremasi hukum harus
benar-benar dipancangkan dan keadilan segera diciptakan tanpa kompromi.
5.
Problem Moral Penegakan Hukum
Menurut Thomas Koten
mengemukakan sosok hukum lebih dipakai sebagai alat pemenuhan kepentingan
orang-orang kuat secara politik dan ekonomi daripada sebagai jalan terciptanya
keadilan yang memberikan ruang bagi kesejahteraan rakyat dan mematrikan
keagungan negara sebagai negara hukum.
Berbagai kritik dan saran publik
sudah begitu kerap dilontarkan kepada aparat penegak hukum. Tetapi, ironisnya
hingga kini belum juga muncul kesadaran yang diikuti perbaikan terhadap cara
berpikir dan cara mempraktikkan hukum secara benar. Salah satu indikasinya
adalah, penyelesaian kasus hukum korupsi seputar Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan keuangan negara hingga triliunan
rupiah, tetapi seolah hanya menyembulkan bau busuk yang menyengat hidung.
Untuk itulah, sosok negara kita pun
hanya dapat dimengerti sebagai negara yang produk hukumnya lebih merupakan
kosmetik negara hukum daripada penonjolan esensi hukum dan penegakan eksistensi
keadilan publik. Hukum hanya bagus dalam kata-kata dan indah dalam lukisan
undang-undang yang ratusan jumlahnya, tetapi praktiknya jauh dari harapan.
Problem mendasar dalam praksis
penegakan hukum, sebagaimana yang diuraikan di atas, adalah putusan yang
diambil di meja pengadilan tidak memiliki roh keadilan. Oleh karena itu, kerap
dikatakan bahwa kalangan penegak hukum kita tidak memiliki nurani dan minus
nilai-nilai etik-moral.
6.
Kontrol Nurani
Negara Indonesia sebagai negara hukum
dapat dilihat pada Bab I Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Negara
Indonesia adalah negara hukum. Negara berdasarkan hukum ditandai oleh beberapa
asas, antara lain asas bahwa semua perbuatan atau tindakan pemerintahan atau
negara harus didasarkan pada ketentuan hukum tertentu yang sudah ada sebelum
perbuatan atau tindakan yang dilakukan. Campur tangan atas hak dan kebebasan
seseorang atau kelompok masyarakat hanya dapat dilakukan berdasarkan
aturan-aturan hukum tertentu.
Pemikir Aaron T Beck dari University
of Pennsylvania memberikan solusi dengan peningkatan pemenuhan kewajiban dan
tanggung jawab moral.Ia menyebutkan the caring orientation yang artinya
kewajiban untuk peka terhadap kepentingan orang banyak, rasa tanggung jawab
terhadap kesejahteraan bersama, kesediaan mengorbankan kepentingan
pribadi dan kelompok jika itu berbeda dengan kepentingan seluruh rakyat.
Menurut Aristoteles untuk
mendapatkan keputusan yang adil dalam penegakan hukum diperlukan :
- Penajaman moral dan norma-norma etika dalam penegakan
hukum dengan perumusan nilai-nilai etis
- Perlunya tindakan untuk kembali ke diri sendiri sebagai
sebuah bentuk kontrol nurani.
C. KESIMPULAN
Diturunkan ayat, aturan hukum dan
moral adalah untuk menciptakan kemaslahatan umat manusia pada umumnya. Muhammad
Abied al-Jabiri membagi kemaslahatan dalam tiga bentuk yaitu Kemaslahatan yang
sangat mendasar (dharuriyat), Kemslahatan untuk kelangsungan hidup (hajiyat),
dan Kemaslahatan untuk mencapai kesempurnaan ( tahsinat).
Undang-undang akan dapat berlaku
efektif di masyarakat apabila undang-undang tersebut memiliki 3 macam kekuatan,
yaitu juristische geltung, soziologische geltung dan filosofische geltung.
Soziologische geltung dan filosofische geltung mengajarkan kepada kita bahwa
undang-undang yang mengakomodasi/merespons secara benar moralitas masyarakat,
akan mempermudah terwujudnya supremasi hokum.
Hukum bukanlah suatu tujuan. Hukum
itu sendiri diciptakan bukanlah semata-mata untuk mengatur, tetapi lebih dari
itu untuk mencapai tujuan yang luhur, yakni keadilan, kebahagiaan dan
kesejahteraan rakyat. Bangsa kita adalah bangsa yang berbudaya ketimuran yang
sangat menjunjung tinggi nilai moralitas tapi tanpa kita sadari ataupun
disadari, telah terjadi degradasi moral di negeri ini. Sesuatu yang bertentangan
dengan nilai-nilai agama dianggap benar, dan bahkan dianggap sebagai suatu
kemajuan. Sedangkan sesuatu yang mengandung nilai – nilai agama diabaikan dan
mungkin dianggap suatu kemunduran.
Hubungan antara hukum dan moral
sangan erat sekali, meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat namun hukum
dan moral tetap berbeda sebab dalam kenyataannya mungkin ada hukum yang
bertentangan dengan moral atau ada undang – undang yang immoral yang berarti
terdapat ketidak cocokan antara hukum dan moral.
Menurut Thomas Koten mengemukakan
sosok hukum lebih dipakai sebagai alat pemenuhan kepentingan orang-orang
kuat-secara politik dan ekonomi – daripada sebagai jalan terciptanya keadilan
yang memberikan ruang bagi kesejahteraan rakyat dan mematrikan keagungan negara
sebagai negara hukum. Problem mendasar dalam praksis penegakan hukum,
sebagaimana yang diuraikan di atas, adalah putusan yang diambil di meja
pengadilan tidak memiliki roh keadilan. Oleh karena itu, kerap dikatakan bahwa
kalangan penegak hukum kita tidak memiliki nurani dan minus nilai-nilai
etik-moral.
Negara Indonesia sebagai negara
hukum dapat dilihat pada Bab I Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Negara
Indonesia adalah negara hukum. Menurut Aristoteles untuk mendapatkan keputusan
yang adil dalam penegakan hukum diperlukan Penajaman moral dan norma-norma
etika dalam penegakan hukum dengan perumusan nilai-nilai etis, dan perlunya
tindakan untuk kembali ke diri sendiri sebagai sebuah bentuk kontrol nurani.
DAFTAR PUSTAKA
- Anonim.http://muchad.info/muchad/dalil-syar%E2%80%99i-bag-2-al-maslahah-al-mursalah.html diakses tanggal 20 november 2010.
- Wibowo Anton PS. http://famm2007.multiply.com/reviews/item/19 diakses tanggal 20 november 2010.
- Direktur Social Development Center. http://koranindonesia.com/2008/03/31/urgensi-etik-moral-penegakan-hukum/ diakses tanggal 20 november 2010.
- http://islamlib.com/id/artikel/potret-hukum-dan-moralitas-bangsa-kita/ diakses tanggal 29 oktober 2010.
- http://matahatifh.wordpress.com/2009/12/07/penegakan-hukum-berdasarkan-prinsip-prinsip-%E2%80%9Cthe-rule-of-law%E2%80%9D-konsep-penegakan-hukum-humanis-menuju-keadilan-substantif-oleh-dr-nurul-akhmad/ diakses tanggal 15 november 2010.
- Suwarno, dkk. 2008. ISBD. Surakarta : BP-FKIP
UMS.