A.
Latar
Belakang Masalah
Perkembangan global internet sebagai
milik publik menyiratkan adanya harapan – harapan akan terjadinya perubahan
ruang dan jarak. Perkembangan tersebut juga diramalkan akan menuju pada
terbentuknya entitas dengan sistem tingkah laku tertentu, melalui pola – pola
pengujian dengan unsur – unsur dominan berupa pengalaman dan budaya dalam
penggunaan informasi. Semua itu pada gilirannya harus diakui oleh hukum manapun
di semua belahan bumi, yang tentu saja berbeda – beda dampaknya terhadap kaitan
antara hukum dengan ekonomi, poitik ataupun ideologi. Hubungan antara hukum dan
teknologi internet tentu saja akan menjadi unik.
Dunia Cyber sebagai manifestasi sistem
informasi dan telekomunikasi yang terpadu dalam suatu jaringan global, adalah
ruang tanpa batas yang dapat diisi dengan sebanyak mungkin kategori. Baik yang
sudah ada, akan ada, dan mungkin akan terus berkembang. Dari perdagangan,
perhubungan, kesehatan, sampai militer, dan lain sebagainya. Hukum dan alat
perlengkapannya tentu juga terus berkembang. Yang menjadi masalah adalah apakah
hukum dapat berkembang sepesat dan secepat perkembangan dunia cyber? Bahkan
pada taraf tiada batas (unlimited) yang bisa melanda semua kategori yang sempat
terpikirkan manusia seperti u-commerce, u-banking, u-trade, u-retailing dan
lainnya.
B.
Rumusan
Masalah
- 1. Pengertian
dari Cyber Crime itu apa?
- 2. Bagaimana
gejala dan modus tindak pidana Cyber Crime?
- 3. Apa
saja jenis Cyber Crime itu?
- 4. Apa
saja kasus tentang Cyber Crime ini yang terjadi di Indonesia?
- 5.
Bagaimana cara
mengatasinya dan Asas hukum apa saja yang berlaku?
I.
Pengertian
Cyber Crime
Kejahatan
dunia maya atau yang sering disebut dengan istilah Cyber Crime adalah jenis
kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sebuah teknologi informasi tanpa
batas serta memiliki karakteristik yang kuat dengan sebuah rekayasa teknologi
yang mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan kredibilitas dari
sebuah informasi yang disampaikan dan diakses oleh pelanggan internet. Agar
kita dapat memahami bagaimana sebuah kejahatan yang ada di dunia maya itu
secara efektif dapat menciptakan kerugian yang sangat besar, tidak lain adalah
faktor teknologi global yang dapat menjangkau dan mengesekusi setiap format
finansial yang berlangsung secara cepat. Karena kejahatan internet tidak akan
muncul bila sistem internet yang ada di dalam industri pasar modal tidak saling
integratif dengan elemen – elemen yang ada di dalam modus tersebut. Hal ini
disebabkan karena teknologi yang relatif tinggi artinya hanya orang – orang
tertentu saja yang sanggup melakukan kejahatan ini serta open resource mediator atau dapat menjadi media untuk berbagai
kejahatan antara lain kejahatan di bidang perbankan, pasar modal, seks,
pembajakan hak – hak intelektual serta terorisme dan yang lebih tepat lagi
termasuk trans-national crime. Cyber
crime dasarnya adalah penyalahgunaan computer dengan cara hacking komputer
ataupun dengan cara – cara lainnya merupakan kejahatan yang perlu ditangani
dengan serius, dan dalam mengantisipasi hal ini perlu rencana persiapan yang
baik sebelumnya. Karena kejahatan ini potensial menimbulkan kerugian pada
beberapa bidang : poitik, ekonomi, sosial budaya yang signifikan dan lebih
memprihatinkan dibandingkan dengan ledkan bom atau kejahatan yang berintesitas
tinggi lainnya bahkan di masa akan datang dapat mengganggu perekonomian
nasional melalui jaringan infrastruktur yang berbasis teknologi elektronik
(perbankan, telekomunikasi satelit, jaringan listrik, dan jaringan lalu lintas
penerbangan dsb). Sebagai contoh, pasar modal yang memiliki kemampuan untuk
menampilkan perdagangan saham secara on line serta dapat memperdagankan saham –
saham yang sudah berbentuk sebagai sebuah aset eletronik, namun tidak
integratif engan lalulintas keuangan global maka kejahatan yang terjadi hanya
dalam bentuk serta skala yang juga terbatas dan secara mudah akan dapat
didetiksi secara dini bila pasar modal ataupun regulator memiliki pengawasan
pasar yang handal. Internet sebagai sebuah sistem yang menampilkan informasi on
line, bila dikaitkan dengan pelanggaran yang berhubungan dengan missleading information maka hal ini
juga relevan dengan bagaimana emiten atau perusahaan publik telah mempergunakan
sarana internet untuk menyajikan informasi relevan dan material yang juga on
line dan teruji, tanpa itu kemampuan serta kekuatan informasi yang ada di dalam
internet itu sendiri tidak secara efektif dapat mempengaruhi atau mendorong
penerima informasi untuk melakukan tindakan sesuai dengan sajian informasi
tersebut. Di dalam taraf ini ada hubungan kausalitas yang erat antara
legitimasi hukum yang memberikan landasan untuk eksisnya sebuah informasi
dengan sistem dari informasi yang ditampilkan di dalam internet itu sendiri.
II. Modus
Tindak Pidana Cyber Crime
Bila kita kaji modus atau
pola – pola dari kejahatan ataupun tindak pidana yang terjadi di dalam dunia
maya tersebut maka terdapat beberapa contoh sederhana sebagai berikut :
1. Pertama, kejahatan yang
memanfaatkan jaringan informasi dan tampilan data yang ada di dalam internet
untuk mempengaruhi pengambilan keputusan sebuah investasi yang berlangsung
secara on line dengan secara otomatis hal itu akan berdampak terhadap
pergerakan harga saham – saham di lantai bursa. Penipuan informasi internet
inilah yang merupakan landasan yang paling sering memenuhi unsur atas penipuan
dari sebuah penawaran saham yang tidak memiliki fakta material sesungguhnya;
2. Kedua, kejahatan
internet yang bersumber dari pada sebuah tujuan untuk mencuri atau
menghancurkan sebuah produk ataupun informasi yang bersifat sebagai aset dari
sebuah jaringan internet lainnya dimana pencurian ini dapat menimbulkan
kerugian atau menciptakan sebuah kekuatan untuk menghancurkan atau mengambil alih
sasaran ekonomis yang telah ditargetkan secara on line;
3. Ketiga, kejahatan
internet yang bersifat kerahasiaan negara ataupun yang bertujuan untuk merusak
sebuah jaringan dari sistem keamanan sebuah negara.
Dari tiga pola tersebut di atas, kejahatan
internet yang terjadi di pasar modal lebih banyak memanfaatkan kemampuan global
internet untuk menjangkau jutaan manusia dengan memberikan informasi yang
menyesatkan. Dalam hal ini secara sederhana hal – hal yang berkaitan dengan
rekayasa harga di pasar modal adalah bentuk sederhana dari sebuah kejahatan
internet, oleh sebab itu SEC-US dalam menjaga dan menindak pelaku kejahatan
internet memiliki biro dan sejumlah pegawai yang tugasnya mengamati dan
mengevaluasi setiap pola dan penawaran – penawaran informasi yang berlangsung
secara on line. Namun yang jelas dalam hal memahami bagaimana modus operandi
sebuah kejahatan internet sangatlah ditentukan pula dengan bagaimana peranan
dan fungsi internet itu sendiri telah dipakai, dipergunakan secara interaktif.
III. Gejala
Kejahatan Dunia Maya sebagai Bagian Globalisasi
Dalam era globalisasi
perkembangan terjadi sangat cepat seiring dengan peningkatan teknologi
informasi internet, selain memberi manfaat juga menimbulkan dampak negatif
dengan terbukanya peluang penyalahgunaan teknologi tersebut. Dampak ini
terlihat dari adanya cyber crime (kejahatan dunia maya) yang terjadi diberbagai
belahan dunia. Kejahatan di dunia maya merupakan salah satu jenis kejahatan
atau tindak pidana yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi yakni
komputer. Sejumlah kejahatan cyber crime yang cukup menonjol belakangan ini
adalah :
1. Sabotase terhadap
perangkat – perangkat digital, data – data milk orang lain dan jaringan
komunikasi data penyalahgunaan network orang lain.
2. Penetrasi terhadap
sistem komputer dan jaringan sehingga menyebabkan privasi orang/lembaga lain
terganggu atau gangguan pada fungsi komputer yang digunakan.
3. Melakukan akses – akses
ke server tertentu atau ke internet yang tidak diizinkan oleh peraturan
organisasi / penyusupan ke web server sebuah situs, kemudian si penyusup
mengganti halaman depan situs tersebut.
4.
Tindakan penyalahgunaan
kartu kredit orang lain di internet.
5. Tindakan atau penerapan
aplikasi dalam usaha untuk membuka proteksi sebuah software atau sistem secara
ilegal.
6.
Pembuatan program
ilegal yang dibuat untuk dapat menyebar dan
menggandakan diri secara cepat dalam jaringan (biasanya melalui e-mail
liar) yang bertujuan untuk membuat kerusakan dan kekacauan sistem.
IV.
Macam
– Macam Cyber Crime
Jenis
– jenis kejahatan di Internet terbagi dalam berbagai versi, salah satu versi
menyebutkan bahwa kejahatan ini terbagi dalam dua jenis yaitu kejahatan dengan
motif intelektual. Biasanya jenis yang pertama ini tidak menimbulkan kerugian
dan dilakukan untuk kepuasan pribadi. Jenis kedua adalah kejahatan dengan motif
politik, ekonomi atau kriminal yang berpotensi menimbulkan kerugian bahkan
perang informasi. Versi lain membagi cyber crime menjadi tiga bagian yaitu
pelanggaran akses, pencurian data, dan penyebaran informasi untuk tujuan
kejahatan.
Secara garis besar, ada
beberapa tipe cyber crime :
adalah
kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk mencari informasi melalui program
yang ada dengan menggunakan komputer.
adalah
seseorang yang mampu dan dapat menembus suatu jaringan serta mencuri / merusak
jaringan tersebut.
adalah
seseorang yang mampu menembus suatu jaringan dan memberitahukan kepada jaringan
tersebut tentang keadaan pengamanan jaringannya yang dapat ditembus oleh orang
lain.
adalah
prosedur untuk menambah, mengurangi atau merubah instruksi pada sebuah program,
sehingga program tersebut akan menjalankan tugas lain yang tidak sah dari
tugasnya.
Cara
– caranya antara lain :
a.
Mengubah program yang
ada sehingga program tersebut akan melakukan penghitungan pembulatan yang
salah. Sering terjadi pada pembobolan kartu kredit atau pada rekening tabungan
nasabah yang ada pada Bank.
b.
Mengubah program yang
ada untuk memasukkan transaksi – transaksi tertentu, sehingga transaksi
tersebut dikenal oleh spesifikasi sistem sedangkan untuk transaksi yang tidak
dikenal dapat dimasukkan bersama – sama dengan transaksi lainnya.
c. Mengubah program yang
ada sehingga dapat memanipulasi keseimbangan pada suatu penghitungan keuangan
tertentu.
d. Memasukkan instruksi
yang tidak sah, dapat dilakukan baik oleh yang berwenang maupun tidak yang
dapat mengakses suatu sistem dan memasukkan instruksi untuk keuntungan sendiri
dengan melawan hukum.
Data
yang sah diubah dengan cara yang tidak sah, yaitu :
a. Mengubah data input
yang dilakukan seseorang dengan cara memasukkan data yang menguntungkan diri
sendiri secara melawan hukum.
b. Mengubah print-out atau
output dengan maksud mengaburkan, menyembunyikan data atau informasi dengan
itikad tidak baik. Penggelapan, pemalsuan, dan atau pemberian informasi melalui
komputer yang merugikan pihak lain dan menguntungkan diri sendiri. Dengan
sengaja menyebarkan virus yang dapat merusak sistem komputer.
6.
Data Leakage (Kebocoran
Data)
Data
rahasia perusahaan / instansi yang dibuat dalam bentuk kode – kode tertentu
bocor atau dibawa keluar tanpa diketahui. Dapat dilakukan dengan cara perusakan
sistem komputer.
Penyadapan
data melalui saluran transmisi data (kabel telepon, serat optik atau satelit).
Perbuatan
pidana yang berkaitan dengan hak milik intelektual, hak cipta, dan hak paten,
berupa pembajakan dengan memproduksi barang – barang tiruan untuk mendapat
keuntungan melalui perdagangan, termasuk rahasia dagang dan hak moral.
Pemakaian
komputer orang lain tanpa izin. Hal ini termasuk pencurian waktu operasi
komputer.
10.
To Frustate Data
Communication
Penyia-yiaan
data komputer.
Pembajakan
perangkat lunak terhadap hak cipta yang dilindungi HAKI.
12.
Carding, menurut versi
POLRI meliputi :
a.
Mendapatkan nomor kartu
kredit (CC) dari tamu hotel, khususnya orang asing.
b.
Mendapatkan nomor kartu
kredit melalui kegiatan chatting di internet.
c. Melakukan pemesanan
barang ke perusahaan di luar negeri dengan menggunakan jasa internet.
d.
Mengambil dan
memanipulasi data di internet.
e. Memberikan keterangan
palsu, baik pada waktu pemesanan maupun pada saat pengambilan barang di jasa
pengiriman (kantor pos, UPS, Fedex, DHL, TNT dan lain-lain). Carding (pelakunya
biasa disebut carder), adalah kegiatan melakukan transaksi e-commerce dengan
nomor kartu kredit palsu atau curian. Pelaku tidak harus melakukan pencurian
atau pemalsuan kartu kredit secara fisik, melainkan pelaku cukup mengetahui
nomor kartu dan tanggal kadaluarsanya saja.
Dari
semua tipe cyber crime tersebut, nampak bahwa inti cyber crime adalah
penyerangan di content, computer system dan communication system milik orang
lain atau umum di dalam cyberspace (Edmon Makarim, 2001; 12). Pola umum yang
digunakan untuk menyerang jaringan komputer adalah memperoleh akses terhadap account user dan kemudian menggunakan
sistem milik korban sebagai platform untuk menyerang situs lain. Hal ini dapat
diselesaikan dalam waktu 45 detik dan mengotomatisasi akan sangat mengurangi
waktu yang diperlukan (Purbo, dan Wijahirto, 2000; 9). Fenomena cyber crime
memang harus diwaspadai karena kejahatan ini agak berbeda dengan kejahatan lain
pada umumnya. Cyber crime dapat dilakukan tanpa mengenal batas teritorial dan
tidak diperlukan interaksi langsung antara pelaku dengan korban kejahatan. Bisa
dipastikan dengan sifat global internet, semua negara yang melakukan kegiatan
internet hampir pasti akan terkena imbas perkembangan cyber crime ini. Berita Kompas
Cyber Media (19/3/2002) menulis bahwa berdasarkan survei AC Nielsen 2001
Indonesia ternyata menempati posisi ke enam terbesar di dunia atau ke empat di
Asia dalam tindak kejahatan di internet. Meski tidak disebutkan secara rinci
kejahatan macam apa saja yang terjadi di Indonesia maupun WNI yang terlibat
dalam kejahatan tersebut, hal ini merupakan peringatan bagi semua pihak untuk
mewaspadai kejahatan yang telah, sedang, dan akan muncul dari pengguna
teknologi informasi (Heru Sutadi, Kompas, 12 April 2002, 30).
V. Kasus Cyber Crime di Indonesia
Menurut RM. Roy Suryo
dalam Warta Ekonomi No. 9, 5 Maret 2001 h.12, kasus cyber crime yang banyak
terjadi di Indonesia setidaknya ada tiga jenis berdasarkan modusnya, yaitu :
1. Pencurian Nomor Kartu
Kredit. Menurut Rommy Alkatiry (Wakil Kabid Informatika KADIN), penyalahgunaan
kartu kredit milik orang lain di internet merupakan kasus cyber crime terbesar
yang berkaitan dengan dunia bisnis internet di Indonesia. Penyalahgunaan kartu
kredit milik orang lain memang tidak rumit dan bisa dilakukan secara fisik atau
on-line. Nama dan kartu kredit orang lain yang diperoleh diberbagai tempat
(restaurant, hotel atau segala tempat yang melakukan transaksi pembayaran
dengan kartu kredit) dimasukkan di aplikasi pembelian barang di internet.
2.
Memasuki, memodifikasi
atau merusak homepage (hacking). Menurut John. S. Tumiwa pada umumnya tindakan
hacker Indonesia belum separah aksi di luar negeri. Perilaku hacker di
Indonesia baru sebatas masuk ke suatu situs komputer orang lain yang ternyata
rentan penyusupan dan memberitahukan kepada pemiliknya untuk berhati – hati. Di
luar negeri hacker sudah memasuki system perbankan dan merusak data base Bank.
3.
Penyerangan situs atau
e-mail melalui virus atau spamming. Modus yang paling sering terjadi adalah
mengirim virus melalui e-mail. Menurut RM. Roy Suryo, di luar negeri kejahatan
seperti ini sudah diberi hukuman yang cukup berat. Berbeda dengan di Indonesia
yang sulit diatasi karena peraturan yang ada belum menjangkaunya, sementara itu
As’ad Yusuf memerinci kasus – kasus cyber crime yang sering terjadi di
Indonesia menjadi lima, yaitu :
a.
Pencurian nomor kartu
kredit.
b.
Pengambilan alihan
situs web milik orang lain.
c.
Pencurian akses
internet yang sering dialami oleh ISP.
d.
Kejahatan nama domain.
e.
Persaingan bisnis
dengan menimbulkan gangguan bagi situs saingannya.
Khusus
cyber crime dalam e-commerce oleh Edmon Makarim didefinisikan sebagai segala
tindakan yang menghambat dan mengatasnamakan orang lain dalam perdagangan
melalui internet. Edmon Makarim memperkirakan bahwa modus baru seperti
jual-beli data konsumen dan penyajian informasi yang tidak benar dalam situs
bisnis mulai sering terjadi dalam e-commerce ini.
V.1.
Mengintai
Pelaku Cyber Crime
Tidak
saja korupsi yang peringkat kedua, kejahatan cyber crime melalui internet pun,
Indonesia berada di urutan kedua, menurut hasil riset yang dilakukan oleh
perusahaan sekuriti Clear Commerce (Clearcommerce.com) yang bermarkas di Texas,
Amerika Serikat. Menurut data tersebut 20 persen dari total transaksi kartu
kredit dari Indonesia di internet adalah fraud. Tidak heran jika kondisi itu
semakin memperparah sektor bisnis di dalam negeri, khususnya yang memanfaatkan
teknologi informasi (TI). Berdasarkan hasil survei Castle Asia (CastleAsia.com)
yang dilansir pada bulan Januari 2002 menunjukkan bahwa hanya 15 persen
responden Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia yang bersedia menggunakan
internet banking, dari 85 persen sisanya setengahnya berlasan khawatir dengan
keamanan transaksi di internet. Dari data tersebut terlihat bahwa tingginya
angka cyber crime akan berpengaruh secara langsung pada sektor bisnis skala
kecil, menengah, dan besar. Pengaruh tidak langsungnya adalah memburuknya citra
Indonesia di mata komunitas internet dunia. Tidak itu saja, pada tingkat yang
lebih luas hasil survei yang dilakukan pada tahun 2002 atas kerjasama Federal
Bureu of Investigation’s (FBI) dan Computer Security Institute (CSI)
menunjukkan bahwa kerugian akibat serangan cyber crime mencapai nilai sebesar
US$ 170.827.000 pada kategori pencurian informasi dan US$ 115.753.000 pada
kategori financial fraud (www.gocsi.com).
Bahkan, hasil survei yang sama juga menunjukkan kerugian sebesar US$ 4.503.000
akibat penyalahgunaan otoritas oleh orang dalam organisasi itu sendiri. Hal ini
dimungkinkan dengan memanfaatkan kelemahan pada sistem keamanan jaringan
internal yang kurang diperhatikan. Data tersebut menunjukkan bahwa saat
sebagian pihak menekankan pentingnya sisi keamanan internet, sisi keamanan
jaringan internal, termasuk di dalamnya perilaku pengguna yang kurang tepat
ternyata juga berpotensi menimbulkan kerugian cukup besar, karena kurang
mendapat perhatian yang memadai. Secara umum dari survei yang dilakukan UCLA
Centre for Communicaiton Policy (www.ccp.ucla.edu)
pada bulan November 2001 menunjukkan bahwa 79,7 persen responden sangat peduli
terhadap keamanan data kartu kredit ketika bertransaksi via internet.
Ditegaskan pula bahwa 56,6 persen responden pengguna internet dan 74,5 persen
responden non pengguna internet menyepakati bahwa menggunakan internet memiliki
risiko pada keamanan data pribadi. Mas Wigrantoro Roes Setiyadi, Country
Coordinator GIPI-Indonesia, mendefinisikan beberapa hal yang menyangkut
penipuan melalui internet ini antara lain :
- Pertama,
penipuan terhadap institusi keuangan, termasuk dalam kategori ini antara lain
penipuan dengan modus menggunakan alat pembayaran, seperti kartu kredit dan
atau kartu debit dengan cara berbelanja melalui internet. Penipuan terhadap
institusi keuangan biasanya diawali dengan pencurian identitas pribadi atau
informasi tentang seseorang, seperti nomor kartu kredit, tanggal lahir, nomor
KTP, PIN, password, dan lain-lain.
- Kedua,
penipuan menggunakan kedok permainan (Gaming Fraud), termasuk dalam kategori
ini adalah tebakan pacuan kuda secara on-line, judi internet, tebakan hasil
pertandingan olah raga, dan lain-lain.
- Ketiga,
penipuan dengan kedok penawaran transaksi bisnis, penipuan kategori ini dapat
dilakukan oleh dua belah pihak, pengusaha dan individu. Umumnya dalam bentuk
penawaran investasi atau jual beli barang/jasa.
- Keempat,
penipuan terhadap instansi pemerintah termasuk dalam kategori ini adalah penipuan
pajak, penipuan dalam proses e-procurement dan layanan e-government, baik yang
dilakukan oleh anggota masyarakat kepada pemerintah maupun oleh aparat
birokrasi kepada rakyat.
Brata
Mandala dari Badan Reserse Kriminal Polri Direktorat II Ekonomi dan Khusus
Mabes Polri mengategorikan modus operandi cyber crime ini dalam dua hal.
Pertama, kejahatan umum dan terorisme yang difasilitasi oleh internet. Ini
terdiri dari Carding ( credit card fraud), Bank Offences, e-Mail Threats, dan
Terorisme. Kedua, penyerangan terhadap computer networks, internet as a tools
and terget, yang meliputi Ddos Attack, Cracking / Deface, Phreaking, Worm /
Virus / Attack, dan Massive Attack / cyber terror. Lebih lanjut, Mandala
mengarakteristikkan cyber crime ini diantaranya bahwa modal untuk menyerang
relatif sangat murah. Sebuah serangan yang sangat besar / luas namun cukup
dilakukan dengan menggunakan komputer dan modem yang sederhana. Dapat dilakukan
oleh setiap individu, tidak perlu personil / unit yang besar. Resiko bagi yang ditangkap
(being apprehended) rendah. Sangat sulit melokalisir tersangka, bahkan kadang –
kadang tidak menyadari kalau sedang diserang. Tidak ada batasan waktu dan
tempat, sangat memungkinkan untuk diserang kapan saja (setiap saat) dan
darimana saja. Kerugian sangat besar / mahal dan meluas apabila serangan
tersebut berhasil.
VI.
Upaya
Reduksi Cyber Crime
Permasalahan
yang ditimbulkan akibat perkembangan teknologi komputer dan informasi
menunjukkan perlu adanya upaya yang menyeluruh untuk menanggulangi cybercrime.
Kesadaran dari para pengguna jasa internet terhadap cyberethics juga akan turut
membantu. Selain itu, kerjasama antara negara-negara pengguna jasa internet
juga membantu menanggulangi paling tidak mengurangi kejahatan internet yang
melintasi batas-batas negara. Pada dasarnya interaksi internet bersifat bebas
dengan adanya civil cyberliberty dan pribadi (privacy). Prinsip-prinsip dasar
yang diakui umum dari aktivitas elektronik melalui internet adalah
transparansi, yaitu adanya keterbukaan dan kejelasan daalam setiap interaksi
internet, kehandalan dengan informasi yang dapat dipercaya serta kebebasan
dimana para pelaku bisnis, konsumen ataupun pribadi dapat secara bebas
mengakses atau berinteraksi tanpa adanya hambatan, kesulitan ataupun tekanan
dalam bentuk apapun.
VI.1. Asas
Hukum Untuk Dunia Cyber
Terdapat tiga pendekatan
untuk mempertahankan kemanan di cyberspace yakni : Pertama, pendekatan
teknologi, Kedua, pendekatan sosial budaya-etika, dan Ketiga, pendekatan hukum.
Untuk mengatasi gangguan keamanan pendekatan teknologi sifatnya mutlak
dilakukan, sebab tanpa suatu pengamanan jaringan akan sangat mudah disusupi,
diintersepsi, atau diakses secara ilegal dan tanpa hak. Dalam ruang cyber
pelaku pelanggaran seringkali menjadi sulit dijerat karena hukum dan pengadilan
Indonesia tidak memiliki yurisdiksi terhadap pelaku dan perbuatan hukum yang
terjadi, mengingat pelanggaran hukum bersifat transnasional tetapi akibatnya
justru memiliki implikasi hukum di Indonesia. Dalam hukum internasional,
dikenal tiga jenis jurisdiksi yakni Jurisdiksi untuk menetapkan undang-undang
(the jurisdiction to prescribe), Jurisdiksi untuk penegakan hukum (the
jurisdiction to enforce) dan Jurisdiksi untuk menuntut (the jurisdiction to
adjudicate).
Dalam kaitannya dengan
penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa digunakan antara
lain :
1.
Asas Subjective
Territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan
tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di
negara lain.
2.
Asas Objective
Territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana
akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan
bagi negara yang bersangkutan.
3.
Asas Nationality, yang
menentukan bahwa negara mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan
kewarganegaraan pelaku.
4.
Asas Passive
Nationality, yang menekankan jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.
5. Protective Principle,
yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk
melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya,
yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah.
6.
Asas Universality,
selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum
kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai universalinterest
jurisdiction. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak untuk
menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas
sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againsthumanity),
misalnya : penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain.
Meskipun
dimasa mendatang asas jurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan untuk
internet piracy, seperti : komputer, cracking, carding, hacking and virus.
Namun perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk
kejahatan sangat serius berdasarkan perkembangan dalam hukum internasional.
VI.2. Instrumen
Internasional di Bidang Kejahatan Cyber
Instrumen Hukum
Internasional di bidang kejahatan cyber (Cyber Crime) merupakan sebuah fenomena
baru dalam tatanan hukum internasional modern mengingat kejahatan cyber
sebelumnya tidak mendapat perhatian negara-negara sebagai subjek hukum
internasional. Munculnya bentuk kejahatan baru yang tidak saja bersifat lintas
batas (transnasional) tetapi juga berwujud dalam tindakan-tindakan virtual
telah menyadarkan masyarakat internasional tentang perlunya perangkat hukum
internasional baru yang dapat digunakan sebagai kaidah hukum internasional
dalam mengatasi kasus-kasus cyber crime. Instrumen Hukum Internasional publik
yang mengatur masalah kejahatan cyber yang saat ini paling mendapat perhatian
adalah konvensi tentang kejahatan cyber (convention on cyber crime) 2001 yang
digagas oleh Uni Eropa. Konvensi ini meskipun pada awalnya dibuat oleh
organisasi Regional Eropa, tetapi dalam perkembangannya dimungkinkan untuk
diratifikasi dan diakses oleh negara manapun di dunia yang memiliki komitmen
dalam upaya mengatasi kejahatan cyber.
Negara-negara yang
tergabung dalam Uni Eropa (Council of Europe) pada tanggal 23 November 2001 di
kota Budapest, Hongaria telah membuat dan menyepakati Convention on Cyber Crime
yang kemudian dimasukkan dalam European Treaty Series dengan nomor 185.
Konvensi ini akan berlaku secara efektif setelah diratifikasi oleh minimal 5
(lima) negara, termasuk paling tidak ratifikasi yang dilakukan oleh 3 (tiga)
negara anggota Council of Europe. Substansi konvensi mencakup area yang cukup
luas, bahkan mengandung kebijakan kriminal (criminal policy) yang bertujuan
untuk melindungi masyarakat dari cyber crime, baik melalui undang-undang maupun
kerjasama internasional. Hal ini dilakukan dengan penuh kesadaran sehubungan
dengan semakin meningkatnya intensitas digitalisasi, konvergensi, dan
globalisasi yang berkelanjutan dari teknologi informasi, yang menurut
pengalaman dapat juga dugunakan untuk melakukan tindak pidana. Konvensi ini
dibentuk dengan pertimbangan-pertimbangan antara lain sebagai berikut :
Ø Pertama,
bahwa masyarakat internasional menyadari perlunya kerjasama antar negara dan
industri dalam memerangi kejahatan cyber dan adanya kebutuhan untuk melindungi
kepentingan yang sah dalam penggunaan dan pengembangan teknologi informasi.
Ø Kedua,
konvensi saat ini diperlukan untuk meredam penyalahgunaan sistem, jaringan dan
data komputer untuk melakukan perbuatan kriminal. Hal lain yang diperlukan
adalah adanya kepastian dalam proses penyelidikan dan penuntutan pada tingkat
internasional dan domestik melalui suatu mekanisme kerjasama internasional yang
dapat dipercaya dan cepat.
Ø Ketiga,
saat ini sudah semakin nyata adanya kebutuhan untuk memastikan suatu kesesuaian
antara pelaksanaan penegakan hukum dan hak azasi manusia sejalan dengan
konvensi dewan eropa untuk perlindungan hak azasi manusia dan kovenan
Perserikatan Bangsa-Bangsa 1966 tentang Hak Politik dan Sipil yang memberikan
perlindungan kebebasan berpendapat seperti hak berekspresi, yang mencakup
kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi/pendapat.
Konvensi
ini telah disepakati oleh masyarakat Uni Eropa sebagai konvensi yang terbuka
untuk diakses oleh negara manapun di dunia. Hal ini dimaksudkan untuk dijadikan
norma dan instrumen hukum internasional dalam mengatasi kejahatan cyber tanpa
mengurangi kesempatan setiap individu untuk tetap dapat mengembangkan
kreativitasnya dalam pengembangan teknologi informasi.
Kepolisian
Negara Republik Indonesia telah membentuk suatu divisi yang bernama Cyber Task
Force yang bertugas mengatur segala aspek hukum yang terkait dengan
kejahatan-kejahatan yang dilakukan di internet. Apabila seorang penjahat
internet tertangkap maka selanjutnya akan dilakukan tindakan komputer forensik.
Komputer forensik meliputi pencarian bukti-bukti yang biasanya merupakan bukti
digital, yaitu Log (catatan dari system) yang meliputi :
a)
NAS (Network Access
System) Log
c)
File Upload and
Download Log
f)
IRC (Internet Relay
Chat) Log
Apabila
terdapat bukti-bukti yang dapat menyudutkan si pelaku kejahatan, maka pelaku
dapat dikenakan sanksi berdasarkan Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi
Elektronik) dan berakhir di balik jeruji. Undang-Undang ITE dan Cyberlaw
Enforcement telah disahkan, namun dengan terbentuknya UU dan Cyberlaw belum
tentu dapat membasmi para pelaku kejahatan internet, karena jumlah pelaku
kejahatan internet masih lebih banyak dan mereka tersebar di seluruh Indonesia.
Yang perlu dilakukan sekarang adalah melakukan pencegahan terhadap
kemungkinan-kemungkinan yang dapat merugikan kita sebagai pelaku IT. Pencegahan
itu dapat berupa :
1.
Educate User
(memberikan knowledge baru terhadap Cyber Crime dan dunia internet).
2.
Use Hacker’s
Perspective (menggunakan pemikiran dari sisi hacker untuk melindungi sisten
anda).
3.
Patch System (menutup
lubang-lubang kelemahan pada system).
4.
Policy (menentukan
kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan yang melindungi sistem anda dari
orang-orang yang tidak berwenang).
5.
IDS (Intrusion
Detection System) bundled with IPS (Intrusion Preventation System).
Tidak ada 100% sistem yang aman di dunia
ini, karena semuanya berawal dari manusia yang memiliki pemikiran terbatas,
bukan dari Tuhan yang memiliki sistem yang sangat sempurna.
Pada
dasarnya, teknologi internet merupakan sesuatu yang bersifat netral, dalam
artian bahwa teknologi tersebut tidak bersifat baik ataupun jahat. Akan tetapi
dengan keluasan fungsi dan kecanggihan teknologi informasi yang terkandung di
dalamnya ditambah semakin merebaknya globalisasi dalam kehidupan mendorong para
pelaku kejahatan untuk menggunakan internet sebagai sarananya. Cybercrime pada
saatnya akan menjadi bentuk kejahatan serius yang dapat membahayakan keamanan
individu, masyarakat dan negara serta tatanan kehidupan global.
Kegiatan-kegiatan kenegaraan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup
masyarakat dan negara tidak selalu bisa dijamin aman dari ancaman penjahat dalm
dunia maya. Karena pelaku-pelaku cybercrime secara umum adalah orang-orang yang
memiliki keunggulan kemampuan keilmuan dan teknologi. Pada sisi lain, kemampuan
aparat untuk menanganinya sungguh jauh kualitasnya di bawah para pelaku
kejahatan tersebut.
Mengingat
bahwa cybercrime tidak mengenal batas-batas negara maka dalam upaya
penanggulangannya memerlukan suatu koordinasi dan kerjasama antarnegara.
Cybercrime memperlihatkan salah satu kondisi yang kompleks dan penting untuk
diadakannya suatu kerjasama internasional. Secara hukum hal tersebut telah
mengalami kemajuan sebab di Budapest, Hongaria, 30 negara telah sepakat untuk
menandatangani Convention on Cybercrime yang merupakan kerjasama internasional
untuk penanggulangan penyebaran aaktivitas kriminal melalui internet dan
jaringan komputer lainnya. Meski demikian efektifitas dan efisiensi
pelaksanaannya masih perlu dicari format yang tepat, karena seperti kasus-kasus
sebelumnya banyak konvensi internasional yang terbentur dalam pelaksanaannya.
Salah satu unsur yang akan menjadi tantangan dalam menerapkan suatu konvensi
adalah perbedaan persepsi terhadap masalah yang bermuara dari perbedaan
kepentingan dan pengalaman. Apalagi di dalam cybercrime ketiadaan batas dalam
menanggulanginya merupakan hal baru dalam sejarah penegakan
hukum.
http://cyberlaw.wordpress.com/2007/08/11/menjerat-pelaku-cyber-crime-dengan-kuhp/
http://www.depkumham.go.id/xDepkumhamWeb/xBerita/xUmum/seminar+cyber+crime.htm
http://www.depkominfo.go.id/portal/?act=detail&mod=artikel_itjen&view=1&id=BRT061002181001
http://www.depkominfo.go.id/portal/?act=detail&mod=artikel_itjen&view=1&id=BRT070620115101
http://id.wikipedia.org/wiki/Cyber_crime
http://www.indonesia.go.id/id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1id=4419
http://www.ketok.com/forum/viewtopic.php?t=215
http://www.kompas.com/ver1/Iptek/0705/01/183439.htm
http://www.total.or.id/info.php?kk=Cyber%20crime
http://maulana.mhs.unimal.ac.id
Zaleski, Jeff, Spiritualitas
Cyberspace, Bagaimana Teknologi Komputer Mempengaruhi Kehidupan Keberagaman
Manusia (Bandung : Mizan, 1999)