Assalamu'Alaikum Wr.Wb.

Pada sang bayu kutitipkan salam cinta penuh kerinduan, tuk ayah ibu kuhaturkan ♥
Terucap dari hati dengan kecintaan, padamu ridho kuharapkan ♥
Salam kasih sahabatku, lewat dunia maya kumenyapamu ♥
Meski tak pernah bertemu, dekat di hati kuharap selalu ♥
Salam hangat kuberikan, padamu wahai Sahabat ♥
Jarak dan waktu telah memisahkan, kurindu kebersamaan ♥
Salam indah duniaku, indahkanlah hari-hariku, berikan senyuman untukku ♥
Tuk menyapa orang terdekatku, berikan mereka bahagia selalu ♥

Rabu, 14 November 2012

SOSIOLOGI HUKUM



Pengantar Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum diperlukan dan bukan merupakan penamaan yang baru bagi suatu ilmu pengetahuan yang telah lama ada. Memang, baik ilmu hukum maupun sosiologi hukum mempunyai pusat perhatian yang sama yaitu hukum; akan tetapi sudut pandang ke dua ilmu pengetahuan tadi juga berbeda, dan oleh karena itu hasil yang diperoleh ke dua ilmu pengetahuan tadi juga berbeda.
Hukum adalah suatu gejala sosial Budaya yang berfungsi untuk Menerapkan kaidah-kaidah dan pola Pola perikelakuan tertentu terhadap Individu-individu dalam masyarakat. Ilmu hukum mempelajari gejala-gejala tersebut serta menerangkan arti dan maksud kaidah-kaidah tersebut, oleh karena kaidah-kaidah tadi seringkali Tidak jelas.
Perbagai kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat harus digolong-golongkan ke dalam suatu klasifikasi yang sistematis, dan ini Juga merupakan salah satu tugas dari ilmu hukum. Sebelum masuk ke ranah sosiologi hukum, kita bahas terlebih dahulu mengenai apa itu hukum.
Pengetian Sosiologi Hukum
Sosiologi Hukum merupakan cabang Ilmu yang termuda dari cabang ilmu Hukum yang lain, hal itu tampak pada Hasil karya tentang sosiologi hukum Yang hingga kini masih sangat sedikit. Hal itu di karenakan eksistensi sosiologi Hukum sebagai ilmu yang baru yang Berdiri sendiri, banyak di tentang oleh para ahli,baik ahli hukum ataupun ahli sosiologi.
Sosiologi hukum merupakan suatu Cabang ilmu pengetahuan yang antara Lain meneliti mengapa manusia patuh Pada hukum dan mengapa dia gagal Untuk menaati hukum tersebut serta Faktor-faktor sosial lain yang mempengaruhinya. Sosiologi hukum merupakan suatu cabang dari sosiologi umum.
Pengertian Sosiologi Hukum ini menganalisa bagaimana jalannya suatu Hukum dalam masyarakat, yang merupakan hal utama bagi para pengguna Hukum agar tahu betapa berpengaruhnya Hukum dalam suatu masyarakat, hal inilah yang membuat betapa harus kita belajar mengenai Sosiologi Hukum.
Adapula ciri dari sosiologi Hukum yang Berupa empiris atau berupa gejala masyarakat yang bersifat kenyataan dan tidak bersifat spekulatif. Analisa dari Sosiologi Hukum ini, diresap secara tidak sadar oleh masyarakat, baik secara internal maupun eksternal dalam melakukan suatu interaksi. Kita dapat Menarik contoh bagaimana masyarakat Meresap analisa sosiologi Hukum secara tidak sadar dalam hal kesadaran akan undang-undang.
Pada pendekatan intrumental adalah merupakan disiplin Ilmu teoritis yang umumnya mempelajari ketentraman dari berfungsinya hukum, dengan tujuan disiplin ilmu adalah untuk mendapatkan prinsip-prinsip hukum dan ketertiban yang didasari secara rasional dan didasarkan pada dogmatis yang mempunyai dasar yang akurat dan tidak terlepas dari pendekatan Hukum Alam.
Latar belakang, Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris dari suatu peraturan atau pernyataan hukum, sehingga mampu memprediksi suatu hukum yang sesuai dan/atau tidak sesuai dengan masyarakat tertentu, Sosilogi hukum bersifat khas ini adalah apakah kenyataan seperti yang Tertera pada peraturan dan harus Menguji dengan data empiris.
Sosiologi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan analitis mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum sebagai gejala sosial, dengan gejala gejala sosial lain. Studi yang demikian memiliki beberapa karakteristik, yaitu :
1.      Sosiologi hukum bertujuan untuk memberian penjelasan terhadap praktek prektek hukum. Apabila praktek itu dibedakan kedalam pembuatan undang undang, penerapanya, dan pengadilanya,maka ia juga mempelajari bagaimana praktek yang terjadi dari kegiatan hukum tersebut.
Dengan demikian makin jelas sudah tugas dari sosiologi hukum yaitu mempelajari tingkah laku manusia dalam bidang hukum. Menurut Weber, tingkah laku ini memiliki dua segi, yaitu “luar” dan “dalam”.
Dengan demikian sosiologi hukum tidak hanya menerima tingkah laku yang tampak dari luar saja, tetapi juga meperoleh penjelasan yang bersifat internal, yaitu meliputi motif-motif tingkah laku seseorang. Apabila di sini di sebut tingkah laku hukum maka sosiologi hukum tidak membedakan antara tingkah laku yang sesuai denagn hukum atau yang menyimpang dari kaidah hukum, keduanya merupakan obyek pengamatan dari ilmu ini.
Contohnya : Lampu Kuning di perempatan harusnya pelan-pelan, siap-siap berhenti, tapi dalam kenyataannya malah ngebut, Kemudian, lampu merah di perempatan, kalau tidak ada polisi, pengemudi terus jalan. Paradigma di Indonesia bahwa, Polisi, Hakim, Jaksa, sebagai hukum.
2.      Sosiologi hukum senantiasa menguji kekuatan empiris (empirical validity) dari suatu peraturan atau pernyataan hukum. Pernyataan yang bersifat khas di sini adalah “Bagaimanakah dalam kenyataannya peraturan tersebut?”, “Apakah kenyataan seperti yang tertera dalam bunyi perturan tersebut?”
Perbedaan yang besar antara Pendekatan tradisional yang normatif dan pendekatan sosiologis adalah bahwa yang pertama menerima saja apa yang tertera pada peraturan hukum, sementara yang kedua menguji dengan data (empiris). Misalnya :terhadap putusan pengadilan, pernyataan notaris dan seterusnyaApakah sesuai dengan realitas empirisnya?
Sosiologi hukum tidak melakukan penilain terhadap hukum. Tingkah laku yang Mentaati hukum atau yang menyimpang dari hukum sama-sama menjadi obyek dari bahasan ilmu ini. Pendekatan yang demikian itu kadang-kadang menimbulkan salah paham, seolah-olah sosiologi hukum ingin membenarkan praktek-praktek yang melanggar hukum.
Pendekatan yang demikian itu kadang Kadang menimbulkan salah paham, seolah-olah sosiologi hukum ingin membenarkan praktek praktek yang melanggar hukum. Sekali lagi bahwa sosiologi hukum tidak memberikan penilaian, melainkan mendekati hukum Sebagai obyektifitas semata dan Bertujuan untuk menjelaskan terhadap Fenomena hukum yang nyata.
Semua perilaku hukum dikaji dalam nilai yang sama tanpa melihat apakah itu benar, karena sosiologi hukum sesungguhnya adalah seinwissenschaaft ( ilmu tentang kenyataan). Jadi orang-orang sosiologi hukum tidak boleh apriori, contoh : pelaku pidana tidak bisa dimaknai orang yang selalu jahat.
Obyek sosiologi Hukum
a.      Beroperasinya hukum di masyarakat (ius operatum) atau Law in Action & pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat.
b.      Dari segi statiknya (struktur) : kaidah sosial, lembaga sosial, kelompok sosial& lapisan sosial
c.       Dari segi dinamiknya ( proses sosial), interaksi dan perubahan sosial
Menurut Soetandyo :
Mempelajari hukum sebagai alat Pengendali sosial (by government ).
1.      Mempelajari hukum sebagai kaidah sosial. Kaidah moral yang dilembagakan oleh pemerintah.
2.      Stratifikasi sosial dan hukum.
3.      Hubungan perubahan sosial dan perubahan hukum.
Menurut Soerjono Soekanto :
1.      Hukum dan struktur sosial masyarakat.
2.      Hukum merupakan Social Value masyarakat.
3.      Hukum, kaidah hukum dan kaidah sosial lainnya.
4.      Stratifikasi sosial dan hukum.
5.      Hukum dan nilai sosial budaya.
6.      Hukum dan kekerasan.
7.      Kepastian hukum dan keadilan hukum.
8.      Hukum sebagai alat untuk melakukan perubahan sosial.
Obyek sasaran Sosiologi Hukum adalah badan-badan yang terlibat dalam kegiatan penyelenggaraan hukum, seperti pengadilan, polisi, advokat, polisi, dan lain-lain.
Ruang Lingkup Sosiologi Hukum
Dalam dunia hukum, terdapat fakta lain yang tidak diselidiki oleh ilmu hukum yaitu pola-pola kelakuan (hukum) warga-warga masyarakat.
Ruang lingkup Sosiologi Hukum juga mencakup 2 (dua) hal, yaitu :
1.      Dasar-dasar sosial dari hukum, contoh: hukum nasional Indonesia, dasar sosialnya adalah Pancasila, dengan ciri-cirinya : gotong-royong, musyawarah-kekeluargaan.
2.      Efek-efek hukum terhadap gejala-gejala sosial lainnya, contoh : UU PMA terhadap gejala ekonomi, UU Pemilu dan Partai Politik terhadap gejala politik, UU Hak Cipta tahun 1982 terhadap gejala budaza, UU Perguruan Tinggi terhadap gejala pendidikan.
Tahap tersebut akan tercapai apabila para sosiolog tidak lagi berperan sebagai teknisi, akan tetapi lebih banyak menaruh perhatian pada ruang lingkup yang lebih luas. Pada tahap ini, seorang sosilog harus siap untuk menelaah pengertian legalitas agar dapat menentukan wibawa moral dan untuk menjelaskan peran ilmu sosial dalam menciptakan masyarakat yang didasarkan pada keseimbangan hak dan kewajiban yang berorientasi pada keadilan. ( Rule of Law menurut Philip Seznick). 
Ø  Kontribusi Soskum thdp Perkembangan Ilmu Hukum
Bahwa perkembangan ilmu hukum di masa depan perlu diarahkan secara lebih empiris dan induktif daripada kecendrungan yang bersifat deduktif dan normatif seperti yang selama ini dikembangkan, ketika pradigma ini tdk mampu lagi menerangkan realitas yg diamatinya.OKI, sisa-sisa dari materi pendidikan hukum dogmatik baru, diisi dengan materi yang sifatnya mengasah nalar. Misalnya Penalaran Hukum, Metodologi Hukum, soskum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum.
Ø  Beberapa Masalah Yang Disoroti Sosiologi Hukum
1.      Hukum dan Sistem Sosial Masyarakat.
2.     Pada hakekatnya, hal ini merupakan obyek yang menyeluruh dari sosiologi hukum, oleh karena tak ada keragu-raguan lagi bahwa suatu sistem hukum merupakan pencerminan daripada suatu sistem sosial di mana sistem hukum tadi merupakan bagiannya.

Ø  Persamaan-persamaan & perbedaan perbedaan sistem-sistem hukum.
Penelitian di bidang ini penting bagi Suatu ilmu perbandingan serta utk dpt Mengetahui apakah memang terdapat konsep-konsep hukum yang universal, oleh karena kebutuhan masyarakat setempat memang menghendakinya. 
Ø  Sifat Sistem Hukum yg Dualistis
Baik hukum substantif maupun hukum ajektif, di satu pihak berisikan ketentuan-ketentuan tentang bagaimana manusia akan dapat menjalankan serta memperkembangkan kesamaan derajad manusia, menjamin kesejahteraan dan seterusnya. Akan tetapi di lain pihak, hukum dapat menjadi alat yang ampuh untuk mengendalikan warga-warga Masyarakat.
Ø  Kegunaan Sosiologi Hukum:
a.      Mengetahui dan memahami perkembangan hukum positif (tertulis/tdk tertulis) di dlm ngr/masyarakat.
b.      Mengetahui efektifitas berlakunya hukum positif di dalam masyarakat.
c.       Mampu menganalisis penerapan hukum di dalam masyarakat.
d.      Mampu mengkonstruksikan fenomena hukum yg terjadi di masyarakat.
e.       Mampu mempetakan masalah-masalah sosial dalam kaitan dengan penerapan hukum di masyarakat.
Dari batasan ruang lingkup maupun perspektif sosiologi hukum,maka dpt dikatakan,bahwa kegunaan sosiologi hukum adl sbb:
a.       Sosiologi hukum berguna untuk memberikan kemampuan-kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum di dalam konteks sosial;
b.      Penguasaan konsep2 soskum memberikan kemapuan-kemampuan utk mengadakan analisis terhadap efektifitas hukum dlm masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah masyarakat dan sarana untuk mengatur interaksi Sosial agar mencapai keadaan2 sosial tertentu;
c.       Sosiologi hukum memberikan kemungkinan-kemungkinan serta kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektifitas hukum di dalam masyarakat.
Kegunaan2 umum tsb, scr terinci dapat dijabarkan sbb :
1.         Pada taraf organisasi dlm masyarakat:
a.       soskum dpt mengungkapkan ideologi dan falsafah yang mempengaruhi perencanaan, pembentukan, dan penegakan hukum;
b.      Dapat diidenfikasikan unsur-unsur kebudayaan manakah yang mempengaruhi isi atau substansi hukum;
c.       Lembaga-lembaga manakah yang sangat berpengaruh di dlm pembentukan hukum dan penegakannya.

2.       Pada taraf golongan dlm masyarakat :
a.       Pengungkapan dari golongan-golongan manakah yang sangat menentukan dlm pembentukan dan penerapan hukum;
b.      Golongan-golongan manakah di dalam masyarakat yang beruntung atau sebaliknya malahan dirugikan dgn adanya hukum2 tertentu.
c.       Kesadaran hukum daripada golongan golongan tertentu dalam masyarakat.

3.      Pada taraf individual :
a.       Identifikasi terhadap unsur-unsur hukum yang dapat mengubah perikelakuan warga masyarakat;
b.      Kekuatan, kemampuan, dan kesungguhan hati dari para penegak hukum dalam melaksanakan fungsinya;
c.       Kepatuhan dari warga masyarakat terhadap hukum, baik yang berwujud kaidah-kaidah yang menyangkut kewajiban-kewajiban hak, maupun perilaku yang teratur.

Senin, 12 November 2012

REALITA LOWYER



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Perlunya persatuan organisasi advokat dalam satu wadah organisasi akan lebih memudahkan Dewan Kehormatan Advokat dalam mengawasi perilaku advokat agar sesuai dengan Kode Etik Profesi Advokat. Selain itu, tidak akan terjadi konflik kepentingan antar organisasi profesi advokat. Dengan banyaknya perilaku menyimpang profesi advokat tersebut, semoga saja kita yang saat ini sebagai mahasiswa Fakultas Hukum akan memperbaiki kinerja di bidang hukum agar lebih baik dan jauh dari penyimpangan-penyimpangan. Amin…
B.  Tujuan
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah SOSIOLOGI HUKUM. Selain itu agar para LOWYER bias menjalankan profesi nya secara baik.
C.  Rumusan masalah
Bagaimanakah realita para lowyer-lowyer yang nakal yang menjual dengan mudahnya ke adilan?




BAB II
 
PEMBAHASAN


A.REALITA LOWYER

Realita yang akan anda baca adalah hasil kutipan penulis dari pengalaman seseorang. Seorang rekan advokat dengan miris menceritakan pengalamannya pertama kali menjalankan tugas dari advokat seniornya untuk menyerahkan sejumlah uang kepada hakim dalam rangka memuluskan permohonan penangguhan penahanan bagi kliennya dalam proses persidangan pidana. Jumlahnya tidak terlalu banyak. Kalau sebelumnya dengan jaksa penuntut umum kantor hukumnya mengeluarkan anggaran Rp7,5 juta agar klien merekatidak ditahan dalam proses penuntutan maka setelah tawar menawar yangcukup alot kali ini mereka hanya mengeluarkan Rp5 juta agar klien mereka tidak ditahan dalam proses pemeriksaan oleh hakim di persidangan. Setelah itu, biaya lain juga harus disiapkan paling tidak ketika vonisakan dibuat. Semua biaya semacam itu pada akhirnya nanti akan dibebankan kepada klien. Praktek serupa adalah hal yang biasa dalam menjalankan profesihukum. Demikian kesimpulan cerita. Kalau tidak begitu, jangan harap seorangadvokat dapat leluasa menjalankan profesinya. Relasi dengan aparat penegak hukum lainnya akan terganggu dan cenderung dimusuhi. Artinya tidak berguna segala macam pengetahuan dan keterampilan berkaitan dengan penanganan kasus, karena pada akhirnya yang menentukanadalah uang. Artinya lagi tidak terlalu banyak berguna keberadaan advokatdalam memberikan jasa hukum kepada kliennya. Kalau sekedar bayar membayar dan transaksi seperti itu saya yakin masyarakat awam pun mampumelakukannya tak perlu didampingi advokat, yang tentunya tidaklah gratis. Apakah advokat sekaliber Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis dan beberapa nama yang terkenal idealis lainnya dalam menjalankan profesi mereka tidak menghadapi kondisi serupa? Tidak menyuap, tidak melobi dan tidak mengandalkan relasi dengan aparat hukum lain untuk memenangkan perkara yang ditanganinya? Kalau tidak bagaimana mereka bisa eksis dan semakin berjaya dengan profesinya padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa kalau tak mau bayar jangan harap perkara menang?
Dalam hal ini saya tak bisa berspekulasi. Tetapi yang jelas masalah praktek mafia peradilan memang tampaknya masih menjadi tantangan utama bagi reformasi penegakan hukum. Kondisi ini merupakan tugas berat bagi Mahkamah Agung, Komisi Judisial, pejabat penegak hukum lainnya sertaorganisasi profesi advokat tentunya dalam meningkatkan fungsi pengawasan bagi aparat penegak hukum. 

Bagi sebagian kalangan advokat ada pemahaman bahwa seolah-olahmereka berada pada posisi yang diperas oleh aparat penegak hukum lainya. Asumsinya, advokat lebih mudah memperoleh penghasilan besar dari kasus yang mereka tangani sementara aparat penegak hukum lain hanya mengandalkan gaji bulanan dengan berbagai tunjangan yang tetap sajadipahami tidak akan lebih besar dari pendapatan seorang advokat yang sukses tentunya. Maka ketika advokat mulai bekerja menangani kasus sekaligus akan menjadi ladang bagi-bagi rezeki bagi aparat hukum lainnya. Pada sisi lain bila permintaan biaya-biaya lain tidak dipenuhi oleh advokat dikuatirkan akan berpengaruh bagi kasus yang mereka tangani. Intinya nasib kliennya akan berada di ujung tanduk.Klien mana yang mau menderita kerugian terlalu besar apalagi bilaharus menjadi pesakitan dengan hukuman yang maksimal. Maka prinsip ekonomi pun bekerja di sini. Biarlah mengeluarkan sejumlah cost tetapi besarnya tidak sebesar kerugian bila harus menjalani hukuman maksimal,sekalipun sudah jelas posisi hukumnya lemah, atau memang berada pada pihak yang bersalah. Pada kondisi ini seolah-olah advokat berada dalam dilema antara tekanan aparat penegak hukum dengan posisi klien mereka yang kebanyakan berpikiran pragmatis. Maka tidak bisa tidak etika profesipun terabaikan dengan justifikasi nasib klien. Sekalipun dengan demikian entah sadar entah tidak aturan hukumpun telah dilanggar. Tetapi benarkan advokat dalam kondisi demikian berada dalam kondisi tertindas hingga terpaksa memenuhi atau menjalankan praktek serupa di atas? Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menegaskan Profesi Advokat adalah profesi bebas dan mandiri yang dijaminoleh hukum dan peraturan perundang-undangan. 

Sebelum menjalankan profesinya seorang advokat telah bersumpah di antaranya akan bertindak jujur  berdasarkan hukum dan keadilan dalam melaksanakan tugas profesinya,menjaga tingkah laku dan menjalankan kewajiban sesuai dengan kehormatan,martabat, dan tanggung jawab sebagai advokat.Hemat saya bila sumpah ini saja diingat dan dijalankan oleh semuaadvokat idealnya mafia peradilan tidak akan terjadi. Tetapi kalau sebagian besar advokat tidak memiliki integritas dan lebih berprinsip siap sediamembela siapa saja yang bayar maka tentunya profesi advokat sebagai profesiyang terhormat tidak akan bertemu realisasinya. Maka selain membangun mekanisme rekrutment yang tidak hanya mementingkan pengetahuan dan keterampilan teknis tetapi juga menekankan aspek moral dan integritas seorang calon advokat, menerapkan sistem pengawasan profesi yang mestiya terhindar dari semangat buta pembelaan “korp” profesi, tak bisa tidak memberantas mafia peradilan harus dimulai dariadvokat itu sendiri. Sebab baik sistem rekruitment dan pengawasan serta penegakan etika profesi tentunya akan diisi oleh para advokat itu sendiri.Kalau yang merekrut dan mengawasi etika profesi adalah advokat yang tidak  punya integritas hasilnya akan sama dengan istilah “jeruk makan jeruk”. Maka setiap advokat harus menegakkan etika profesinya. Jangan biarkan advokat sebagai profesi terhormat harus tertindas dan terpaksa melanggar hukum dan etika sekaligus menjadi ladang perasan oleh aparat hukum lainnya. Bersikap kompromi agar hubungan aman dengan aparat penegak hukum tak juga ada gunanya karena siapapun orangnya tak akan bisa tentramdari olok-olok dan umpatan masyarakat sekalipun bergelimang harta hasil menggadaikan kehormatan profesi. Maka ada baiknya kita meminjam bait sajak Wiji Thukul ;” Hanya ada satu kata : Lawan



BAB III

PENUTUP
 
A.Kesimpulan

Dengan apa yang sudah diterangkan diatas, maka saya sebagai penulisakan menyimpulkan beberapa kesimpulan, yaitu :
1.   Standar etika profesi advokat saat ini sudah mulai seragam meskipun dalam enforcementnya tetap kembali pada organisasi advokat masing-masing, padahal tujuan semula KKAI membentuk kode etik tunggal adalah agar pengawasan perilaku para advokat diawasi oleh suatu Dewan Kehormatan yang dibentuk bersama, agar pengawasan advokat menjadi efektif mengingat kesemerawutan pengawasan selama ini karena adanya delapan organisasi profesi advokat.
2.    Sejalan dengan pemikiran yang disampaikan oleh Prof. Liev, bahwa keberhasilan pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia akan sangat tergantung keberhasilannya bila seluruh kekuatan tokoh-tokoh hukum bersatu, sebagai pressure group
3.  Etika dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada; dan pada saatyang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (commonense) dinilai menyimpang dari kode etik. Kode etik profesi ini akan dipakaisebagai rujukan (referensi) normatif dari pelaksanaan pemberian jasa profesi kepada mereka yang memerlukannya. Seberapa jauh norma-norma etika profesi tersebut telah dipatuhi dan seberapa besar penyimpangan penerapan keahlian sudah tidak bisa ditenggang-rasa lagi, semuanya akanmerujuk pada kode etik profesi yang telah diikrarkan oleh mereka yangsecara sadar mau berhimpun kedalam masyarakat (society) sesama profesiitu.
4.       Selama ini Dewan Kehormatan Advokat tak banyak berperan. Hanya ada sedikit kasus yang sampai ke meja Dewan Kehormatan Advokat. Bukan karena tak ada pelanggaran kode etik advokat, tetapi karena semangat saling melindungi sesama anggota profesi telah membuat pengaduan ke Dewan Kehormatan Advokat seperti tabu.
 

B.Saran

1.   Pasal 5 Undang-Undang tentang Advokat, jika dibaca bersamaan dengan Pasal 4 UU Advokat tentang Sumpah Advokat, akan terlihat, profesi advokat yang dikenal sebagai officium nobelium adalah profesi luhur,mulia, dan bermartabat. Sumpah itu antara lain berbunyi,"Bahwa sayadalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat  pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara yang sedang atau akan saya tangani" . Bila Sumpah Advokat ini dibaca dengan teliti, kita seharusnya tak melihatadvokat berkolusi dengan polisi, jaksa, hakim, atau sesama advokat. Seharusnya tak ada korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang merongrong wajah penegakan hukum kita sehingga organisasi seperti Transparency International menggaris bawahi betapa maraknya judicial corruption  (mafia peradilan) di Indonesia.
2.  Disinilah sebenarnya peran Dewan Kehormatan Advokat dibutuhkan yang telah ditunjang oleh Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.Kita pun sebagai bagian dari masyarakat tidak boleh membiarkan penyimpangan perilaku advokat yang semakin ‘menggila’ ini. Dengan adanya Dewan Kehormatan Advokat, kita bisa melaporkan penyimpangantersebut sekaligus mengawasi kerja Dewan Kehormatan Advokat dalam menangani laporan yang telah kita berikan. 


DAFTAR PUSTAKA

Berterns, Etika, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2001
Muhammad, Abdulkadir, Etika Profesi Hukum, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,2001
Bintatar Sinaga S.H.,M.H, Iwan Darmawan S.H.,M.H, Sapto Handoyo DP.,S.H, Etika Dan Tanggung Jawab Profesi Hukum, Suatu Kontemplasi Menuju Fajar Budi, FKH : FH-UNPAK, 2009
Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, Ketika Kejahatan Berdaulat , Ganesha Ex :Bandung, 2005
Gede A.B. Wiranata, Dasar Dasar Etika dan Moralitas, Bandung : Citra AdityaBakti, 2001
Darmawan iwan, Untaian Mutiara Kehidupan, Wedatama Widya Sastra, Jakarta,2004
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat